Keti terisak biasanya jika ada Ibunya saat pulang sekolah, anak itu langsung bisa makan. Bola matanya memerah karena terus meradang.Â
Keti mengusap perutnya dengan lembut, "Kak Kila, Keti laper."
Kira masih menatap bingung kamar Ibunya, dia terdiam lama memikirkan sesuatu. Bahkan Kakaknya seakan tak peduli ketika hujan di pelupuk mata gadis itu makin mengalir deras.Â
Suketi kecil memilih berlari menuju ke belakang, meraih piring porselen dalam sebuah rak lalu terjatuh ketika mencoba meraihnya, serpihan piring berserakan di mana-mana. Ia pungut satu persatu kepingan itu. Kulit Suketi tergores mengeluarkan darah segar mengucur perlahan-lahan.
"Kak Kila, sakit. Hikss."
Kira melangkah menuju meja makan untuk membuka tudung saji yang ternyata di luar dugaannya, tak ada makanan sama sekali. Mendengar adiknya menangis, dia segera menghampiri. Lalu mengusap keningnya, mencoba menenangkan tetapi ia tetap menangis karena perutnya belum terisi apapun, jarinya terasa perih menusuk, sakit. Suketi ingin marah tetapi percuma. Toh semua gara-gara Ibunya pergi. Jadi tidak ada yang menyiapkan makanan hari ini. Kira membantu adiknya menutup luka dengan perekat.
Kakaknya membujuk Keti untuk tenang. Ia juga membantu mengganti seragam sekolah dengan pakaian santai.
Keti istirahat di atas amben yang sudah dirapikan oleh Kira. Perut adiknya lapar jadi tak bisa tidur nyenyak. Keti teringat akan sentuhan sang Ibu saat membelai ujung rambutnya ketika sulit terpejam.
Kali ini hanya ada Kakaknya yang sedang mengusap rambut Keti kecil, sentuhan telapak tangannya berbeda dengan ibu dan bapaknya.
Kira terkejut lupa kalau guru SMP di sekolah mengirimkan surat. Tagihan Sekolahnya bulan ini belum dibayarkan. Adiknya ikut-ikutan menghela nafas panjang.Â
Perut Keti terasa sembelit kata emak kalau lapar minta sama Allah, dengan polosnya anak kecil itu pun berdoa.Â