Mohon tunggu...
akmal
akmal Mohon Tunggu... P.SWASTA -

corporate legal staff @JA AND I am a White rice addict ; ♥

Selanjutnya

Tutup

Money

Prespektif Hukum Renegosiasi Kontrak dan Izin Usaha Freeport

18 Oktober 2015   08:28 Diperbarui: 4 April 2017   18:27 2290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

“Pemerintah secara de jure tidak punya hak menyimpang. Sayangnya secara de facto banyak penyimpangan yang tidak dibereskan”.

Amanat Konstitusi kita secara tegas menjelaskan yang ada di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara  sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumberdaya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu diperhatikan dan dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Freeport kembali menjjadi Opini publik akhir-akhir ini yang dimuat di berapa berita, hal tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah terhadap perusahaan terbesar amarika yang  merupakan salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mengandung cadangan tembaga yang dapat diambil yang terbesar di dunia, menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. sebelum kita membahas soal Freeport maka terlebih dahulu kita harus tau tentang hieraki Undang-Undang yang ada di Indonesia untuk bertujuan mengetahui kasus posisi yang terjadi,untuk itu ada asas hierarkinya. UUD paling tinggi. lalu turun ke Undang - Undang, terus ke Peraturan Pemerintah (PP), dst, sampai ke Peraturan Daerah (Perda). Kalau ada hukum yang tidak sesuai dengan hukum yang ada di atasnya, misalnya ketika terjadi pertentangan antara Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undang-undang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo semakin diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sekarang ini hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut ketentuan UU No.12 Tahun 2011 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawartan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Demikian untuk Kontrak yang berada paling bawah, sebab kontrak harus mematuhi semua hukum yang terkait. Pada dasarnya kontrak konsesi pertambangan yang dipegang oleh perusahaan luar negeri yang menguasai sebagian besar saham di perusahaan Joint Venture dengan Pemerintah Indonesia dilandasi dengan klausul yang disebut dengan stabilization clauses. Artinya kontrak pertambangan/concession agreements yang ditandangani hari ini berdasarkan hukum positif yang berlaku hari ini dan tidak boleh dirubah seenaknya oleh para pihak dalam perjanjian (harus melalui negosiasi)

Stabilization clauses merupakan daya tawar dari investor yang memiliki technology dan kemampuan (materi dan SDM) untuk melakukan explorasi di bidang perminyakan dan pertambangan kedalam suatu negara. Hal ini menurut saya wajar, karena diperlukan investasi besar untuk melakukan explorasi di 2 area tersebut dan juga tingkat resiko kegagalan yang sangat besar yang tentunya hanya ditanggung oleh pihak investor.

Terlepas dari itu , ada banyak para pihak yang bersuara keras mau nasionalisasi Freeport (atau lebih tepatnya, membatalkan konsesi PT Freeport di Papua) namun perlu di ingat semua itu ada prosesnya dan jawabnya bisa aja kalau kita nggak perlu menghiaraukan proses tersebut. ada IMPLIKASI dari dampak ekonomis dan diplomatisnya yang dapat dikhawatirkan.Kalau Indonesia terlihat sebagai negara yang main rampas, investasi dari luar negeri akan berhenti. Secara diplomatis juga demikian. Kalau negara-negara asing yang merasa dirugikan tidak didiplomasi, mereka pun tidak segan untuk membalas.

Nah maka dari itu kita perlu mengetahui maupun mengontrol pemerintah dengan tujuan  untuk melakukan upaya  ke arah kebijakan yang terbaik ,dengan Kebijakan 2 (dua) Permasalahan Pemerintah Terhadap Freeport di tinjau secara prespektif Hukum , di antaranya.:

1.mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK

Seperti di ketahui , menurut Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menegaskan bahwa percepatan perubahan rezim pengelolaan tersebut merupakan terobosan hukum. Ia yakin langkah yang diambil pemerintah tak melanggar UU Minerba. Sebab, beleid itu mengatur bahwa perpanjangan operasi bisa diajukan dua tahun sebelum kontrak berakhir.

Dadan menjelaskan, Pasal 169b UU Minerba menyebutkan bahwa semua rezim KK harus diubah menjadi IUPK. Freeport yang akan habis kontrak pada 2021, sesuai UU Minerba, baru bisa mengajukan perpanjangan 2019. Di sisi lain, Freeport membutuhkan kepastian kelanjutan operasi untuk pengembalian investasinya. “Atas persoalan tersebut, Kementerian ESDM mengusulkan percepatan perubahan rezim KK menjadi IUPK sebelum 2021,” jelasnya.- Hukumonline.

Penafsiran Pemerintah tersebut berdasarkan dengan berpegang pada pasal 169(b), pemerintah bisa mendesak dilakukannya penyesuaian pada kontrak-kontrak yang ada sekarang ini. Akan tetapi  pasal berikut nya bertolak belakang dengan pemerintah yakni pasal 169a  UU Minerba tetap mengakomodasi pasal 169(a) yang melindungi kontrak-kontrak lama itu. dan pasal 169a ini pun sangat bertentangan dengan Pasal 170 UU Minerba.

Sedangkan Pasal 169a UU Minerba yang berbunyi,

”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: (a) Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian”.

Artinya perusahaan yang berjalan kontrak karyanya tidak perlu melakukan perubahan rezim Kontrak Karya menjadi IUPK maupun membangun smelter atau tetap mengekspor barang tambang mentah sampai masa kontrak karya selesai. Dengan kata lain untuk Freeport perubahan dari Kontrak Karta (KK) ke IUP/IUPK dan baru bisa mengajukan perpanjangan 2019.hal ini juga di atur PP no 7 th 2014  menjelang berakhirnya KK Freeport yang akan habis kontrak pada 2021  karena saat ini KK Freeport masih berlaku sesuai UU Minerba, Seandainya Pemerintah mau melakukan perpanjangan Kontrak Minerba maka hal itu baru bisa diajukan 2 tahun sebelum habis Kontrak. Sedangkan untuk upaya berganti menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang semula berbentuk kontrak karya  maka haruslah setelah berakhir pada 2021. Hal itu diterapkan untuk mematuhi amanat UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang tidak lagi memperbolehkan konsesi tambang diatur dalam bentuk kontrak karya, melainkan harus dengan IUPK

pasal-pasal lain yang dimaksud bertolak belakang dengan Pasal 169a UU Minerba dapat di temukan Pasal 170 berbunyi,

Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.   

Artinya secara  tegas melarang ekspor mineral mentah dan tegas mewajibkan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral yang dilakukan setelah lima  tahun regulasi tersebut disahkan untuk penerimaan negara namun  sampai saati ini terlambatnya pembanguna smelter yang seharusnya dilakukan pada tahun 2014 sudah selesai, dikarenakan adanya tarik menarik serta regulasinya yang dibuat oleh pemerintah sendiri masih terlihat abu-abu terhadap Implementasi Pasal 170 UU Minerba dan hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena saling bertentangan yang ada di UU minerba "yang terdapat dalam pasal 169 huruf a yang sudah di jelas kan di atas"

Sebagaimana di ketahui kontrak karya bersifat nail down atau lex specialis, "tidak terikat pada peraturan baru yang muncul di kemudian hari setelah kontrak tersebut diteken." ,maka kekuasaan negara atas sumber daya alam terbatas namun di sisi lain keuntungan pada pajak badan usaha yang dibayarkan perusahaan tambang adalah tetap 45 persen.  jika kita mengikuti prevailing law (berubah-ubah mengikuti aturan yang berlaku). diterapkan penerimaan pajak maka akan berkurang.walaupun pengenaan pajak tidak sebesar dari bersifat nail down akan tetapi pembayaran royalti akan meningkat.untuk pembayaran royalti akan meningkat. seperti contoh  PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) saat ini membayarkan royalti emas sekitar 3,75 persen, sedangkan PT Freeport Indonesia sebesar 1 persen.

2. Renegosiasi Kontrak Karya

Freeport masih membayar royalti emas 1% sejak kontrak dibuat di 1967. Meskipun pemerintah telah membuat PP 45/2003 dan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang menetapkan setiap perusahaan tambang harus membayar royalti emas 3,75%.karena di sebabkan kontrak Freeport dengan pemerintah Indonesia sifatnya nail down dalam arti tidak mengikuti aturan dan perundang-undangan yang berubah.  

Hal ini membuat Pemerintah kecewa kepada Freeport karena sejak dibuat nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah pada Juli 2014 lalu, hingga MoU akan berakhir 25 Januari 2015, smelter belum terlihat progresnya,hingga akhirnya beberapa Kontrak Karya pertambangan yang bersifat nail down ini Pemerintah telah melakukan upaya Renegosiasi demi meningkatkan keuntungan bagi negara.

Lebih lanjut ,di dalam hukum perikatan ada yg namanya memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 jo 1337 KUH Perdata. apabila tidak melihat dari sifatnya nail down kontrak Freeport dengan pemerintah Indonesia,dalam arti tidak mengikuti aturan dan perundang-undangan yang berubah.,maka kontrak karya jelas bertentangan dengan PP No.45 Tahun 2003 , sehingga dapat mengakibatkan batal demi hukum.

Tapi perlu di ingat asas pacta sun servanda (Pasal 1338 KUH Perdata) yg artinya perjanjian yg telah dibuat harus dihormati masing2 pihak salah satu pihak tidak bisa mengubah isi kontrak secara “sepihak”, dan jika pemerintah menginginkan renegosiasi, tentu harus dengan persetujuan Freeport untuk melakukan renegosiasi kontrak.

Walaupun renegosiasi tersebut dengan alasan berlakunya UU No. 4 Thn 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara otomatis membatalkan dasar hukum kontrak karya freeport yaitu UU No. 11 Thn 1967 tentang Pertambangan. namun kalo di dalam klausul  ditemukan  yang ada di pasal 1266 kuhper salah satu pihak bisa saja meminta pengadilan ataupun Arbitrase untuk membatalkan perjanjian tersebut untuk hal ini tepat nya bisa di liat Pasal 32 Undang-undang Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 mengatur mengenai penyelesaian sengketa. khusus untuk sengketa antara pemerintah dengan penanam modal asing, sengketa diselesaikan melalui Arbitrase internasional. artinya kita kalah peluang terbesarnya.

Oleh karena itu,opsi kebijakan pemerintah terhadap kontrak karya Freeport seharusnya untuk melakukan renegosiasi Freeport ketimbang melakukan kebijakan yang beresiko dengan melakukan pemaksaan terhadap kontrak karya yang sudah terlanjur dibuat di tahun 1967 dimana  renegosiasi tersebut juga mesti cermat dilakukan karena Freeport selalu berlindung di bawah lex specialis (kontrak bersifat khusus).Renegosiasi ini memang tidak bisa lepas dari lex specialis tersebut.

Renegosiasi kontrak secara tegas diamanatkan pada Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang  mengamanatkan bahwa: a) kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian; b)ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara; dan c) pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.

Sebagai konsekuensinya renegosiasi kontrak harus dilakukan terhadap 37 perusahaan KK dan 76 perusahaan PKP2B yang masih aktif saat ini meskipun kontraknya telah ditandatangani sebelum disahkannya UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sementara ini sampai saat ini proses renegosiasi tersebut masih berlarut-larut dan belum jelas hasilnya, sehingga jika kondisi ini dibiarkan berlanjut maka akan merugikan penerimaan negara dan daerah dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pajak dan retribusi yang berjumlah triliunan rupiah yang dapat terjadi dalam jangka panjang.

Point-point krusial yang menyebabkan sejumlah perusahaan KK dan PKP2B menolak melanjutkan renegosiasi adalah menyangkut:

  1. bahwa perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan penyesuaian terhadap UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah dan PP No. 45 tahun 2003 tentang Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini perusahaan beranggapan bahwa KK dan PKP2B masih bersifat Lex Specialist artinya adanya perlindungan terhadap kontrak yang sedang berjalan dari perubahan-perubahan persyaratan dan peraturan yang bersifat umum serta sifat Nailed Down pada KK dan PKP2B artinya kontraktor tidak menjadi subjek terhadap lain-lain pajak, bea-bea dan pungutan-pungutan, sumbangan-sumbangan dan pembebanan-pembebanan atau biaya-biaya yang sekarang maupun  dikemudian hari dipungut, dikenakan atau disetujui oleh pemerintah selain dari yang ditetapkan dalam KK dan PKP2B.
  2. perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan penciutan luas wilayah dimana UU No. 4/2009 membatasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) hanya 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar bagi perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi mineral logam dan WIUP seluas 15.000 (lima belas ribu) hektar bagi perusahaan IUP operasi produksi untuk batubara.
  3. perusahaan KK dan PKP2B menolak perubahan dari kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik mineral maupun batubara yang perpanjangannya dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan cakupan wilayah mineral dan batubara disuatu daerah.
  4. perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara didalam negeri dengan dua alasan; 1. pembangunan smelter bukan core bisnis mereka, 2. sudah adanya kontrak yang sifatnya jangka panjang antara perusahaan KK dan PKP2B dengan sejumlah perusahaan smelter di luar negeri.

Point penting yang perlu diperhatikan pada renegosiasi Kontrak adalah bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Barubara (PKP2B) tidak lagi bersifat lex specialist dan nail down sejak diberlakukannya UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhitung sejak tgl 12 Januari 2009 karena bertentangan dengan pasal 128, 129, 130, 131, 132 dan 133 UU tersebut yakni pasal yang menyangkut Pendapatan Negara dan Daerah. Selain itu, Tindakan perusahaan menolak melakukan penciutan wilayah baik untuk KK maupun PKP2B bertentangan dengan pasal 53 dan pasal 62 UU No. 4 tahun 2009.

Dengan demikian tidak ada alasan apapun bagi perusahaan KK dan PKP2B untuk tidak patuh dan harus tunduk terhadap peraturan perundangan yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk renegosiasi KK dan PKP2B tetap dilanjutkan karena jika tidak akan berpotensi merugikan negara dalam jangka panjang dan melanggar undang-undang yang telah disepakati antara Pemerintah dan DPR RI mengingat penundaan ini telah melebihi batas waktu 1 tahun sebagaimana diamanatkan oleh UU Minerba.

Kesimpulan

Kontrak Karya Freeport haruslah menjadi pelajaran bagi pemerintah kedepan nya sehingga tidak lagi menggunakan Kontrak yang bersifat nail down yang seharusnya bisa ikut peraturan sekarang (prevailing law),hal ini berdampak pada royalti pendapatan negara. karena Kontrak Karya bersifat nail down yang sudah ada patokannya,dan perlu diikuti dengan membuat kebijakan keputusan pemerintah terkait penerapan aturan mengenai pajak dan royalti akan bersifat nail down (mengikuti kontrak/tetap) atau prevailing law (berubah-ubah mengikuti aturan yang berlaku). kalo kita mau di sebut negara Hukum maka kita pun tidak boleh main seenaknya. Hukum itu ada biar berarti, harus ditaati oleh semua pihak, termasuk pemerintah.

Seandainya kita merasa dirugikan pun, tidak bisa kita seenaknya langsung main batalin (karena ini akan dijadikan contoh bagi masyarkatnya) ,harusalah melalui tata cara aturan hukum.mekanisme tersebut bisa juga dengan perlu di revisi UU Minerba tersebut yang korelasi antara tentunya terhadap Konstitusi UUD 1945 ,UU, Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (permen) atau dengan menunggu Kontrak Karya  Freeport yang akan habis kontrak pada 2021 yang otomatis baru bisa berganti menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), wajib untuk diingat bahwa pemerintah wajib membayar untuk setiap lembar saham yang ingin diperolehnya dari Freeport dengan harga yang mereka sepakati. Ini perlu dikaitkan dengan jumlah cadangan emas yang tersisa di tambang freeport tersebut, jangan sampai nantinya disaat pemerintah telah memiliki sebagian besar saham PT. Freeport yang ternyata cadangan emas tersebut sudah habis.

 

Dasar Hukum

- Undang - Undang Dasar 1945

- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Tentang. PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

- UU No. 11 Thn 1967 tentang Pertambangan.

- UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009

- kUHPerdata

- PP 45/2003 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian ESDM

- Peraturan Menteri ESDM No.7 Tahun 2014

 

Refrensi.

- Hukumonline.com

- Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun