Usai sholat di kamar, sang Ibu tidak langsung tidur. Besok bukan hari pasaran, jadi tidak perlu pagi-pagi kulakan jajanan ke pasar. Lagi pula Yu Sanem pasti sudah menyisihkan jajanan untuk sang Ibu karena pada hari biasa Pasar Wage tidak terlalu ramai.Â
Mak Yah memijit tekuk dengan minyak kayu putih. Badannya terasa pegal semua. Ia agak heran mengapa sore ini banyak sekali kejadian. Meski bersyukur semua dagangan tanpa sisa, namun sang Ibu belum yakin apakah besok akan berjualan kembali di halte.Â
Ah, besok urusan besok, pungkasnya. Namun tidak demikian ketika ia teringat pada pertanyaan Keti tadi.Â
'Aku tidak bisa terus menerus diam. Keti tentu kangen juga sama bapaknya. Bukan salah Keti atau Kira, jika ingin tahu ke mana bapaknya pergi. Mas Tejo yang memang keterlaluan,' bisik hati Mak Yah.
Mata Mak Yah menerawang. Menatap langit-langit kamar yang mulai penuh jelaga. Entah sudah berapa lama dibersihkan. Mak Yah bahkan sudah lupa, kapan terakhir suaminya bersih-bersih rumah.
'Ah, aku tidak boleh mengeluh. Aku harus kuat agar Kira dan Keti bisa terus sekolah,' tekad hatinya. Namun air matanya mulai menitik.Â
"Percaya sama saya Dik Yah, jangan dengar omongan orang," ujar Sang Suami.
"Tapi kemarin ada perempuan yang mengaku sebagai istrimu!" sahut Mak Yah sedikit emosi.
"Apa buktinya? Suruh dia menunjukkan surat nikahnya."
Jawaban Pak Tejo akhirnya meluluhkan hati Mak Yah. Terlebih undangan pernikahan sudah disebar. Mak Yah juga tidak ingin mengecewakan kakek yang pertama membawa Pak Tejo ke rumah dan memperkenalkannya sebagai pekerja proyek bendungan di kampung sebelah.Â
Namun itu tidak butuh waktu lama untuk membuka topeng Pak Tejo. Tepat saat mengandung Suketi, Pak Tejo berterus terang tentang perempuan yang dulu pernah datang ke rumah.