Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Love Story Of Dreaming Part 6

24 Juni 2022   01:08 Diperbarui: 24 Juni 2022   01:09 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Part 6. Hadirnya Orang Ketiga

Masih terbayang pertengkaran semalam ketika Mak Yah menanyakan baik-baik soal uangnya yang hilang, "Kembalikan uangku, Mas Tejo? Itu untuk modal dagang."

"Ini ambil! Semua untuk-mu."

"Sebanyak ini?" pertanyaan sang istri membuat berang Sang suami

Suaminya memberi dua kali lipat lebih banyak. Mak Yah bimbang menerima pemberian Pak Tejo. 

Pak Tejo menggerutu dalam hati. Katanya sudah untung masih diberi. Gegas tak ambil pusing Pak Tejo segera mengemasi pakaiannya yang akan dibawa minggat.

"Kamu mau ke mana lagi, Mas Tejo," Mak Yah menahan Suaminya.

"Awas minggir," bentaknya. "Mendingan aku pergi. Kamu ini susah diatur, Yah. Mulai sekarang urus anakmu sendiri!"

Baru kali ini sang Suami baru menyebutkan namanya. 

Langkah Pak Tejo semakin menjauh. Mak Yah tidak bisa berbuat apapun. Selain, menatap kepergian sang suami pada saat menjelang subuh.

Suara adzan itu mampu menyejukkan hati. Lalu, dengan langkah berat . Mak Yah membasuh wajah untuk berwudhu.

Selembar sajadahnya menjadi tempat penumpu beban. Dengan suatu harapan dalam doa. Ia yakin rencana Tuhan lebih indah dari segalanya. Meski harus melewati beberapa ujian berat. Ia tetap bersabar.

Sesudah menemui Tuhan dalam doa, Mak Yah menuju kamar kedua anaknya. Mengusap lengan Keti dan Kira cara lembut untuk membangunkan mereka.

"Keti, Kira. Ayo bangun, Nduk. Waktunya sholat subuh."

Keti memeluk sang Ibu dan menurut. Kak Kira menuntun adiknya ke kamar mandi.

...

Cahaya mentari pagi mulai terbentang memasuki ruangan tamu kediaman rumah Mak Yah. Ada Mak Yah tengah merenung. Beribu sesal telah menolak pemberian sang suami. Tabungannya dibawa kabur. Ditambah lagi jualannya semalam rugi karena dibuang Para preman.

Kira dan Keti meminta sarapan. Beruntung ada kecap dan telur masih tersisa begitu pun dengan beras jatah pemberian Bu RT. 

Mak Yah mulai memasak nasi dengan tungku, kompor buatan sendiri dari batu bata yang menggunung, di tengahnya diberi kayu bakar. Api menyala, memanaskan pantat panci. 

Dinding menghitam hasil karya uap api. Sedang suara gaduh terdengar dari atap yang menggeser. Hasil karya kucing dan si tikus tengah berebut sisa makanan.

Mak Yah mengayunkan gayung berisi air ke atap langit kemudian menghujani dirinya sendiri. 

"Dasar kucing!" 

Mak Yah mencaci sepanjang hari di dapurnya. Keti masih melukis gunung beserta rerumputan coretan tangan kali ini membentuk rumah segitiga. Memandang Ibunya lantas tertawa.

Semua sudah siap, Mak Yah menaruh makanannya di atas meja. Tapi, kakinya terkilir. Keti, Kira menyerbu ke meja makan.

"Aduh, duh..Gusti!" 

Melihat sang Ibu yang kesakitan. Kira segera menuntunnya ke dalam kamar. Pikiran Mak Yah kacau, kepalanya berdenyut. Kaki yang tiba-tiba terkilir. Nasib sial terus menimpanya.

"Kira, ambil beras kencur dari dalam laci. Taruh ke piring, lantas dihanyutkan dengan air hangat.

Kira menurut. Selepas makan Keti menuju  kamar sang Ibu. Mak Yah menyuruh Keti mencuci tangan terlebih dahulu. Kira datang menyediakan obat tradisional yang diminta-- beras kencur tersebut diusapkan ke kaki sang Ibu. Dan, didiamkan beberapa jam sambil Mak Yah beristirahat.

**

Mak Yah berpikir bagaimana caranya mendapatkan modal jualan. Meski belum sembuh benar. Terpaksa keluar mencari pinjaman ke salah satu tetangga. Bu Laras berstatus penyediaan utang berbasis bunga. 

"Bu Laras, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh..., Bu Yah. Silahkan masuk, tumben mampir. Ada apa Bu?"

Ia mulai berbasi-basi menanyakan kabar Bu Laras. Berbincang soal harga cabai yang semakin mahal. Hingga menuju maksud tujuan kedatangannya kemari niat berutang.

"Jadi, begini Bu Laras. Mas Tejo minggat bawa uang simpanan modal dagang. Saya bingung mesti ke mana lagi pinjam uang. Kalau boleh, saya mau pinjam uang buat dagang. Nanti kalau balik modal saya kembalikan."

"Boleh saja Bu Yah. Gampang itu. Tapi, ada syaratnya jika telat bayar akan berbunga."

Meski hati beliau sempat ragu, Mak Yah pun menyanggupi syarat tersebut. Bu Laras mengambilkan uang di dalam brankas untuk diberikan kepadanya.

Dengan raut wajah bersemu merah Mak Yah berkata, "Semoga uang ini bisa membawa berkah. Amin. Alhamdulillah Ya Allah. Makasih Bu Laras." 

...

Mak Yah membelanjakan uang hasil pinjaman, sisanya untuk keperluan sehari-hari. Selain itu ia bersiap untuk jualan setelah adzan ashar berkumandang.

Langkah berat Ibu mengitari ke perkampungan yang tampak lenggang. Meneriakkan barang dagangan. 

"Tongyur, lontong-sayur, gorengan... ,

Anget-anget."

Ada beberapa orang yang melintas, Mak Yah bersiap menawarkan dagangannya.

"Gorengan anget, Mas, Mbak." 

Jawaban mereka hanya menggeleng saja kemudian melangkah pergi meninggalkan Mak Yah seorang diri. Mak Yah tetap menawarkan dagangannya dengan orang lain yang ditemuinya. Namun, tak ada satupun yang membeli dagangan Mak Yah. 

Kini senja mulai kembali ke peraduan. Burung-burung terbang menuju sarang. Daun-daun yang berguguran. Mata sembab pipi Mak Yah basah, menatap kecewa dagangan yang masih utuh tak terjamah.

Lewat sebulan bukan untung yang didapatkan malah utangnya makin berlipat bunga.

Di bulan berikutnya dua Rentenir suruhan Bu Laras datang, "Bu Laras menagih utang Mak Yah. Bulan ini harus dibayar, kalau tidak kami akan mengacak rumah anda," ancam Si rentenir.

"Beri waktu seminggu lagi, Pak. Saya mohon." Mak Yah memohon dengan mata sembab nan memerah.

Dua Rentenir itu pun berangsur pergi. Dengan jawaban, seminggu lagi mereka akan datang lagi. Tak ada pilihan lain, Mak Yah akan mencari sang Suami untuk bertanggung jawab memberikan hak seorang ayah. Ia tak peduli dengan rasa malunya meminta jatah di rumah istri siri sang suami. 

Ya, begitulah cara Mak Yah bertahan hidup. Demi membahagiakan kedua anaknya.

...

Mak Yah mengetuk pintu rumah yang pagarnya belum dilumuri cat berwarna. Halaman rumah terdapat pohon jambu yang buahnya tumbuh menggelantung.

Ada becak Pak Tejo terparkir di teras depan Mak Yah menghela napas panjang ketika sosok wanita muncul dari balik pintu rumah. Perempuan lebih muda usianya dari Mak Yah.

"Mbak Jah_" sontak perempuan itu kaget melihat tamunya. Dugaannya ia adalah istri pertama sang suami. Sesuai ciri tubuh Mak Yah yang tingginya semampai dan senang mengenakan cindung berbahan rajutan.

"Di mana Mas Tejo?"

"Ada Mbak, bentar Mbak. Silahkan masuk dulu."

"Aku nda sudi masuk, panggil Mas Tejo kemari."

Sang suami muncul tergopoh-gopoh, "Mau apa lagi ke sini?"

Suaminya menanyakan maksud kedatangannya. Para tetangga yang usil menonton dari pagar rumah masing-masing. Ada yang saling bergosip, bahwa Pak Tejo sedang dikuliti istri pertamanya.

Mak Yah dengan pasrah meminta haknya, "Aku butuh duit, Mas. Buat kebutuhan sekolah anak."

Istri kedua mempersulit keadaan, "Kalau ada butuhnya baru mau kemari. Dari kemarin kemana aja."

 Istri kedua bersikap angkuh. Secara terang-terangan mengatakan sesuatu yang membuat darah tinggi Mak Yah naik.

Mak Yah hampir tersulut emosi, beruntung Pak Tejo segera mengambilkan uang dari laci almari. Menyuruh istri pertamanya segera pergi. Mengusir Mak Yah dengan halus, sebelum ada percekcokan diantara kedua istri sah dan sirinya.

Dengan hati-hati Mak Yah menyimpan uang itu ke dalam dompet. Pergi tanpa pamit dengan wajah kusut menahan marah dan lumayan lega menerima uang dari Pak Tejo. Meskipun kecewa sebab sang suami lebih memilih tinggal bersama istri sirinya.

"Teganya Mas Tejo menikah tanpa persetujuanku dan memberlakukan aku seperti ini," ucap Mak Yah membuat dadanya sesak menahan sakit.

Ia benar-benar terpuruk menghadapi kenyataan pahit. Rumah yang dulu dia bangun bersama kini sudah dimiliki wanita lain. Kebahagiaannya sirna yang ada hanya duka dan kemarahan menyalahkan nasip keadaan.

Rupanya perubahan sikap sang suami karena hadirnya wanita lain. Sebelum perceraian rumah tangganya sempat menggantung tanpa arah. Mak Yah berusaha bersabar dan berserah diri kepada Tuhan.

Jodoh, takdir dan rezeki. Tak ada yang tahu, meskipun Mak Yah sudah menjadi istri setia. Ternyata Pak Tejo menghianati kesetiaannya. Takdir yang ia lalui begitu berat. Masalah ekonomi yang ia tanggung sendiri. Bisakah ia melewatinya. Yang pasti Mak Yah hanya menjalani apa yang ada sekarang ini. Tanpa memikirkan banyak hal.

***

Semua beralih ke seragam putih biru yang tersampir di jemuran. Keti beranjak remaja mulai menyiapkan sendiri keperluan sekolah menengah pertama di kelas satu. Mak Yah sudah beralih profesi menjadi seorang pemulung.

Bersambung

***

Pemalang, 24 Juni 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun