Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Tertangkap

5 Januari 2022   00:24 Diperbarui: 5 Januari 2022   00:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengenal Bu Panda, begitu sangat mengenalnya. Wanita paruh baya, seorang janda yang ditinggal mati oleh sang suami.

Ketika itu, Bu Panda berkunjung ke rumah. Balita yang baru berusia empat bulan sedang tertidur pulas. Terbangun sebentar saat Bu Panda akan memeluk. Langsung terbatuk-batuk.

"Rin, anakmu harus diberi obat. Orang dewasa saja kalau batuk rasanya tidak nyaman dan dada terasa sesak apalagi anak kecil," ujarnya.

Bentuk perhatian Bu Panda kepada Aya, anakku. Seperti keluarga dekat berbeda sekali jika dibandingkan saudara kandung sendiri.

"Belum sempat ke apotek, Bu. Suami belum pulang, lagian nanti siapa yang momong Aya." 

"Bawa Aya saja kalau perlu."

Aku memperhatikan kaca jendela, cahaya memantul ke ruangan ini. Suasana begitu terik, kasihan Aya jika dibawa jalan-jalan nanti kepanasan.

"Sore saja yah, Bu. Masih panas," ucapku sambil menyuguhkan segelas teh hangat.

...

Aku kira Bu Panda hanya sekadar basa-basi tak dinaya, dia kembali lagi untuk pergi ke pasar. Bu Panda mengenakan gamis polos berwarna marun senada dengan warna gincu. Sandal selop sederhana serta dompet ditangan kirinya.

Bersama Bu Panda, aku menyusuri deretan kios yang menjual berbagai macam jenis jajanan. Termasuk Toko Kelontong. Bu Panda hendak menukar gelang kesayangannya namun bagiku model gelang itu sudah menarik, mengapa harus ditukar? Pikirku. 

"Bu, mau ke mana dahulu? Ke apotek atau ke Toko Emas."

"Toko Emas, Rin. Kalau ke apotek terakhir saja sehabis beli telur kampung. Kamu juga Rin harus sering makan telur ini, baik juga untuk kesehatan. Apalagi kamu sedang menyusui, tenaga sering lemas. Bener toh," tutur Bu Panda panjang lebar. 

Aku sangat senang diperhatikan. Di Toko Emas tak begitu ramai oleh pembeli. Jadi kami segera dilayani oleh karyawan toko. 

Bu Panda memilih menukar gelangnya dengan menambah berat gram. Membayar lebih untuk perhiasan yang lebih mencolok. Akan tetapi, gelang tersebut bukan untuk dipakai melainkan sebagai simpanan masa depan.

Management keuangan Bu Panda layak ditiru. "Pantas saja Bu Panda makin kaya, jadi ini rahasianya." Lagi-lagi aku berkata di dalam hati.

Kami memasuki pintu masuk pasar pagi, menuju ke arah timur mencari pedagang penjual telur.

"Gini caranya memilih telur, Rin. Yang baru itu warna cangkangnya ada bercak kotoran, lihat juga jangan sampai retak yang kita pilih."

"Ya, Bu." 

Telur ayam kampung harga satuannya beda seribu dari telur biasa. Meskipun ukurannya kecil namun harganya justru lebih mahal. Mungkin karena khasiatnya.

Saat kami sedang memilih telur, pedagang sayuran di seberang kami tengah berdebat. Penjualnya seorang nenek-nenek, matanya sembap. 

"Ini uang palsu, kan." Katanya.

"Bukan Bu, lihat ini." Pembeli membela diri satu tangan menyerahkan lembaran kertas merah.

Menyembunyikan tangan kirinya ke belakang pantat. Memegang sesuatu. Saat perdebatan makin riuh. Pembeli itu hendak kabur. 

Bu Panda meletakkan telur ditangannya. Belum sempat aku bertanya mau ke mana, Bu Panda dengan sigap mengejar penipu penyebar uang palsu itu.

Aku melihat Bu Panda berhasil menyergap-- wanita usia tiga puluhan memakai kerudung berwarna hijau yang terlepas dari balutan wajah. Bu Panda memeluk tubuh gempalnya. Sampai menarik hijab tampak kalung permata di leher. Pelakunya begitu cantik memakai perhiasan lengkap, seperti toko emas berjalan.

Masker dan hijabnya di buang sembarang tempat oleh Bu Panda. Pelaku itu diserahkan ke pedagang pria asli orang Batak yang wajahnya begitu sangar. Dibawa ke post satpam untuk disidang. 

"Rin, langsung pulang saja. Ibu tidak mau jadi saksi. Ribet, bolak-balik ke kantor polisi," ujarnya berjalan dengan terburu-buru. 

Kami tak jadi beli telur, keluar pintu menuju ke arah selatan untuk menghindari kerumunan.

"Orang yang nipu pakai uang palsu sudah tertangkap itu di angsana, yang nangkap ibu-ibu. Berani banget ya," kata orang yang berjalan di sebelahku. 

Bu Panda sudah mengenakan masker agar tidak ada seorang pun yang bisa mengenali wajahnya. Dia tidak ingin kebaikannya menjadi pahlawan diketahui banyak orang.

"Untung yah sudah ketangkep pelakunya, benar-benar meresahkan pedagang," begitu komentar para pedagang di pasar.

Mendengar ucapan orang mengenai Bu Panda, aku melirik ke arahnya dengan tertegun sambil tersenyum sendiri dibuatnya.

***

Pemalang, 4 Januari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun