Dalam perkawinan tidak sah apabila tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan, didalam buku ini dijelaskan terdapat lima rukun perkawinan dengan diiringi syaratnya masing-masing, diantaranya: suami (bukan mahram, tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri, orangnya jelas, tidak sedang ihram). Istri (tidak ada halangan syara’, merdeka, tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri, orangnhya jelas, tidak sedang berihram, beragama islam). Wali (laki-laki, melihat dan mendengar, beligh, kemauan sendiri, berakal, tidak sedang berihram). Saksi (laki-laki, adil, baligh, melihat dan mendengar, berakal, tidak sedang berihram, tidak dipaksa, memahami bahasa yang digunakan dalam ijab qobul) dan shigat (shigat harus dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang-orang yang melakukan akad; penerima akad; dan saksi, shigat harus jelas dan lengkap, shigat harus bersambung dan bersesuaian). Adapun tujuan dari pernikahan itu sendiri yang telah penulis jelaskan yaitu agar terjaganya dan terpeliharanya keturunan dan kesucian diri manusia. Sedangkan berdasarkan yuridis ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan bahwa tujuan suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan sejahtera.
Selain tujuan adapun hikmah dari perkawinan yang telah dijelaskan oleh penulis nya, hikmah dari pernikahan yaitu guna meningkatkan rasa tanggungjawab, karena dengan pernikahan berarti masing-masing pihak dibebani tanggungjawab sesuai dengan fungsi masing-masing. Suami sebagai kepala rumah tangga bertanggungjawab atas nafkah keluarganya, sedangkan istri bertanggungjawab atas pemeliharaan anak dan pengkondisian rumah tangga menjadi lebih nyaman dan tentram.
Di dalam pernikahan pun juga adanya sebuah asas dan prinsip, sebagaimana seperti yang telah penulis jelaskan, Jika ditinjau dari UU No, 1 tahun 1974 tentang perkawinan, terdapat asas-asas yang fundamental dalam perkawinan seperti: asas sukarela, asas monogami, asas partisipasi keluarga dan dicatat, asas perceraiaan dipersulit, asas kematangan calon mempelai, asas memperbaiki derajat kaum wanita. Menurut Musdah Mulia dalam buku yang direview ini prinsip perkawinan dibagi menjadi empat hal yaitu: Prinsip Mawaddah wa Rahmah, Prinsip Mu’asyarah bi al-Ma’ruf, Prinsip Musawah, Prinsip Musyawarah.
Pada Bab II, Penulis menyampaikan lima point pembahasan mengenai Hukum Perceraian, yaitu tentang Pengertian Perceraian, Sebab-Sebab Putusnya Perceraian, Faktor-Faktor Penyebab Perceraian, Tata Cara Perceraian, dan Akibat Perceraian. Di dalam buku dijelaskan bahwasannya dalam konteks hukum islam perceraian itu di istilahkan dengan kata “talak”. Arti dari kata talak itu sendiri adalah membuka ikatan dan membatalkan perjanjian. Dengan demikian, talak adalah tindakan yang dilakukan kepada suami terhadap istri untuk bercerai, baik talak satu, dua, dan tiga, talak ini hanya diucapkan dari suami kepada istri maka sahnya perceraian tersebut. Sementara dalam perspektif yuridis, perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Adapun sebab-sebab terjadinya perceraian jika ditinjau secara yuridis, masalah perceraian diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Didalamnya dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu Kematian, Perceraian, dan Atas Keputusan Pengadilan. Sementara Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun lagi sebagai suami isteri.
Perceraian dapat terjadi dalam sebuah rumah tangga karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti ketidak harmonisan dalam rumah tangga, pernikahan tanpa cinta, Usia saat menikah, Tingkat pendapatan, Perbedaan perkembangan sosioemosional diantara pasangan, Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian. Untuk bercerai itu ada tata caranya, yang mana tata caranya itu terbagi menjadi dua jenis, yakni cerai talak dan cerai gugat.
Perceraian Talak berlaku bagi mereka yang beragama Islam ketentuan ini tercantum dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa seorang istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud mencerikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pelaksanaan perceraian talak tidak hanya dilakukan oleh suami dengan mengajukan surat kepada Pengadilan agama bagi pasangan suami istri. Tata cara perceraian dengan talak diatur dalam mengenai sebab-sebab perselisihan itu. Sedangkan mengenai tatacara cerai gugat diatur dalam Pasal 20 sampai 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Yang namanya perceraian pasti memiliki akibat, yang mana akibat putusnya perkawinan karena perceraian dalam buku ini itu diatur dalam ( Pasal 156 Inpres Nomor 1 Tahun 1991) diantaranya yaitu: Terhadap anak-anaknya, Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan), Terhadap mut’ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).
Pada Bab III penulis menyampaikan lima point pembahasan mengenai Hukum kewarisan, yaitu tentang pendahuluan, batasan hak waris, klasifikasi hak, asas keadilan dalam waris, dan hak waris ahli waris beda agama. Didalam Bab Hukum Waris ini penulis mencantumkan Pendahuluan yang mana dibuku ini penulis menjelaskan kodratnya manusia pasti akan berakhir dengan kematian dan secara normatif yuridis orang yang mati segala hak dan kewajibannya berakhir , bahklan secara otomatis pindah kepada ahli waris yang berhak mewarisinya. Bagi umat islam pembagian waris sudah diatur secara teknis dalam ilmu fara’id bahkan didalam Al-qur’an pada surat An-Nisa ayat 7,8,11,12,13,14,33 dan 176 sudah menetapkan bagian atau angka-angka pasti mengenai kadar waris yang harus diterima seperti 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6, adapun yang langsung secara rinci menyebutkan angka kadar warisan hanya terdapat pada 3 ayat dalam surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176.
Selanjutnya penulis membahas mengenai batasan hak waris yang mana batasan hak waris itu sendiri memiliki pengertian seperti suatu ketentuan waris yang dituntut oleh asli waris untuk mendapatkannya dari harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, baik berupa harta benda bergerak maupun yang tidak bergerak, dan termasuk hak milik lain yang legal yang dibenarkan oleh syara'. Selain itu penulis juga mengklasifikasikan Hak, disini disebutkan Secara teoritis, hak dapat dibedakan pada dua macam, yaitu hak Allah, dan hak manusia. yang dimaksud dengan hak Allah yaitu hak masyarakat yang hukumnya disyari'atkan bagi kepentingan umum, bukan untuk kepentingan secara individual. Karena hak itu termasuk aturan umum yang dikonotasikan kepada Tuhan manusia (rabb al-nass), dan dinamakan hak Allah. Sedangkan dimaksudkan dengan hak manusia (haq al-ibad atau haq al-mukallaf) yaitu hak individu yang hukumnya disyari'atkan untuk kemaslahatan individu.
Mengenai Asas Keadilan dalam Waris, penulis secara umum menjelaskan bagian penerima hak waris laki-laki dan perempuan tidak sama jumlah besarannya, karena bagi laki-laki mempunyai kewajiban dan tanggungjawab berat bagi dirinya dan terhadap keluarganya. Sementara perempuan segala kebutuhan dan biaya hidup menjadi tanggungjawab laki-laki, tidak dibebani kewajiban memberi nafkah, dan ketika dinikahi oleh seorang laki-laki, ia akan mendapatkan mahar. Manfaat yang didapatkan dari penerapan formula hak waris tersebut adalah tercapainya prinsip keadilan.