Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Pacar Protective

12 Oktober 2022   05:20 Diperbarui: 12 Oktober 2022   05:35 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Motor matic yang aku tumpangi berhenti di sebuah warung makan. Aku mengedarkan pandangan pada jalan raya yang mulai ramai anak sekolah. 

Aku tidak ingin adekku Rangga menunggu lama. Langkah ini menginjak keramik bermotif bunga-bunga lalu berhenti.

"Nasinya tiga ribuan empat, Bu." 

Pedagang nasi itu mulai melipat kertas minyak dengan tumpuan selembar koran yang di atasnya berisi nasi bumbu. Aku sengaja membelikan empat bungkus nasi, untuk Rangga, Mas Fajar, Ibu dan Bapak. Untukku nanti saja. Lalu, keluar dari warung makan dengan menjinjing tas plastik.

Saat hendak menyelipkan tas plastik ke dalam ganggang besi. Dalam sebuah rak motorku aku menemukan korek api. Dengan pikiran kalut, aku sengaja membuka jok motor dan menemukan ada sebungkus rokok dengan wadah berwarna putih.

"Loh, ini rokok siapa?" 

Jangan-jangan, aku berpikir yang tidak-tidak. Aku mengingat-ingat semalam, tepatnya di malam Minggu adikku meminjam motorku untuk menemui kawannya. Jangan sampai adikku yang duduk di bangku SMP kelas satu mencoba barang seperti ini. 

Gegas menancap gas. Setelah sampai di depan rumah.

"Rangga!" 

Berkali-kali memanggil namanya. Adikku sedang bersiap-siap memakai seragam putih birunya.

Aku menunjukkan bungkus rokok itu padanya. Sekejab Rangga membulatkan kedua mata yang hampir copot.

"Ini punya kamu Rangga! Awas, saja kalau kamu mulai ngerokok Mbak tidak akan kasih izin kamu buat pakai motor."

Dia menunduk kemudian menjawab.

"Itu bukan punya Rangga, Mbak."

"Kalau bukan punya kamu terus punya siapa?!" Aku menaikkan volume bicara.

Rangga tidak berani menatapku. Sengaja hari ini aku mengantar dia berangkat sekolah. Ingin tahu siapa saja kawan bermainnya.

Di tengah perjalanan menuju Sekolah Rangga. Adikku tiba-tiba meminta berhenti dan diturunkan di setapak jalan.

"Mbak, Rangga turun di sini saja ya. Rangga malu kalau diboncengin sama embak."

"Loh, mengapa harus malu? Mbak ini kakak kandungmu Rangga bukan orang lain."

Tidak ada yang salah dengan pakaianku, aku memakai celana jins dan atasan lengan panjang. Rambut panjangku tergerai. Meski usiaku sudah 25 tahun wajahku masih tampak mulus karena menggunakan skin care dengan harga ratusan.

Bahkan pacarku sering bilang wajahku imut seperti anak SMP. Sebentar, seharusnya Rangga bangga memiliki kakak yang begini.

"Mbak, Rangga tahu. tetapi coba lihat ke sekeliling."

Semua melihat kami menggelengkan kepalanya. Apa mereka pikir aku ada hubungan khusus dengan adikku sendiri. Yang benar saja. Aku tetep keukeh mengantarkan Rangga sampai ke sekolah. Aku berdebat dengan dia di pinggir jalan.

"Anton, tunggu!" 

Rangga memanggil temannya lalu menyusul. Aku ikut membuntut di belakangnya.

"Ga, dia pacar barumu ya. Cantik yah. Cie-cie yang diantar sama pacarnya."

"Itu Mbakku."

"Ah, yang bener. Kamu 'kan cuma punya kakak laki-laki."

Aku menguping sambil senyum-senyum.

"Serius, Ton. Ini Mbakku yang seminggu lalu habis pulang dari Jakarta. Kamu memang tidak pernah lihat."

"Ga, kemarin pas aku pakai motormu kayaknya korek api sama rokok bapakku ketinggalan deh." 

"Jadi, itu rokok bapakmu, Ton!"

Rangga menjintak kepala temannya. Kemudian, melihat ke arahku. Mereka berhenti. Aku tersenyum.

"Mbak, mana korek api sama rokoknya. Mau aku kasih ke Anton. Itu punya bapaknya."

Astaga. Mendengar percakapan mereka aku sedikit lega karena rokok tersebut bukan milik Rangga. 

"Nah, kalau begitu Mbak pulang saja. Ya." 

Rangga sengaja membalikkan stang motor. Mendorong motorku dari arah belakang.

"Iya, Rangga. tidak usah didorong-dorong. Mbak juga bakal pulang."

Teman Rangga tertawa melihat tingkah kami. Semua yang melihat pasti akan menilaiku seperti pacar protective Rangga.

***

Pemalang, 12 Oktober 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun