Mohon tunggu...
Akla Limbong
Akla Limbong Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah

Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Samudera.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pro dan Kontra Penobatan RA Kartini sebagai Pelopor Kebangkitan Perempuan

21 April 2022   07:01 Diperbarui: 21 April 2022   07:08 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini tepat pada 21 April 2022 sebagian besar masyarakat Indonesia memperingati hari Kartini dan diperingati pada setiap tahunnya, mulai dari kegiatan-kegiatan diskusi maupun flyer ucapan. 

Peringatan hari Kartini tersebut beragkat dari penobatan Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh pahlawan nasional yang ditetapkan Presiden Soekarno dalam Surat Keputuan Presiden Nomor 108 Tahun 1964 tepatnya pada tanggal 2 Mei 1964.

Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April 1879 di Mayong, sebuah Kota kecil yang masuk dalam wilayah keresidenan Jepara. R.A Kartini merupakan anak dari pasangan (R.M) Sosroningrat dan Ajeng Ngasirah. Kartini lahir dari keluarga priyayi dan bangsawan, sehingga ia berhak mendapat nama Raden Ajeng (R.A) di awal namanya. 

Dewasa ini, nama perempuan tersebut sudah melegenda ke seantero negeri ini akibat pelegitimasian bahwa ia adalah pahlawan perempuan Indonesia yang dengan gigihnya memperjuangkan kebebasan perempuan atau emansipasi pada abad ke-20. Bahkan gambar beliau juga pernah di lampirkan dalam mata uang kertas IDR 5 Rupiah cetakan tahun 1952. 

Salah satu hal yang menguatkan Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi se Nusantara ialah dengan mengirimkan surat-suratnya kepada para sahabat-sahabatnya di Eropa.

Surat-surat beliau berisikan keresahan dan gugatan terkhusus dalam konteks budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan dan kontribusi perempuan kepada daerahnya, yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku berjudul Door Duisternis oleh Mr. J.H Abendon. 

 Kritikan beliau terhadap budaya Jawa yang mengharuskan tunduk pada budaya yang ada, seperti tidak ada kebebasan untuk mendapatkan ilmu dari sekolah, harus dipingit (Larangan keluar rumah dan bertemu calon suami sampai waktu yang ditentukan), di jodohkan dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenal dan harus mau untuk dimadu. Kritikan tersebutlah yang menjadi salah satu penyebab penobatan R.A Kartini sebagai pelopor kebangkitan perempuan se Nusantara.

Namun ternyata, banyak para sejarawan mempermasalahkan gelar kepahlawanan wanita tersebut sehingga memancing api pro dan kontra seputar penetapan R.A Kartini sebagai pahlawan nasional, yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas sehingga banyak masyarakat yang hanya latah memposting perigatan hari Kartini tanpa mengetahui bagaimana kebenaran sejarahnya. 

Ada beberapa pro dan kontra ihwal penobatan R.A Kartini sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi se Nusantara, yakni:

1. Otentisitas pemikiran kartini dalam surat-suratnya masih diragukan,karena ada dugaan bahwa J.H Abendon, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia-Belanda kala itu, merekayasa surat-surat Kartini. 

Hermeneutic of suspicion tersebut timbul karena buku Kartini terbit pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda saat menjalankan Politik Etis di Hindia Belanda dan Abendon merupakan salah seorang yang mendukung Politik Etis tersebut. Bahkan, sampai hari ini sebagian besar naskah asli surat-surat Kartini tak diketahui keberadaannya dimana. 

2. Tak ada konsistensi dari kritikan R.A Kartini dengan apa yang terjadi dengan kehidupannya, sebab beliau yang sebelumnya mengkritik kebudayan jawa yakni sistem perjodohan dan poligami berbanding terbalik dengan dirinya yang mau dinikahkan bahkan dipoligami dengan seorang pria yang merupakan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat yang sudah pernah memilki tiga istri.

3. Pemikirannya yang hanya dalam scope Jawa saja, ia tak pernah menyinggung suku, bangsa atau daerah lain selain daripada Jawa di Hindia-Belada. 

Beliau hanya menuangkan pemikirannya (budaya Jawa) dan bukan nasib perempuan secara keseluruhan. Ia tidak ada memperjuangkan kebebasan perempuan dalam menentukan pasangannya hidupnya sendiri, seperti contoh di daerah di kelurahan Kawal Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau yang juga memakai budaya perjodohan. Kendati demikian, pemikiran-pemikirannya dianggap menyeluruh keseluruh penjuru Hindia- Belanda.

4. Tak ada peranan konkret melawan penjajah, sebab tak ada hal yang menjelaskan ketersinggungan R.A Kartini dengan perlawanannya mengusir para penjajah Belanda, bahkan tak ada tulisan dan pemikirannya tentang keinginan kartini untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. 

Tidak seperti para tokoh-tokoh perlawanan perempuan lain yang ia lakukan secara detail. Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Emmy Salean dan Martha Tiahahu yang pada jejak sejarahnya memiliki kontribusi besar dalam melawan penajajah Belanda serta jelas mengingikan kedaulatan Indonesia pada saat itu.

5. Pemikirannya yang kurang progresif, dibandingkan pemikiran Raden Dewi Sartika lebih bergaung besar dalam emansipasi wanita. Kartini hanya terkenal dengan pemikiran-pemikirannya (masih kontroversi), dibandingkan dengan pemikiran Dewi Sartika yang tak hanya sekedar berpikir atau melahirkan konsep tetapi juga mengimplementasikan pemikirannya ke dalam aksi yang nyata kepada masyarakat Indonesia yaitu dengan mendirikan sekolah khusus wanita, nama sekolah tersebut adalah Sakola Istri yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Keoetamaan Istri pada tanggal 16 Januari tahun 1904 yang betermpat di Paseban Kulon Pendopo Kabupaten Bandung. Dari hal tersebut siapa yang layak untuk diapresiasi lebih pemikirannya, R.A Kartini atau Dewi Sartika?

6. Penetapan tanggal kelahiran R.A Kartini sebagai hari besar, yang dalam hal ini juga menjadi hari bersejarah serta sakral bagi para kalangan perempuan. 

Hal ini menjadi suatu perdebatan karena terkesan terlalu melebih-lebihkan atau mengagung-agungkan sosoknya, sementara masih banyak tokoh-tokoh perlawanan perempuan lebih nyata aksi yang dilakukan dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia. 

Dalam kritikan orang-orang yang berdisipilin ilmu Sejarah baik sejarah murni ataupun pendidikan sejarah, Kartini yang tak pernah ikut mengangkat senjata melawan penjajah, mengapa harus tanggal lahir beliau yang dijadikan sebagai hari kebangkitan perempuan dan mengapa harus beliau yang dijadikan sebagai icon kebangkitan perempuan.

7. Masih banyak tokoh pejuang perempuan lain, yang pada dasarnya lebih patut untuk dijadikan sebagai icon kebangkitan perempuan dan tanggal lahirnya dijadikan sebagai tanggal peringatan kebangkitan perempuan. Tokoh-tokoh pejuang perempuan tersebut seperti:

a. Cut Malahayati, yang merupakan seorang laksamana wanita pertama di dunia modern, yang memimpin 2000 sampai 3.500 lebih pasukan armada Inong Bale. Ia juga dianggap setara dengan Semiramis, Istri dari Raja Babilonia. 

Nama beliau juga masuk dalam dalam jajaran 7 Warlord Women In The World, dan Best Female Warrior At All The Time. Penulis-penulis barat juga menyebut nama beliau sebagai The Graduation of Acheh Kingdom yang begitu sangat diseganinya dan dihormati baik lawan maupun kawan.

Tidak berhenti disitu saja Laksamana Keumala Hayati memegang posisi sebagai Chief of Imperial Guard Troop, Commander Secret Government dan Chief of Protocol of Sultan Alaidin Riyatsyah Al Mukammil. Yang lebih hebatnya lagi adalah Laksamana Keumala Hayati berhasil membunuh Cornelius de Hotman dalam pertempuran satu lawan satu diatas geladak kapal.  

b. Cut Nyak Dhien, yang merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia dari Aceh yang lahir di Lampadang, Aceh pada tahun 1848, berjuang melawan penjajah Belanda pada masa perang Aceh.

Beliau melakukan aksi perlawanannya yang nyata terhadap Belanda. Gambar Cut Nyak Dhien juga diajdikan sebagai gambar mata uang rupiah IDR. 10.000 yang dikeluarkan tahun 1998, yang dalam hal ini juga lebih punya aksi nyata dalam perjuangannya melawan penjajahan Belanda.

 c. Dewi Sartika, juga merupakan sosok pembawa perubahan perempuan dengan gagasan dan perjuangannya dalam aksi yang nyata yaitu dengan mendirikan sekolah Keoetamaan Istri di Bandung dan berkembang pesat sehingga melahirkan beberapa cabang seperti di Tasikmalaya, Sumedang Cianjur, Ciamis, Kuningan dan Sukabumi. Beliau juga tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan saja, tapi juga bergerak dalam kesetaraan gender atau yang sering kita dengar dengan budaya Feminisme. 

d. Martha Christina Tiahahu, juga merupakan salah satu pahlawan nasional yang dimana beliau pernah menjadi salah satu pimpinan pasukan dalam perlawanannya yang nyata menghadapi penjajahan Belanda bersama Kapiten Abubu dan Kapiten Paulus Tiahahu dibawah pimpinan Kapiten Pattimura. 

Perjuangan Martha Tiahau yang nyata tersebut banyak membuat pasukan Belanda tewas pada 16 Mei 1817 di Sapura meski pada akhirnya di 2 Januari 1818 Martha Taiahahu menghembuskan nafas terkahir atas pengeksekusian darii perintah Veer Huell yang kemudian jenazahnya dibuang ke laut Banda dengan penghormatan Militer.

e. Emmy Saelan, Pejuang wanita dari Sulawesi dan salah seorang pahlawan nasional. Ia pernah berkesempatan memanfaatkan profesinya sebagai perawat untuk melepaskan para pejuang Indonesia yang ditawan oleh Belanda. 

Sebuah aksi yang sangat beresiko, namun karena kecintaan dan harapan agar Indonesia keluar dari belenggu penjajahan Belanda ia kesampingkan resiko tersebut. 

Emmy Saelan juga tergabung dalam pasukan Laskar Pembenrontak Rakyat Indonesia Sulawesi atau LAPRIS di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo yang meneruskan perang Gerilyanya di hutan-hutan.

Dalam catatan sejarah Ia juga pernah melemparkan granat kearah pasukan Belanda yang hendak menangkapnya dan alhasil delapan pasukan Belanda tewas dan satu pejuang Indonesia, satu pejuang Indonesia itu adalah Emmy Saelan itu sendiri.

Itulah beberapa tokoh pejuang perempuan Indonesia yang dengan nyata melakukan perjuangannya untuk mengusir penjajah serta tentu untuk melihat kedaulatan Indonesia dari cengkraman belenggu Belanda, kendatipun masih banyak banyak tokoh-tokoh pejuang perempuan lainnya yang patut untuk dihormati dan dijadikan sebagai icon kebangkitan perempuan Indonesia.  

Tidak berhenti disitu saja, Selain ketujuh tersebut, ada penolakan yang lebih radikal lagi yakni penolakan terhadap gelar kepahlawanan kepada Kartini. Penolakan tersebut muncul pada tahun 1970 oleh Guru Besar Universitas Indonesia , Prof. Dr. Harsja Bachtiar. 

Harsja mengkritik dengan mengatakan "Kenapa harus Kartini yang menjadi simbol kemajuan wanita Indonesia?", beliau juga mengatakan "mengapa kita harus memperingati hari Kartini tiap tanggal 21 April?, Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?"

Guru Besar UI tersebut beranggapan Kartini tidak layak dijadikan simbol kebangkitan perempuan Indonesia, tepapi ia lebih menunjuk dua tokoh perempuan yang hebat dalam sejarah Indonesia. 

Pertama , Sultanah Seri Ratu Tajul Alam yang dikenal sebagai sosok wanita yang pintar dan cerdas serta menguasai banyak bahasa (Poliglot) selain bahasa daerah sendiri yakni bahasa Aceh, seperti bahasa Arab, Persia dan melayu . 

Ia juga merupakan pimpinan Kesultanan Aceh Daerah setelah menggatikan Suaminya, Sultan Iskandar Tsani. Di masa pemerintahannya perkembangan pesat dari segi ilmu dan kesusastraan sehingga melahirkan karya-karya besar seperti dari Nuruddin Ar-Raniry, Hamzah Fansuri dan Syekh Abdur-rauf As-Singkily. Sultanah Safiatuddin juga dikenal sebagai pemimpin yang berhasil menampik Belanda untuk menduduki daerah Aceh.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja adalah Siti Aisyah We Tenriolle, sosok wanita yang tidak hanya ahli dalam pemerintahan, tapi juga ahli dalam kesusastraan. 

Ahli sejarah Sulawesi yang berasal dari Belanda bernama B.F Matthes mengaku mendapat banyak manfaat dari sebuah ikhtisar epos La-Galigo, yang mencakup hampir 7000 halaman Folio yang dibuat sendiri oleh Siti Aisyah We Tenriolle. 

Siti Aisyah We Tenriolle mendirikan sekolah pertama di Tanette yang merupakan tempat pendidikan modern untuk pria dan wanita. Ia juga merupakan pimpinan Kerajaan Tanette atau sekarang yang dikenal dengan Kerajaan Bone bahkan ia juga pernah menguasai kerajaan Bugis. 

Itulah kontroversi dari pemberian gelar Pelopor Kebangkitan Perempuan Pribumi Se-Nusantara kepada R.A Kartini yang sampai hari ini masih banyak masyarakat mengkritik dan menggugat hal tersebut. Ada yang pro dalam pemberian gelar tersebut dan tidak sedikit juga orang yang kontra (menggugat/menolak)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun