Bukan salah ibunya bahkan Suketi tak ingin menyalahkan takdir. Bapaknya pergi demi wanita lain dengan alasan yang tak masuk akal, demi menginginkan anak laki-laki yang kuat dan mandiri, dulu ada namun Tuhan mengambilnya selagi bayi. Tiga anak perempuan  ditinggalkan tanpa memberi tanggung jawab untuk membesarkannya. Egois sangat egois. Suketi mengecap semua Laki-laki itu egois.
Suketi meremas ujung bajunya melempar bantal ke dinding kamar. Menangis tersedu-sedu, ia tahan agar tidak mengeluarkan suara barangkali ibunya mendengar takutnya terbawa juga dalam kesedihannya.
Suketi teringat semasa sekolah dasar, salah satu temannya bertanya, "Dijemput siapa, Ket?"
"Kakek," jawab Suketi.
"Bapakmu nda pernah jemput kamu?"
Anak SD kelas lima juga sudah mengerti ada yang kurang dari keluarganya. Suketi kurang akan kasih sayang dari seorang Bapak. Meskipun kakeknya berusaha menggantikan sosok Bapak rasanya tidak akan sama dengan teman-teman yang lain.Â
Suketi sering mengeluh jika Kakeknya datang terlambat untuk menjemput. Beliau terkadang begitu kelelahan membawa becak dan penumpangnya. Upah yang tak seberapa sering kali diberikan pada Suketi sebagai saku berangkat sekolah.Â
Hingga hari itu hari di mana Suketi bertemu lagi dengan Bapaknya ketika diajak ke pasar pagi. Bapaknya hanya memberi uang yang cuma cukup untuk membeli es teh. Mirisnya Bapak Suketi tak bicara apapun mengenai keadaannya. Dia pergi seolah bukan lagi tanggung jawabnya.
Kakeknya sedih begitupun dengan Suketi.
Ketukan pintu kamar berulang kali, menggedor pertahanan Suketi. Gadis itu sadar masa itu telah terlewati.
"Ket, waktunya sholat magrib. Perempuan gak baik tidur jam segini."