Mohon tunggu...
Akmal Abudiman Maulana
Akmal Abudiman Maulana Mohon Tunggu... Administrasi - Capital Markets - Teaching - Writing

Menulis membuat anda hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Meneladani Kearifan Lokal Adat Kajang sebagai Prolog Mitigasi Bencana

14 September 2018   22:54 Diperbarui: 13 Maret 2020   14:10 4776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/mongabay.co.id

Jika melihat data statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama 10 tahun terakhir, banjir, tanah longsor, dan puting beliung menjadi bencana alam dengan frekuensi yang paling sering terjadi di Indonesia.

Di tahun 2018, misalnya, puting beliung telah terjadi sebanyak 433 kejadian, banjir dengan 374 kejadian, tanah longsor dengan 268 kejadian, kebakakaran hutan, dan lahan dengan 268 kejadian.

Bencana ini tidak hanya menelan banyak korban jiwa, tetapi juga menimbulkan kerusakan baik rumah maupun fasilitas publik.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan bencana yang terjadi di Indonesia lebih banyak karena oleh ulah manusia.

Bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan puting beliung banyak disebabkan oleh faktor antropogenik atau ulah manusia.

Eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, perluasan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan atau sawah pertanian menjadi permukiman tanpa diikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air menyebabkan bencana lebih sering terjadi.

Tak pelak, data Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menunjukkan bahwa sedikitnya 1,1 juta hektare atau dua persen dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya: dari sekitar 130 juta hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektare di antaranya sudah habis ditebang.

Penebangan hutan secara liar, pembakaran hutan, dan berbagai kerusakan lingkungan hidup lainnya telah memberikan dampak negatif pada ekosistem hutan dan lingkungan hidup, yang tak lain disebabkan ulah tangan dan keserakahan manusia lantaran mementingkan keuntungan material tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkannya.

Namun, kita patut bersyukur dan berbangga karena masih terdapat sekumpulan manusia atau masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal leluhur yang menempatkan alam sebagai bagian dari kehidupan.

Mereka masih memegang prinsip dan ajaran hidup leluhurnya dalam melestarikan alam, meskipun sebagian berpandangan bahwa sangat sulit untuk menerapkan ajaran leluhur yang telah turun temurun diwariskan terutama di zaman modern seperti saat ini. 

Adalah masyakarat adat, yang hadir sebagai salah satu khasanah yang memberikan spektrum warna tersendiri di atas garis peradaban bangsa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun