Mentari baru saja terbit di ufuk timur. Pagi hari, Ammar mengawalinya dengan rasa syukur. Dalam sajadahnya yang lusuh, gambaran rumah Tuhan pun kian luntur. Namun, tidak menjadikan Ammar lupa akan kewajibannya setiap waktu. Menemui Tuhan dalam pangkuannya.
Tiba-tiba saja sang istri memanggil.
"Pah, udah selesai shalat Subuhnya. Kalau sudah gantian mamah."
Ammar kemudian menunduk sekali, lalu berucap, "Mamah, wudhu dulu."
"Iya, Pah."
Lekas Darsi yang masih mengenakan piyama, melangkah ke kamar mandi. Mengawali pagi hari yang sama seperti sang suami.
...
Beberapa kali Ammar dihubungi orang yang menanyakan kontrakan. Dari lokasi, aksesnya di pinggir jalan atau tidak, tempatnya bisa untuk berjualan atau tidak, dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang belum sempat dijawab dalam chat wa pribadinya.
Darsi istrinya merajuk, "Pah, uang kita tinggal dua puluh ribu. Cuma bisa buat beli lauk pagi sama siang saja."
"Tenang, Mah. Papah tanggung jawab sama mamah, sama anak kita juga. Jangan kuatir!" Ammar menyakinkan.
Fokusnya kembali membalas pesan. Pekerjaan sebagai Makelar awalnya hanya membantu saudaranya memasarkan kontrakan. Jika ada yang mengontrak, Ammar akan diberi 20% dari hasil tersebut. Dari situ Ammar baru mengerti keahliannya di bidang itu.
Beberapa rumah kontrakan yang Ammar tawarkan nyaris tak pernah gagal. Hari ini tidak laku, esok dan lusa akan cair. Yang sebelumnya Ammar hanya buruh tenunan, Ammar beralih profesi sebagai makelar. Hasilnya pun menjanjikan.Â
Ponselnya berdering, Ammar segera mengangkatnya. Ada yang berminat cek lokasi. Ammar senang bukan main.
Rumah kontrakan yang terletak di Perumahan Asri. Harga sewanya 7 juta per tahun dari pemiliknya. Peminat dan pemiliknya dipertemukan oleh Ammar sebagai penyalur. Mulailah ke pokok pembahasan paling penting.
"Jadi, bagaimana ibu? Kapan rumah ini akan ditempati? Jika cocok bisa DP terlebih dulu, agar nanti tidak ditawarkan ke orang lain." Tegas Ammar.
Pasangan pasutri itu masih menimbang-nimbang, berembuk terlebih dahulu.
"Nanti malam jadi tidaknya saya kabari lagi, Pak. Yang penting ini sudah melihat rumahnya."
"Makasih, Bu. Saya tunggu kabar baiknya nanti malam," jawab Ammar dengan sopan.
Ia pulang tak memperoleh hasil. Sesampai di rumah Darsi bertanya lagi.
"Gimana, Pah? Dapet uang."
"Sabar, Mah. Kepastiannya nanti malam. Tapi, tenang. Ada yang janji dari Minggu kemarin mau DP, cek rumah kontrakan Bu Muji. Doakan saja semoga cair."
Pukul 14.00 siang, Ammar menantikan kedatangan pelanggannya di lokasi. Lima belas menunggu menunggu, akhirnya mereka bertemu.
Yang datang tiga orang, pasangan pasutri bersama orang tuanya. Mereka melihat-lihat seisi ruangan. Dari kamar mandi, toilet, dapur. Ruangan kamar, ruang tengah, dan ruang tamu.Â
"Dindingnya perlu di cat lagi ya, Pak." Komentar sang ibu kepada Ammar. Melihat kondisi dinding yang berlumut karena terlalu lama tidak di tempati.
Ammar tersenyum menanggapinya. Dan berkata, "Maklum, Bu. Lama kosong, yang penting gentengnya nggak bocor. Harga rumah kontrakan di pinggir jalan yang murah kayak gini jarang loh, Bu. Coba ibu cek di lain tempat. Pasti bisa sampai lima juta ke atas. Ini empat juta murah sekali."
Ammar kira yang datang hanya satu orang yang ingin membayar. Ternyata harus rembukan lagi dengan keluarganya.Â
"Ya, Om. Insya Allah jadi. Tempatnya cocok buat dagang ini. Istri saya setuju. Ya 'kan, Bu."
Sang istri mengangguk. Orang tuanya berkata, "Besok ke sini lagi saja."
Mereka pamit. Ammar gigit jari. Masih saja belum memperoleh hasil. Sampai sore, Darsi istrinya bergeming. Ammar berpikir lama, bagaimana supaya hari ini bisa mendapatkan uang.Â
Ia ke kamar mandi lalu melihat sebuah ember bekas cat yang ditumbuk. Ammar tersenyum melihat ember itu. Segera Ammar menggosok ember dari luar, dan dalamnya sampai bersih mengkilap.Â
Dengan antusias memotret ember tersebut di ruangan tengah. Ammar duduk di lantai keramik, menekan kamera ponsel. Ia sampai menungging, demi hasil potretannya yang menarik. Benar saja, ember bekas cat tersebut seperti ember baru lagi.Â
Segera dia posting, dengan harga satuannya 15 ribu. Ammar akan menjual tiga ember sekaligus. Darsi belum tahu soal idenya ini.Â
Jam 5 sore, Darsi merajuk lagi. Perutnya sudah sangat lapar. Beruntung anaknya sudah makan, stok bubur bayi sasetan masih tersedia di lemari.Â
Akhirnya, ember bekas cat itu ada yang memesan semuanya. Ammar sangat bersyukur karena nanti malam akan diantarkannya ke pembeli langsung. Itu artinya akan dapat uang.Â
Dengan motor bututnya malam-malam. Tanpa pencahayaan, karena lampu motornya padam. Ammar sudah membeli lampu, berniat mengganti ternyata kerusakan ada pada aki-nya. Motornya pun jarang diservis, kadang rantainya sering copot di tengah jalan. Dalam hati Ammar kalau ada rezeki lebih, lebih baik ganti motor daripada memperbaiki motor bututnya, yang tentu biaya kerusakannya tidaklah sedikit.
Sesampainya di lokasi, banyak anak muda tongkrongan di halaman rumah. Sebuah Palang pintu perumahan yang masih terbuka, security sibuk menonton televisi. Ammar baru menyadari ini malam Minggu. Banyak orang menatapnya dengan tatapan merendahkan. Meskipun Ammar dalam hatinya sempat malu, malam Minggu membawa ember bekas cat dengan mengendarai motor butut.
Demi istri dan anaknya, rasa malu itu ia buang jauh-jauh. Yang penting istri di rumah tidak kelaparan.
"Gan, saya sudah di depan rumah." Kata Ammar lewat telepon.
Laki-laki paruh baya keluar membuka gerbang kediamannya, mendatangi Ammar. Pembeli mengecek ember bekas cat itu. Lalu, menyodorkan uang. Empat puluh lima ribu, sudah berada di kantongnya.Â
Karena senang Ammar bernyanyi sepanjang jalan, pulang membawa hasil kerja kerasnya.
"Ini, Mah. Sana beli lauk." Ammar menyodorkan uang.
"Nasinya habis, Pah. Beli nasi bungkus saja ya, sama gorengan," jawab Darsi. Lalu, melihat jumlah uang yang ada di tangannya.Â
Darsi bertanya, "Pah, ini dari mana? Bukannya hasil kontrakan atau tempat kosan paling sedikit 50 ribu."
"Itu bukan dari kontrakan atau tempat sewa kosan, Mah. Tapi, papah jual ember."
"Hah, ember? Ember yang mana?"
"Itu ember bekas cat yang jarang, Mama pakai buat nyuci."
Darsi buru-buru melangkah ke arah kamar mandi. Kembali lagi menuju sang suami.
"Ya, Allah. Papah! Kenapa dijual semua?!"
***
Pemalang, 28 November 2022
#AksaraSulastri
#CerpenSliceOfLife
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H