Mohon tunggu...
Muhammad Akmal Latang
Muhammad Akmal Latang Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Melihat hidup ini dari perspektif sendiri, bukan mata orang lain

Kebaikan dan niat baik jangan dilihat darimana sumbernya !

Selanjutnya

Tutup

Money

Masalah Impor dan Daya Beli Masyarakat, Ini Solusi Sandinomics

8 November 2018   11:30 Diperbarui: 8 November 2018   11:33 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika Impor pangan yang terus diluncurkan oleh pemerintah seakan memborbardir kesenjangan dunia pertanian di Indonesia, sekeras apapun petani berteriak agar pemerintah tidak lagi mengandalkan kekuatan impor tak kunjung dihiraukan, walaupun pemerintah mengetahui bahwa impor berlebih apalagi saat masa panen sangat merugikan pihak petani namun mungkin karena tergiur persenan sehingga mereka terus menutup mata akan hal ini?

Sebagai upaya menyuarakan aspirasi para petani dan peningkatan daya beli masyarakat, tim koalisi Adil Makmur Prabowo-Sandi melakukan diskusi umum membahas tentang Impor VS Daya Beli Masyarakat, kegiatan ini disiarkan secara langsung di berbagai media sosial serta diliput beberapa media mainstream lainnya.

Apa yang dilakukan pemerintah saat ini seakan tidak berpihak kepada rakyat dan petani, keterlambatan perkembangan ekonomi bulan ini 5,1 persen sedangkan tahun lalu dibulan yang sama 5,6 persen sehingga ada penurunan, sedangkan pada kuartal kedua 2018 mencapai 5,27 persen sehingga ada penurunan sekitar 1 persen selama 2 bulan terakhir.

Data ini telah meruntuhkan pernyataan menteri pertanian bahwa Indonesia akan swasembada pangan pada pemerintahan jokowi, sebagaimana data yang ditunjukkan oleh tim sandinomics bahwa kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan nasional turun dari 2,8-2,9 persen di 2012-2014 menjadi 2,5-2,6 persen di tahun 2015-2017.

Kita juga mengalami defisit perdagangan, pasalnya pertumbuhan ekspor hanya mencapai 7,52 persen sedangkan pertumbuhan impor 14,06 persen, artinya pertumbuhan kita mengalami stagnasi, bahkan cenderung melambat atau tidak bergerak dibandingkan dengan triwulan kedua, dipicu karena kebijakan kondisi ekonomi kita yang terbilang tidak memiliki progres yang begitu besar contohnya kekhawatiran pemerintah terhadap pelemahan rupiah yang kemudian dibuatlah kebijakan dengan membatasi impor dan menaikkan pajak ternyata tidak begitu efektif.

Kemudian data menunjukkan bahwa Angka Nilai Tukar Petani (NTP) NASIONAL Turun Oktober 2018 sebesar 103,02 atau turun 0,14 % dibandingkan September 2017, Tahun ini pun barang Konsumsi (FMCG) mengalami perlambatan pertumbuhan serius, Hanya 2,7% dari pertumbuhan rata-rata 11 %. Perlambatan pertumbuhan FMCG bukan karena shifting ke online, karena kontribusi online hanya 1%.

Sandiaga Uno selama 2 setengah bulan terakhir di hampir semua wilayah telah melakukan blusukan di berbagai pasar tradisional di seluruh Indonesia dan menemukan ketimpangan dari segi penjual merasakan harga tidak stabil dan pembeli kurang sedangkan dari sisi pembeli harga harga semakin meningkat, dan yang jadi menarik adalah ketika pak Jokowi dalam seminggu terakhir juga melakukan hal yang sama yang menurut pak Jokowi inflasinya masih terbilang berada di angka yang normal.

Sedangkan berbicara daya beli menurut statistik salah satu indikator adalah dari lapangan pekerjaan ada 7 juta pengangguran menurut data BPS sedangkan pekerja itu terbagi lagi secara kategori yakni pekerja temporer (tidak tetap) yang termasuk rentan karena penghasilannya tidak tetap sehingga besar indikasinya bahwa daya belinya rendah, pekerja tidak dibayar (pekerja keluarga) dengan jumlah 13%.

Seiring dengan itu konsumsi yang ada di masyarakat termasuk fast moving consumer goods mengalami penurunan yang cukup ekstrim, namun banyak yang berargumen bahwa hal itu karena beralih dari pasar konvensional ke online, tapi setelah di analisa memang bahwa online repiti growing tapi belum se-signifikan itu karena masih di kisaran 1% di total market online, jadi konsumen kemana? Yah tidak kemana mana tapi memang konsumsi yang menurun.

Daya beli di kalangan bottom 40% sosial menengah kebawah yang termasuk petani itu menurun, besar kaitannya adalah karena impor pangan yang menyebabkan mereka tidak bisa menjual hasil hasil produksinya sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah yang pro terhadap rakyat, bukan konglomerat asing.

Sandiaga Uno sebagai Cawapres RI Urut 02 juga sebagai ekonom sukses mengungkapkan penurunan daya beli masyarakat dikarenakan penghasilan masyarakat yang menurun sehingga kuncinya masyarakat harus punya penghasilan yang lebih, sehingga pemerintah harus mampu menghadirkan index lapangan pekerjaan yang merata di seluruh daerah untuk lulusan s1 kebawah.

"Saya lihat yang paling harus didorong adalah, 97% daripada penyerapan lapangan pekerjaan itu kan di sektor UMKM, ini pemerintah harus memfokuskan bagaimana merevitalisasi sektor UMKM ini, kita lihat dari segmen-segmen nya mana saja yang bisa di energize secepatnya, saya yakin kalau ada kebijakan yang langsung menyentuh kepada akar permasalahan nya, kita akan bisa turunkan pengangguran terbuka,jangan sampai semuanya lari ke sektor non formal, tapi kita buat satu kebijakan yang menghadirkan lapangan kerja baru dan berkualitas" tandas Sandiaga Uno pada acara Rabu Biru (Bincang Seru), Rabu, 7/11/18.

Pada kegiatan Rabu Biru ini juga diungkapkan bahwa hal yang menjadi prioritas sekarang adalah dengan membangun industri pengolahan sehingga impor impor bahan jadi dapat ditekan, seperti halnya impor mobil dari china, industri mobil nasional semisal esemka harus diapresiasi jangan dipolitisir karena ini suatu kebanggaan, tapi yang menjadi prioritas adalah membangun industri yang memiliki nilai tambah yang besar, namun sangat banyak kendala seperti pembangunan infrastruktur yang juga dipolitisir, serta kendala listrik ini harus diatasi.

Bagi Prabowo-Sandi lapangan pekerjaan adalah harga mati, pasalnya trend deindustrialisasi yang sekarang dibawah 20% itu harus di reverse, harus ada peningkatan dengan suatu kebijakan pemberian insentif sehingga pabrik pabrik akan ada lagi di Indonesia, dan adanya ketidak konsistenan data dari pemerintah maupun BPS tidak sejalan, ada yang mengatakan kita harus impor misal jagung namun ada juga data yang mengatakan kita sudah surplus jagung.

Jadi solusi dari sandinomics cukup simpel yakni secara struktural pemerintah harus membuat kebijakan yang onsentrasinya jelas pro UMKM, pro lapangan pekerjaan dan pro industri nasional, kalau perlu kita harus out of the box, yang selama ini tidak pernah dilakukan kenapa tidak kita coba dengan menekan jumlah ekspor komoditas hasil bumi yang tidak mengalami proses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun