Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Saputra
Dwi Wahyu Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Masyarakat Sipil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review : Hukum Keluarga Islam di Indonesia Karangan Khumaedi Ja'far

7 Maret 2023   14:10 Diperbarui: 29 Maret 2023   15:24 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BOOK REVIEW

Judul                 : HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

Penulis             : Dr. H.A. Khumaedi Ja’far, S.Ag., M.H

Penerbit          : Arjasa Pratama

Terbit               : 2020

Cetakan           : Pertama, Maret 2020

Buku tulisan Dr. H.A. Khumaedi Ja’far, S.Ag., M.H. yang memiliki judul “Hukum Keluarga Islam di Indonesia” mendeskripsikan secara lengkap dan rinci tentang Hukum Perdata Islam di Indonesia yang penjelasannya dimulai dari tinjauan tentang hukum perkawinan, hukum perceraian, hukum kewarisan, hukum wasiat, hukum perwakafan. Dengan tercetaknya buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya tentang hukum perdata islam di indonesia. Hukum perdata islam dalam fiqh islam dikenal dengan istilah fiqh muamalah,  yaitu ketentuan (hukum islam)  yang mengatur hubungan antar orang-perorangan seperti hukum perkawinan, perceraian, kewarisan,  wasiat,  dan perwakafan. Untuk memahami keadaan hukum perdata  di Indonesia sekarang ini penting pula secara historis mengetengahkan kembali riwayat politik pemerintahan  hindia-belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia.

Buku yang di review kali ini merupakan buku cetakan pertama pada Maret 2020. Buku ini cetakan pertama oleh penerbit Arjasa Pratama. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Dr. H.A. Khumaedi Ja’far, S.Ag., M.H. mengenai buku ini pada bagian kata pengantar, bahwasannya Penulisan Buku ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi para mahasiswa dan dosen, khususnya di lingkungan Fakultas Syari'ah dan Hukum, serta bagi para pembaca umumnya. Mengingat literatur tentang Hukum Keluarga Islam di Indonesia yang beredar di kalangan masyarakat masih relatif terbatas, maka diharapkan buku ini akan dapat memperkaya khazanah Ilmu Pengetahuan, khususnya di bidang Ilmu Hukum.

Untuk memudahkan bagi pembaca, secara sistematis penulis membagi kajian buku "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" tersebut menjadi lima Bab yang berisi 220 halaman. Terkesan memang sangat padat, tetapi hal itu dimaksudkan oleh penulisnya agar dapat memberikan informasi yang lengkap dan terperinci, sehubungan dengan hukum perdata islam di indonesia. Penulis menjelaskan Bab I tentang Hukum Perkawinan, Bab II menjelaskan tentang Hukum Perceraian, Bab III menjelaskan tentang Hukum Kewarisan, Bab IV menjelaskan tentang Hukum Wasiat, Bab V menjelaskan tentang Hukum Perwakafan. Yang mana dari setiap Bab terdapat sub-sub bab dan penjelasannya masing-masing.

Pada Bab I, Penulis menyampaikan tujuh poin pembahasan mengenai Hukum Perkawinan, yaitu tentang Pegertian dan Hukum Dilakukannya Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan, Asas dan Prinsip Perkawinan, Wali dan Saksi dalam Perkawinan , Kafa’ah dalam Perkawinan, Serta Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan. Penulis menjelaskan bahwasannya yang dimaksud Perkawinan adalah suatu akad yang sangat kuat untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengenai hukum perkawinan sendiri para imam madzhab berbeda-beda dalam menghukuminya, tergantung dengan keadaan seseoramg. Berdasarkan  ahkam al-khamsah hukum perkawinan yakni wajib, haram, sunnah, dan mubah tergantung keadannya. sedangkan menurut Mazhab Malikiyyah, Syafiyah dan Hanabilah menjelaskan bahwa hukum perkawinan (menikah) berbeda-beda tergantung keadaan seseorang. Pertama, manikah hukumnya wajib, yakni bagi mereka yang sudah siap dan mampu baik lahir maupun batin. sehingga apabila tidak menikah ia akan terjerumus kepada perbuatan zina. Kedua, menikah hukumnya sunnah, yakni bagi mereka yang syawatnya sudah menggebu tetapi ia masih dapat menjaga atau mengendalikan dirinya (nafsunya) dari perbuatan zina. Ketiga, menikah hukumnya makruh, yakni bagi mereka yang kondisinya belum siap, baik lahir maupun batin. tetapi tidak sampai menimbulkan madharat bagi mereka apabila menikah, oleh karenanya dalam kondisi seperti ini sebaiknya tidak menikah terlebih dahulu, Keempat, menikah hukumnya haram, yakni bagi mereka yang belum siap menikah, baik lahir maupun batin, sehingga apabila dipaksakan menikah dapat menimbulkan madarat, atau menikah dengan maksud jahat, di mana dengan nikahnya ingin menyakiti istri dan keluarganya atau ingin balas dendam, dan lain sebagainya. Oleh karena itu berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bahwa hukum menikah pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh tergantung pada keadaan maslahat dan mafsadatnya.

Dalam perkawinan tidak sah apabila tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan, didalam buku ini dijelaskan terdapat lima rukun perkawinan dengan diiringi syaratnya masing-masing, diantaranya: suami (bukan mahram, tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri, orangnya jelas, tidak sedang ihram). Istri (tidak ada halangan syara’, merdeka, tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri, orangnhya jelas, tidak sedang berihram, beragama islam). Wali (laki-laki, melihat dan mendengar, beligh, kemauan sendiri, berakal, tidak sedang berihram). Saksi (laki-laki, adil, baligh, melihat dan mendengar, berakal, tidak sedang berihram, tidak dipaksa, memahami bahasa yang digunakan dalam ijab qobul) dan shigat (shigat harus dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang-orang yang melakukan akad; penerima akad; dan saksi, shigat harus jelas dan lengkap, shigat harus bersambung dan bersesuaian). Adapun tujuan dari pernikahan itu sendiri yang telah penulis jelaskan yaitu agar terjaganya dan terpeliharanya keturunan dan kesucian diri manusia. Sedangkan berdasarkan yuridis ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan bahwa tujuan suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan sejahtera.  

Selain tujuan adapun hikmah dari perkawinan yang telah dijelaskan oleh penulis nya, hikmah dari pernikahan yaitu guna meningkatkan rasa tanggungjawab, karena dengan pernikahan berarti masing-masing pihak dibebani tanggungjawab sesuai dengan fungsi masing-masing. Suami sebagai kepala rumah tangga bertanggungjawab atas nafkah keluarganya, sedangkan istri bertanggungjawab atas pemeliharaan anak dan pengkondisian rumah tangga menjadi lebih nyaman dan tentram.

Di dalam pernikahan pun juga adanya sebuah asas dan prinsip, sebagaimana seperti yang telah penulis jelaskan, Jika ditinjau dari UU No, 1 tahun 1974 tentang perkawinan, terdapat asas-asas yang fundamental dalam perkawinan seperti: asas sukarela, asas monogami, asas partisipasi keluarga dan dicatat, asas perceraiaan dipersulit, asas kematangan calon mempelai, asas memperbaiki derajat kaum wanita. Menurut Musdah Mulia dalam buku yang direview ini prinsip perkawinan dibagi menjadi empat hal yaitu: Prinsip Mawaddah wa Rahmah, Prinsip Mu’asyarah bi al-Ma’ruf, Prinsip Musawah, Prinsip Musyawarah.

            Pada Bab II, Penulis menyampaikan lima point pembahasan mengenai Hukum Perceraian, yaitu tentang Pengertian Perceraian, Sebab-Sebab Putusnya Perceraian, Faktor-Faktor Penyebab Perceraian, Tata Cara Perceraian, dan Akibat Perceraian. Di dalam buku dijelaskan bahwasannya dalam konteks hukum islam perceraian itu di istilahkan dengan kata “talak”. Arti dari kata talak itu sendiri adalah membuka ikatan dan membatalkan perjanjian. Dengan demikian, talak adalah tindakan yang dilakukan kepada suami terhadap istri untuk bercerai, baik talak satu, dua, dan tiga, talak ini hanya diucapkan dari suami kepada istri maka sahnya perceraian tersebut. Sementara dalam perspektif yuridis, perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Adapun sebab-sebab terjadinya perceraian jika ditinjau secara yuridis, masalah perceraian diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Didalamnya dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu Kematian, Perceraian, dan Atas Keputusan Pengadilan. Sementara Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun lagi sebagai suami isteri.

Perceraian dapat terjadi dalam  sebuah rumah tangga karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti ketidak harmonisan dalam rumah tangga, pernikahan tanpa cinta, Usia saat menikah, Tingkat pendapatan, Perbedaan perkembangan sosioemosional diantara pasangan,  Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian. Untuk bercerai itu ada tata caranya, yang mana tata caranya itu terbagi menjadi dua jenis, yakni cerai talak dan cerai gugat. 

Perceraian Talak berlaku bagi mereka yang beragama Islam ketentuan ini tercantum dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa seorang istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud mencerikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pelaksanaan perceraian talak tidak hanya dilakukan oleh suami dengan mengajukan surat kepada Pengadilan agama bagi pasangan suami istri. Tata cara perceraian dengan talak diatur dalam mengenai sebab-sebab perselisihan itu. Sedangkan mengenai tatacara cerai gugat diatur dalam Pasal 20 sampai 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

 Yang namanya perceraian pasti memiliki akibat, yang mana akibat putusnya perkawinan karena perceraian dalam buku ini itu diatur dalam ( Pasal 156 Inpres Nomor 1 Tahun 1991) diantaranya yaitu: Terhadap anak-anaknya,  Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan), Terhadap mut’ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).

Pada Bab III penulis menyampaikan lima point pembahasan mengenai Hukum kewarisan,  yaitu tentang pendahuluan, batasan hak waris, klasifikasi hak, asas keadilan dalam waris,  dan hak waris ahli waris beda agama. Didalam Bab Hukum Waris ini penulis mencantumkan Pendahuluan yang mana dibuku ini penulis menjelaskan kodratnya manusia pasti akan berakhir dengan kematian dan secara normatif yuridis orang yang mati segala hak dan kewajibannya berakhir , bahklan secara otomatis pindah kepada ahli waris yang berhak mewarisinya. Bagi umat islam pembagian waris sudah diatur secara teknis dalam ilmu fara’id bahkan didalam Al-qur’an pada surat An-Nisa ayat 7,8,11,12,13,14,33 dan 176 sudah menetapkan bagian atau angka-angka pasti mengenai kadar waris yang harus diterima seperti 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6, adapun yang langsung secara rinci menyebutkan angka kadar warisan hanya terdapat pada 3 ayat dalam surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176.

            Selanjutnya penulis membahas mengenai batasan hak waris yang mana batasan hak waris itu sendiri memiliki pengertian seperti suatu ketentuan waris yang dituntut oleh asli waris untuk mendapatkannya dari harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris,  baik berupa harta benda bergerak maupun yang tidak bergerak,  dan termasuk hak milik lain yang legal yang dibenarkan oleh syara'. Selain itu penulis juga mengklasifikasikan Hak, disini disebutkan Secara teoritis, hak dapat dibedakan pada dua macam, yaitu hak Allah, dan hak manusia. yang dimaksud dengan hak Allah yaitu hak masyarakat yang hukumnya disyari'atkan bagi kepentingan umum, bukan untuk kepentingan secara individual. Karena hak itu termasuk aturan umum yang dikonotasikan kepada Tuhan manusia (rabb al-nass), dan dinamakan hak Allah. Sedangkan dimaksudkan dengan hak manusia (haq al-ibad atau haq al-mukallaf) yaitu hak individu yang hukumnya disyari'atkan untuk kemaslahatan individu.

Mengenai Asas Keadilan dalam Waris, penulis secara umum menjelaskan bagian penerima hak waris laki-laki dan perempuan tidak sama jumlah besarannya, karena bagi laki-laki mempunyai kewajiban dan tanggungjawab berat bagi dirinya dan terhadap keluarganya. Sementara perempuan segala kebutuhan dan biaya hidup menjadi tanggungjawab laki-laki, tidak dibebani kewajiban memberi nafkah, dan ketika dinikahi oleh seorang laki-laki, ia akan mendapatkan mahar. Manfaat yang didapatkan dari penerapan formula hak waris tersebut adalah tercapainya prinsip keadilan.  

Adapun hak waris ahli waris untuk yang beda agama,  didalam buku yang direview ini dijelaskan bahwasannya menurut Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan para pengikutnya bahwa tidak boleh orang kafir mewarisi tirkah orang muslim, atau sebaliknya, baik disebabkan karena hubungan memerdekakan budak, hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Demikian juga kalau ada seorang muslim meninggal dunia, ia meninggalkan seorang isteri non muslim, atau kerabat non muslim kemudian mereka masuk Islam sebelum tirkah al-muwarrits dibagikan, maka mereka tetap tidak mendapatkan hak waris. Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan (tidak sebaliknya) orang kafir tidak mewarisi orang muslim.

Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa secara kronologis orang Yahudi dapat mewarisi harta orang Nasrani, orang Majusi dan pemeluk agama lainnya, dan begitu pula berlaku sebaliknya. Sedangkan mazhab Hanbali berpendapat bahwa orang Yahudi tidak dapat mewarisi harta orang Nasrani, dan orang-orang pemeluk agama yang lainnya. Sementara di kalangan mazhab Maliki terdapat dua pendapat: Pertama, mereka mengatakan bahwa orang Nasrani tidak dapat mewarisi harta orang Yahudi, dan harta orang dari pemeluk agama selain Nasrani dan Yahudi, dan juga tidak berlaku sebaliknya. Kedua, mereka yang berpendapat sama dengan pandangan mazhab Hanbali seperti tersebut di atas. Para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam mensikapi harta warisan orang murtad. Jumhur fuqaha (Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) berpendapat bahwa orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang murtad, karena tidak ada kewarisan antara orang muslim dengan orang kafir.

            Pada Bab IV, penulis menyampaikan tiga point pembahasan mengenai Hukum Wasiat,  yaitu tentang pengertian wasiat,  dasar hukum wasiat, dan pandang ulama tentang wasiat. Dapat kita ketahui bahwasannya wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan kepada seseorang untuk dilaksanakan atau dijalankan sesudah meninggalnya. Adapun dasar hukum wasiat itu diperbolehkan.  Boleh melakukan wasiat kepada siapa saja orang yang dikehendaki selain ahli wari. Untuk besaran harta yang boleh diwasiatkan oleh al-muwaris kepada siapa orang yang dikehendaki selain ahli waris, yaitu tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta bendanya. Ulama memberi pandangan mengenai wasiat, menurut jumhur fuqaha (dari empat mazhab) sekalipun berpandangan boleh berwasiat kepada selain ahli waris maksimal sepertiga dari harta al-muwarrits, dengan syarat diidepakati oleh ahli waris yang lain, tetapi stresingnya kepada sesama muslim, tidak boleh kepada orang non muslim.

            Pada Bab V, Penulis menyampaikan lima point pembahasan mengenai Hukum Perwakafan yaitu tentang Pengertian Pewakafan, Dasar Hukum Wakaf, Rukun Dan Syarat Wakaf, Macam-Macam Wakaf, Serta Pengelolaan Dan Pengembangan Aset Wakaf. Didalam buku ini dejelaskan untuk Pengertian Wakaf sendiri dapat diartikan menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nazir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam. Adapun dasar hukum wakaf terdapat dalam surat Al-Hajj: 77, Ali Imran: 92, Al-Baqarah: 261. secara umum, wakaf sangat dianjurkan untuk dilakukan sebagai manifestasi dari amal kebajikan untuk kepentingan umum.

Dalam berwakaf terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi, didalam buku ini dijelaskan mengenai rukun wakaf ada empat diantaranya: Al-Waqif, Al-Mauquf, Al-Mauquf Alaihi, dan Shigah. Sedangkan untuk syarat wakaf penulis menyebutkan : Syarat waqif (berakal, baligh, cerdas, atas kemauan sendiri, merdeka dan pemilik harta wakaf). Syarat Al-Mauquf (benda wakaf benda tidak bergerak, benda wakaf diketahui jelas keberadaanya, benda wakaf milik sempurna dari waqif, benda wakaf harus bisa diserahterimakan, benda yang diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak). Syarat Al-Mauquf ‘Alaihi (pihak yang diberi wakaf adalah pihak yang berorientasi pada kebaikan dan tidak bertujua untuk maksiat, sasaran diarahkan pada aktivitias kebaikan yang berkelanjutan, peruntukan wakaf tidak dikembalikan pada waqif). Syarat-syaratnya Sighah (ucapannya harus mengandung kata-kata yang menunjukkan kekal, ucapan tersebut harus dapat direalisasikan segera, tanpa disangkutkan kepada syarat tertentu, ucapan tersebut bersifat pasti, ucapan tersebut tidak diikutioleh syarat yang membatalkan).

Adapun macam-macam dari wakaf jika dilihat dari peruntukkannya, maka dapat dibedakan pada dua macam, yaitu wakaf ahli, dan wakaf khairi. Pertama, yang dimaksud dengan wakaf ahli yaitu wakaf yang diperuntukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Kedua, dimaksudkan dengan wakaf  khairi, atau wakaf untuk umum yaitu wakaf yang secara tegas dinyatakan oleh si wakif untuk kepentingan umum masyarakat.

Untuk Pengelolaan dan Pengembangan Aset Wakaf doktrin ajaran wakaf disyari’atkan untuk memberikan jaminan dan keadilan sosial bagi mustahik wakaf dan masyarakat pada umumnya sebagai manifestasi dari implementasi amal kebajikan si wakif. Objek wakaf di era globalisasi dan pasar bebas AFTA 2015 yang akan datang dikembangkan dalam beberapa macam dan jenis produknya, demikian juga pengelolan harta wakaf berupa benda tidak bergerak seperti tanah dapat dikembangkan dengan dibangun gedung perkantoran, toko, ruko, dan lain-lain semisal untuk dikolala dan juga bisa disewakan yang tentunya sangat bernilai ekonomis tinggi. Upaya semua itu tentunya memiliki tujuan untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang terdapat di kehidupan sosial masyarakat muslim indonesia dan bangsa indonesia pada umumnya, maka dana wakaf yang sudah terkumpul dari hasil pengelolaan profesional produktif tersebut dapat didistribusikan kepada mereka yang terkena musibah yang tentunya sangat membutuhkan bantuan. Selain itu wakaf sebagai intrumen ekonomi kerakyatan yang cukup potensial dapat bekerja sama dengan Lembaga Keuangan Syari'ah, perbankan syari’ah, dunia usaha dan bahkan lembaga-lembaga wakaf di negara-negara muslim modern.

Setelah membaca isi buku tersebut maka buku ini dapat ditarik kesimpulan yang mana Hukum perdata Islam dalam fiqih Islam itu dikenal dengan istilah fiqih mu’amalah, yaitu ketentuan (hukum Islam) yang mengatur hubungan antar orang-perorangan. Adapun dalam pengertian umum, hukum perdata Islam itu diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam, seperti hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat dan perwakafan. Sedangkan dalam pengertian khusus, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang mengatur hal-hal yang berkaitan perorangan dengan kelompok. Selanjutnya perkataan hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum atau privat materiil, yaitu seluruh pokok hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan seseorang. Hukum perdata islam itu mengatur ketentuan-ketentuannya hukum mengenai hak dan kewajiban serta kedudukannya baik dalam hukum keluarga, hukum kekayaan, maupun hukum waris dan lain sebagainya.

Terkesan dalam pemaparan buku “Hukum Keluarga Islam di Indonesia” ini, penulis berkeinginan menyampaikan secara jelas dan tuntas , lengkap dan rinci. Hal ini dapat dilihat dari daftar isinya yang lumayan padat. Dan disatu sisi para pembaca akan mendapatkan informasi yang sangat penting tetapi di sisi lain, para pembaca dipaksa untuk menghembuskan napas kecil karena buku ini selalu memaparkan penjelasan yang panjang tidak langsung kepada point pentingnya saja, seperti halya penulis mencantumkan beberapa dalil-dalil nash dalam Al-Quran dan menguatkan penjelasan dengan disertai cantuman pasal dalam undang-undang dan seterusnya. Mungkin dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan cetakan selanjutnya agar menyertakan penjelasan yang lebih jelas dan gamblang sehingga pembaca lebih cepat memahami isi yang dipaparkan dalam bab-bab buku ini selain itu agar menyertakan terjemahan indonesia untuk istilah-istilah hukum dan istilah-istilah arab, maupun bahasa bahasa lainnya. Hal ini sangat penting mengingat buku Hukum Keluarga Islam di Indonesia ini bisa menjadi bacaan bagi masyarakat luas, sehingga buku ini bukan hanya dikhususkan bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan hukum saja.

Buku dengan judul  "Hukum Keluarga Islam di Indonesia", Karya Dr. H.A. Khumaedi Ja’far, S.Ag., ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya seperti penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, penataan urutan bab dan sub bab dalam buku ini juga diurutkan secara tepat, Penjelasan yang dijabarkan di dalamnya pun sangat rinci sekali, Setiap pembahasan mengenai suatu hukum selalu diberi dasar hukum sebagai penguat hukumnya baik dasar hukum yang berasal dari al-qur'an ataupun hadist. Buku ini juga sangat menambah wawasan kita terhadap bidang hukum keluarga islam di indonesia, terutama untuk anak kuliahan yang mengambil jurusan hukum buku ini sangat membantu mereka dalam mendalami hukum perdata islam di indonesia.

Selain terdapat kelebihan, buku ini memiliki beberapa kekurangan seperti dalam pemilihan bahasa ada beberapa  kata yang berasal dari bahasa arab yang tidak disertai terjemahan kedalam bahasa Indonesia sehingga membuat pembaca merasa bingung dengan arti kata tersebut dan membuat pembaca mencari tahu sendiri arti kata tersebut, terlepas dari isi buku, hal yang sangat penting yang membuat buku ini terkesan kurang menarik adalah dari segi cover, cover buku ini perlu direvisi agar lebih menarik apabila menginginkan laku keras di pasaran. Selain itu kelemahan yang paling menonjol dalam buku menurut saya terdapat banyak halaman dalam buku ini mencapai 220 an, namun informasi yang disampaikan masih terasa kurang dibandingkam dengan buku-buku karangan lain.

Alasan saya memilih buku ''Hukum Keluarga Islam di Indoensia" karya Dr. H.A. Khumaedi Ja’far, S.Ag., M.H. untuk direview adalah karena buku ini berisi mengenai pembahasan hukum keluarga islam di Indonesia secara lengkap dalam hal materi. Mulai dari bab perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, dan perwakafan. Buku ini juga sangat  membantu khalayak umum terutama mahasiswa di bidang hukum untuk memahami tentang hukum perdata islam di indonesia, mulai dari syarat, rukun, akibat dan sebab. Didalam buku ini sudah dijelaslan secara luas bahkan lengkap dengan dalil nashnya dan ketetapan dalan undang-undangitu . Selain itu Buku ini cocok untuk reviewer yang sedang menjalankan pendidikan kuliah di jurusan hukum, selain bisa dijadikan referensi dalam belajar maupun menyelesaikan karya tulis, buku ini juga bisa menjadi pegangan para mahasiswa karna di dalam buku ini ruang lingkupnya sudah cukup jelas, meskipun kurang lengkap, tetapi dalam mempelajari ilmu hukum perdata islam sudah bisa kita dapatkan hanya dalam membaca buku ini. (Dwi Wahyu Saputra 192121188).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun