"Beli lontong saja, Bu Yah. Dua, dibungkus."
Dengan cekatan perempuan paruh baya itu melayani pembeli pertamanya; anak gadis Pak Hadi yang kabarnya sudah lamaran. Calonnya dari wetan. Kabarnya anak pejabat di kantor gubernur. Ibu Suketi heran, mengapa anak orang kaya selalu mendapat jodoh dari keluarga kaya juga. Sebersit doa mengalir dalam dada untuk dua anaknya di rumah.Â
"Terima kasih. Bu Yah," ujar gadis itu sambil menyodorkan uang.Â
"Besok kalau aku mantenan, bikin yang banyak ya. Bu Yah ngga usah keliling, aku borong semua. Aku bikinin tenda spesial buat Bu Yah melayani tamu-tamuku yang pengen makan lontong sayur."Â
Mak Yah menganga menepis rasa haru. Bukan bahagia pada pujian gadis itu, tetapi tenda spesial. Ah, Ia sudah lupa pernah berharap ingin punya tempat jualan. Dulu sempat ada yang nawari jualan di pasar. Tetapi sewanya terlalu tinggi. Mak Yah sulit membayangkan jumlah uang yang diminta.
Mak Yah bergegas meninggalkan rumah Pak Hadi. Setelah melayani dua-tiga pembeli, sang ibu tiba di depan kantor cabang kejaksaan. Terdengar musik dan suara orang tertawa.
"Bu, lontongnya masih?" panggil salah seorang pegawai.
Mak Yah menyahut sambil mendekat. "Malah baru laku empat bungkus."
"Ya sudah, duduk di sini saja," katanya sambil melangkah ke dalam. Tidak lama orang itu kembali sambil membawa piring dan menyodorkan pada Mak Yah.
 "Aku minta lontong sayur sama gorengan. Kalau teman-temanku pesan, kasih saja. Nanti aku yang bayar."
"Ada apa tho Pak, kok sampai sore masih ramai," tanya Mak Yah sambil menyiapkan lontong sayur yang diminta.Â