Part 3Â
Mencari Keberadaan Sang Ibu
Flashback Â
Dua anak kecil mondar-mandir pada tempat yang sama, teras rumah yang tampak sederhana terdapat kaca bening yang tertutup gorden. Dinding-dinding belum dilumuri campuran pasir dan semen. Atap banyak yang bocor jika hujan jalan pelataran becek. Ada pohon mangga dahulu pohon ini ditanam oleh Kakek mereka. Semenjak Kakek Suketi sudah tiada pohon mangga ini jarang berbuah.Â
Kira kakak perempuannya mengetuk pintu duluan, ketukan tak memberi jawaban dari sapaan salam.
"Ibu ... Bapak!"Â
Suara Keti dan Kira berebut menyusup dalam rumah. Namun hingga beberapa kali tidak ada jawaban. Mereka memilih masuk ke dalam mencari Ibu dan bapaknya ke setiap sudut ruangan. Akan tetapi semua tampak lengang.Â
Sinar matahari menembus atap yang bergeser, plastik yang membungkus di langit-langit sudah berlubang karena ulah tikus dan kucing. Berada dalam rumah sekalipun mereka seperti berada di lapangan sekolah.Â
Kira melihat kamar Ibunya seperti telah terjadi bencana semua berantakan lembaran kertas bertebaran ke setiap sudut-- lemari baju pun terbuka lebar. Adakah pencuri yang masuk ke rumah mereka? Keluarganya tak memiliki barang berharga. Kecuali.
Dadanya bergemuruh Kira tak ingin berpikir jauh. Penyebab semua ini. Apa Ibu dan bapaknya bertengkar lagi? Suketi juga takut terjadi sesuatu menimpa orang tua mereka. Suara cacing dalam perut semakin mendesak tak mau kompromi.
Keti terisak biasanya jika ada Ibunya saat pulang sekolah, anak itu langsung bisa makan. Bola matanya memerah karena terus meradang.Â
Keti mengusap perutnya dengan lembut, "Kak Kila, Keti laper."
Kira masih menatap bingung kamar Ibunya, dia terdiam lama memikirkan sesuatu. Bahkan Kakaknya seakan tak peduli ketika hujan di pelupuk mata gadis itu makin mengalir deras.Â
Suketi kecil memilih berlari menuju ke belakang, meraih piring porselen dalam sebuah rak lalu terjatuh ketika mencoba meraihnya, serpihan piring berserakan di mana-mana. Ia pungut satu persatu kepingan itu. Kulit Suketi tergores mengeluarkan darah segar mengucur perlahan-lahan.
"Kak Kila, sakit. Hikss."
Kira melangkah menuju meja makan untuk membuka tudung saji yang ternyata di luar dugaannya, tak ada makanan sama sekali. Mendengar adiknya menangis, dia segera menghampiri. Lalu mengusap keningnya, mencoba menenangkan tetapi ia tetap menangis karena perutnya belum terisi apapun, jarinya terasa perih menusuk, sakit. Suketi ingin marah tetapi percuma. Toh semua gara-gara Ibunya pergi. Jadi tidak ada yang menyiapkan makanan hari ini. Kira membantu adiknya menutup luka dengan perekat.
Kakaknya membujuk Keti untuk tenang. Ia juga membantu mengganti seragam sekolah dengan pakaian santai.
Keti istirahat di atas amben yang sudah dirapikan oleh Kira. Perut adiknya lapar jadi tak bisa tidur nyenyak. Keti teringat akan sentuhan sang Ibu saat membelai ujung rambutnya ketika sulit terpejam.
Kali ini hanya ada Kakaknya yang sedang mengusap rambut Keti kecil, sentuhan telapak tangannya berbeda dengan ibu dan bapaknya.
Kira terkejut lupa kalau guru SMP di sekolah mengirimkan surat. Tagihan Sekolahnya bulan ini belum dibayarkan. Adiknya ikut-ikutan menghela nafas panjang.Â
Perut Keti terasa sembelit kata emak kalau lapar minta sama Allah, dengan polosnya anak kecil itu pun berdoa.Â
"Ya Allah, Keti lapar, Keti mau makan, Ya Allah."
Meskipun sudah berdoa ia tetap saja merasa lapar.Â
"Kak Kira yuk cari Ibu." Keti terus membujuk Kakaknya agar mau mencari sang Ibu.Â
Tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Keti pikir itu Ibunya yang datang ternyata tetangga sebelah yang mengantarkan roti. Roti sebagai ganti makan siang.
Setelah jam satu lewat. Orang tua mereka belum juga kembali. Keti mengajak Kakaknya untuk pergi mencari Sang Ibu.
Siang itu suasana surya membungkus langit, mereka masih mengayuh sepeda phoenix di jalan raya. Hendak pergi ke pasar mencari Ibunya. Sebelum sampai di keramaian kota, mereka melewati perumahan asri di pemakaman yang belum ada pembatas dinding. Menembus pertigaan jalan sudirman di situ mereka belok ke arah utara dan berjalan lurus terus hingga sampai di perempatan lampu merah, baru menuju ke arah jarum jam tiga.Â
Ketika melintas Keti sempat memperhatikan deretan bangunan berdiri kokoh di setapak jalan. Dari mulai sebuah altar, toko pakaian, sepatu, pernak-pernik hiasan dan toko kelontong. Tak sengaja ia membaca tulisan yang tertempel di etalase.Â
"Pengamen/pengemis datang hari Jum'at," mengeja tetapi belum usai.Â
Sepeda mereka hampir keserempet motor. Pengendaranya adalah seorang bapak dengan mengenakan jaket hitam, tanpa menggunakan helm. Badannya sedikit gemuk namun tubuhnya kekar. Untung mereka baik-baik saja, hanya mengenai setang mengakibatkan lebam di sikut tangan. Pengendara motor itu melintas jauh dari pandangan.Â
Kakaknya mulai mengayuh sepedanya lagi. Keti melihat Ibunya memanggul dagangan di atas trotoar. Terseok-seok di setapak jalan di depan ruko pakaian.
"Kak Kira itu Ibu, Ibu!"
Ibunya menoleh ke arah mereka Kira memarkirkan sepedanya di pinggir jalan. Anak kecil turun dari boncengan. Berlari menuju wanita keriput yang mengusap keringatnya.
"Keti, Kira mengapa kemari?"Â
Lalu Ibunya melepaskan selendang motif bunga warna biru yang sudah pudar. Tenong berisi lontong sayur, gorengan dan jajanan pasar diletakkan di bawah. Tangannya meraih keranjang berisi makanan ringan. Itu sudah beralih ke tangan merekaÂ
Rasanya renyah dan gurih. Sang Ibu memaksa anaknya pulang, beliau khawatir kedua anaknya demam. Keti merajuk ingin membantu Ibunya berjualan. Ibunya menolak dengan kalimat halus menyuruh mereka segera pulang dan jangan lupa sembahyang.
"Kira antar adikmu pulang. Ibu mau keliling lagi."Â
 Kira menggandeng tangan adiknya. Awalnya Keti menolak tetapi, ketika Ibu sudah membungkus lontong gorengan ke dalam plastik hitam. Yang kini sudah dibawa Kira. Keti akhirnya mau duduk di atas boncengannya.Â
"Biar Keti yang bawa, Kak."
Bungkusan plastik berisi lontong gorengan berada di tangan Keti. Anak kecil itu mengintip isi plastik. Rasanya ingin segera makan sekarang juga tetapi ia teringat nasihat Ibunya. Anak baik jangan serakah! Berbagi makanan meskipun sedikit.Â
Keti menatap punggung sang Ibu yang sedang membereskan lagi dagangannya. Memanggul tenong itu dengan selendang biru, keliling lagi menjemput rezeki.Â
Langkah Ibunya pelan. Kucuran keringat di pelipis diusapnya berulang-ulang seakan keringat itu tak pernah habis. Keti meraih satu gorengan. Saat ibunya sudah jauh dari pandangan.Â
Keti berdoa dalam hati, 'Ya, Allah. Keti mohon semoga dagangan ibu laris manis.'
**
Setelah kembali Keti dan Kira mulai melahap lontong gorengan itu sampai ludes. Kemudian Kira menyuruh adiknya mencuci tangan sehabis makan. Keti menurut dan beranjak ke kamar mandi.Â
Keti terus memikirkan keadaan Ibunya di luar sana. Apa Ibunya sudah makan? Ibunya pasti lelah memanggul tenong dan membawa keranjang. Sudah begitu sang ibu cuma jalan kaki, mengelilingi jalan raya dan kompleks perumahan.Â
"Dek, mikirin apa toh? Apa masih lapar? Hmm.. "
Suara Kak Kira membuyarkan lamunannya, ia menggeleng memeluk Kakaknya melepas penat.Â
"Nanti kalau aku sudah besar mau bantu ibu jualan."
Keti berujar sendiri sampai menutup matanya yang pedih.
***
Pemalang, 20 Juni 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI