Mohon tunggu...
Akira Riofuku
Akira Riofuku Mohon Tunggu... Pemadam Kebakaran - Ex Philosophia Claritas

Ex Philosophia Claritas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menentukan Kebenaran ala Max Scheler

21 Oktober 2021   10:30 Diperbarui: 22 Oktober 2021   10:21 1747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Ilustrasi. Sumber: https://lelakibugis.net/

Pengantar

Di dalam sebuah relasi manusia membutuhkan rasa saling mengerti antara satu dengan yang lainnya. Di dalam suatu perbuatan sering kali kita juga bingung apakah yang harus dilakukan dan mengapa kita melakukannya? Perbuatan manusia yang kurang pantas sering kali disebut tidak bermoral atau tidak memiliki etika. 

Apakah yang disebut tidak beretika tersebut tergantung oleh siapa yang melakukannya? Atau tergantung budaya? Atau tergantung apa? Seorang filsuf bernama Max Scheler akan membantu kita untuk menjawab pertanyaan tersebut. 

Di bagian selanjutnya akan dibahas mengenai riwayat hidup dari Max Scheler, pengaruh fenomenologi yang menjadi dasar Scheler dalam melihat adanya nilai di etika. Kemudian, tentu akan dibahas mengenai etika nilainya dan di bagian akhir ada penutup sekaligus tanggapan kritis dari penulis.[1] 

Gambar: Max Scheler. Sumber: https://alchetron.com/Max-Scheler
Gambar: Max Scheler. Sumber: https://alchetron.com/Max-Scheler

Isi

Riwayat Hidup

Max Scheler lahir di Munchen, Jerman Selatan pada tahun 1874. Mayoritas penduduk daerah tersebut adalah Katolik. Ayah Scheler beragama Protestan, sementara ibunya orang Yahudi. Scheler masuk agama Katolik ketika berumur 15 tahun, tahun 1889. Akan tetapi, pada tahun 1898, karena konflik moral ia meninggalkan agama Katolik. 

Hal tersebut, disebabkan karena ia mau menikah dengan wanita yang sebelumnya sudah pernah menikah namun telah bercerai. Pernikahan mereka tidak dapat disahkan oleh Gereja Katolik. 

Namun demikian, pemikiran Scheler secara mendalam tetap dipengaruhi oleh Agama Katolik. Ketika menjabat sebagai dosen di Munchen, Scheler bercerai dengan istrinya dan digugat di pengadilan. Setelah bercerai dan ijin mengajar dicabut oleh universitas, ia pindah ke Berlin.

Selanjutnya pada tahun 1912, diterbitkan karyanya yang berjudul Ueber Ressentiment und moralisches Werturteil (Tentang Resentimen dan Putusan Nilai Moral). Pada tahun 1913, kembali terbit karyanya yang dipandang sebagai ajaran filosofis tentang manusia berjudul Wesen und Formen der Sympathie (Hakikat dan Bentuk-bentuk Simpati).

Pada tahun yang sama Scheler juga menerbitkan bukunya mengenai konfrontasi pendiriannya dalam bidang etika dengan etika Kant yang bejudul Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik (Formalisme dalam Etika dan Etika-Nilai yang Bersifat Material).

Pada tahun 1916, Scheler mengalami pertobatan dan kembali ke Gereja Katolik. Di dalam hidup pertobatannya, pada tahun 1921, Scheler menghasilkan karya yang dipengaruhi oleh Katolik mengenai filsafat agama, yaitu Vom Ewigen im Menschen (Tentang yang Abadi dalam Diri Manusia). Pada tahun 1922, terjadi peristiwa yang dramatis dalam kehidupan Scheler, untuk kedua kalinya ia kembali meninggalkan Gereja Katolik.[2] Hal itu disebabkan karena pernikahannya yang baru dan beberapa alasain lain seperti alasan dogmatis yang kurang disenanginya.

Setelah meninggalkan Gereja Katolik untuk yang kedua kali, terjadi keretakan dalam filsafatnya dan pemikirannya berkembang menjadi panteisme dalam bidang agama. Sebelum meninggal, pada tahun 1928, ia menerbitkan bukunya yang berjudul Die Stellung des Menschen im Kosmos (Kedudukan Manusia dalam Kosmos). Di dalam buku tersebut, sangat terlihat posisi barunya dalam bidang agama maupun filsafat.

Pengaruh Fenomenologi

Dalam bidang fenomenologi, Edmund Husserl dan Franz Brentano adalah orang yang mempengaruhi pemikiran Scheler. Franz Brentano mempengaruhi Scheler dengan teori intensionalitasnya dan Husserl dengan konsep kesadaran yang sudah selalu mengarah pada suatu objek. Dalam pemikiran fenomenologinya, Husserl berpandangan bahwa filsafat harus bertolak dari yang menyatakan diri (fenomena) dalam kesadaran. Manusia harus memperhatikan kekhasan atau keunikan yang sedang menampakan diri tersebut. Setiap pandangan, prinsip, teori atau hal lainnya tidak boleh mendistorsi pandangan seseorang terhadap fenomena yang nampak di depannya. 

Seseorang harus berhati-hati, tidak boleh cepat mengambil keputusan dan memperhatikan dengan seksama fenomen tersebut. Scheler adalah salah satu yang belajar menghindari hal-hal yang dikemukakan oleh Husserl. Namun berbeda dengan fenomenologi Husserl yang menekankan aspek kognitif, Scheler lebih menekankan aspek afektif-emosional. Bagi Scheler perasaan itu tidak terus subjektif. Akan tetapi, perasaan yang bersifat intensional terhadap nilai itu bersifat apriori dan objektif.

Etika Nilai

Bila kita mempertanyakan apakah fokus dari filsafat Scheler? Maka jawabannya adalah etika. Penekanan etikanya ada pada nilai. Etika bagi Scheler adalah tentang nilai.[3] Nilai-nilai itu material[4] dan apriori[5]. Bukunya Der Formalismus in der Ethik und die Materiale Wetethik, Neuer Versuch der Grundlegung eines ethischem Personalismus (Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai Material, 1913) memuat etika nilai yang dikenal sampai saat ini. 

Scheler mau memperlihatkan bahwa moralitas perbuatan manusia itu tidak tergantung pada si manusianya namun pada nilai-nilai objektif yang berlaku. Ia beranggapan bahwa manusia tidak menciptakan nilai-nilai melainkan menemukannya.[6] Nilai itu tetap ada, meskipun manusia tidak mengetahuinya. Dalam bukunya tersebut Scheler mengembangkan teorinya tentang nilai untuk mengkritik etika deontologis Immanuel Kant. Di bab awal bukunya Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai Material, Scheler menuliskan :

Before I come to the discussion of Kant's erroneous identification of goods with values and his opinion that values are to be viewed as abstracted from goods, I would like to point out that from the outset he correctly rejects all ethics of goods and purposes as having false bases. I intend to demonstrate this separately for ethics of goods and for ethics of purposes.[7]

Menurutnya Kant keliru ketika tidak membedakan antara realitas bernilai dan nilai itu sendiri.[8] Maka melalui bukunya ini Scheler mau mendemonstrasikan etika realitas bernilai dan etika tujuan. Meskipun mengkritik Kant, namun perlu digaris bawahi juga bahwa Scheler tidak serta merta menjadi anti Kant.[9] Scheler mengakui capaian Kant dalam bidang etika. Akan tetapi, ia ingin melampaui Kant. Ia menunjukan posisi Kant yang layak di dukung dan di mana Kant keliru, sehingga layak dikritik. Misalnya, Scheler mendukung Kant yang menolak etika kebahagiaan karena masih memuat pamrih egoistik dan membahayakan kemurnian motivasi suatu tindakan moral.

 Dalam teorinya etikanya, Scheler mengajukan etika yang langsung mengarah pada isi dan nilai. Ia juga memaksudkan etika material (berdasar pada nilai-nilai objektif), bukan pada etika Kant yang bersifat formal. Disebut sebagai etika formal karena menurut Kant, jika melakukan suatu perbuatan yang baik secara moral maka itu dilakukan karena kewajiban. Ketika manusia berbuat baik itu semata-mata karena memang harus berbuat seperti itu, bukan karena isi perbuatannya. Dari sisi moral suatu perbuatan dianggap baik, yang penting adalah bentuknya (formal), bukan isinya (material).

 Sementara menurut Scheler, suatu perbuatan baik secara moral dilakukan karena adanya nilai objektif atas hal tersebut, yang tidak tergantung pada si pembawa nilai (subjek). Misalnya suatu perbuatan yang jujur, ketika seorang anak secara jujur mengaku memecahkan piring di rumahnya ketika orang tuanya tidak ada. Kejujuran itu sendiri bernilai bukan karena si anak melakukannya. Kejujuran itu juga ada, bukan karena dilakukan si anak. Itulah sebabnya nilai tersebut tidak tergantung pada perbuatan seseorang.

Apakah nilai itu? Nilai itu sendiri adalah suatu kualitas yang membuat apa yang bernilai menjadi bernilai.[10] Nilai itu tidak bersifat subjektif, tidak berubah-ubah. Nilai tidak tergantung pada subjek[11], namun subjek yang justru tergantung pada nilai dan hierarki yang berlaku diantara nilai tersebut. Seperti misalnya kita dapat menangkap warna hitam lepas dari perwujudan yang konkret dalam sebuah mobil, kabel, atau kertas yang berwarna hitam.

Menurut Scheler, bagaimanakah nilai itu dapat diketahui? Nilai dapat diketahui melalui perasaan intensional.[12] Maksudnya adalah perasaan tersebut terarah pada nilai tersebut. Berdasar intuisi tersebut nilai ditangkap. Nilai itu dirasakan, bukan dipikirkan. Pandangan tentang merasa dalam filsafat barat seolah sesuatu yang baru atau tidak diduga, karena filsafat barat sering mengartikan bahwa rasa hanya suatu cercapan inderawi semata. Nilai itu dirasakan (fhlen). Merasakan dalam arti fhlen itu merasa dalam arti sesuatu itu ada[13], bukan merasa seperti sedang kedinginan, enak, sakit, dll.

Scheler mengatakan bahwa pengalaman kita akan nilai mendahului pengalaman tentang suatu benda. Ketika kita melihat sesuatu yang indah (misalnya hasil lukisan pemandangan alam), itu berarti kita sedang "menerapkan" nilai "indah". Nilai tersebut tidak tergantung karena pengalaman (apriori) atau apa yang kita lihat (objektif). Scheler menggolongkan nilai berdasarkan pada penelitian fenomenologinya.[14] Nilai-nilai tersebut digolongkan sebagai berikut : 

Nilai Senang -- tidak senang

Nilai ini berhubungan dengan Senang dan tidak senang. Hal ini, menghasilkan perasaan nikmat atau sakit dan dirasakan secara badani (fisik). Sheler mengatakan bahwa sebelum adanya pengetahuan (pengalaman akan suatu hal), perbedaan nilai antara yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan itu sudah ada. Pengamatan dan induksi juga bukan merupakan dasar bahwa sesuatu hal itu disukai atau tidak.  Kemudian Scheler menjelaskan bahwa yang menyenangkan lebih disukai daripada yang tidak menyenangkan juga berfungsi sebagai hukum.

Nilai Vital

Nilai ini berhubungan dengan vitalitas atau kehidupan dalam keutuhannya. Scheler memberikan contoh itu seperti "yang mulia" (the noble) dan "yang biasa" (the vulgar), seperti terlihat pada keturunan lebih tinggi atau lebih rendah dari tumbuhan atau binatang, berdasar kesehatan, vitalitas, dll.[15] Sama seperti nilai sekitar, nilai vitalitas ini juga dirasakan bukan hanya oleh manusia namun juga binatang.[16] Dalam nilai vital ini tercakup seluruh kondisi perasaan dalam kehidupan. Misanya perasaan sakit, sehat, tua, atau kematian yang akan datang, termasuk juga perasaan sedih, cemas, berani, dll. Nilai vital ini membentuk modalitas yang sepenuhnya original (asli). Nilai ini juga tidak dapat direduksi ke nilai yang secara hierarki ada di bawahnya (nilai sekitar) atau ke nilai di atasnya (nilai spiritual/rohani).

Menurut Scheler, teori etika sebelumnya membuat kesalahan mendasar karena mengabaikan fakta diatas. Ketika sedang mencoba membagi nilai dalam hal jahat atau baik, menyenangkan atau tidak menyenangkan, Kant juga secara diam-diam mengandaikan bahwa nilai vital ini dapat direduksi menjadi nilai-nilai hedonistik.[17] Namun nilai ini tidak berlaku di nilai-nilai kesejahteraan dan nilai vital dalam diri, juga nilai "yang mulia". Karakter khusus dari nilai vital ini bukan terletak pada konsepsi generik empiris (empirical generic conception) namun terletak pada kenyataan bahwa "kehidupan" adalah esensi asli ("life" is a genuine essence).[18] Maksudnya adalah nilai vital ini bukan baru ada ketika adanya bukti empiris, namun sudah ada di dalam kehidupan.

Nilai rohani

Nilai rohani ini ialah nilai yang tidak tergantung dari hubungan timbal balik antara organisme dengan dunia sekitarnya. Di dalam persatuan nilai spiritual ini nilai-nilai vital harus dikorbankan untuknya. Nilai rohani ini terdiri dari 3 jenis utama : Pertama, nilai estetis, mengenai "yang indah" (beautiful) atau "yang jelek" (ugly). Kedua, nilai yang benar atau tidak benar, ini seperti nilai adil atau tidak adil. Ketiga, nilai pengetahuan murni, semacam pengetahuan demi pengetahuan.[19]

Nilai yang Suci dan yang tidak suci (yang profan)

Nilai ini menyangkut objek-objek absolut atau nilai religius. Nilai-nilai disini memiliki suatu kondisi yang sangat pasti dari si pemberi nilai. Dalam arti bahwa nilai hanya muncul dalam objek yang diberikan dengan maksud sebagai "objek absolut". Modalitas nilai ini independen. Contoh utama dalam taraf manusiawi adalah orang suci dan pada taraf supra-manusiawi adalah Ketuhanan.

Dari keempat golongan nilai tersebut, Scheler tidak menyebutkan nilai-nilai moral yang khas. Itu karena Scheler berpandangan bahwa perbuatan-perbuatan moral kita itu terarah pada nilai-nilai non moral.[20] Nilai moral baru terlihat jika nilai-nilai non moral diwujudkan dengan cara seharusnya. Nilai moral itu membawa perbuatan-perbuatan yang merealisasikan nilai-nilai non moral. Di dalam nilai, Scheler juga berpandangan bahwa ada suatu hierarki. Nilai vital tentu lebih tinggi nilainya daripada nilai kesenangan ataupun ketidaksenangan. Nilai rohani lebih tinggi dibandingkan nilai vital dan nilai kesenangan. Kemudian, nilai religius adalah nilai yang lebih tinggi daripada nilai-nilai lainnya (rohani, vitalitas, kesenangan).

 Hierarki yang ada tersebut tentunya bukan sembarangan ditetapkan oleh Scheler. Nilai mana yang lebih tinggi dari yang lainnya. Mengapa nilai tersebut lebih tinggi dari yag lain? Ia memberikan lima kriteria dalam menentukan hierarki tersebut. Lima kriterita tersebut, yaitu :

 Ketahanan Nilai

Ketahanan nilai ini berarti lamanya suatu nilai dapat bertahan. Semakin tinggi nilai tersebut maka nilai tersebut juga akan bertahan lama. Misalnya rasa cinta dibandingkan dengan rasa simpati kepada sesama yang mudah hilang. Rasa cinta bertahan lebih lama. Bahkan mungkin akan cenderung semakin besar.

Pembagian Nilai

Pembagian nilai ini bukan berarti semua nilai dapat dibagi. Nilai yang dapat dibagi hanyalah nilai yang rendah. Sementara nilai yang lebih tinggi tidak mungkin untuk dibagi-bagi. Jika semakin tinggi nilai tersebut maka nilai tersebut juga tidak dapat terbagi (utuh). Misalnya bahan makanan lebih dapat dibagi-bagi daripada barang seni. Untuk dapat menikmati bahan makanan maka bahan makanan tersebut harus dibagi-bagi. Namun jika barang seni walaupun dapat dinikmati juga oleh banyak orang tetapi barang tersebut tidak dapat dibagi.

Ketidak bergantungan satu nilai dengan nilai lainnya

Ketidak bergantungan suatu nilai ini maksudnya adalah semakin tinggi suatu nilai maka semakin kurang nilai tersebut didasarkan pada nilai yang lain, demikian sebaliknya. Dalam kata lain, semakin tinggi jenjang dalam hierarki nilai, maka nilai tersebut semakin mendasar. Misalnya nilai kesehatan dan nilai kehidupan lebih mendasar dari nilai kenikmatan inderawi. Nikmatnya sate kambing tidaklah ada artinya bagi seseorang yang memiliki riwayat darah tinggi.

Hasil suatu Nilai

Hasil suatu nilai ini maksudnya ialah bahwa nilai yang lebih rendah akan mendapatkan hasil yang rendah. Kemudian hasil (rasa puas) yang lebih dalam akan di dapat dalam nilai yang lebih tinggi. Di dalam hierarki nilai yang lebih tinggi maka akan menghasilkan kepuasan yang mendalam. Misalnya menjadi orang yang bijaksana (seperti para filsuf di era Yunani Kuno), akan lebih puas di dalam batinnya jika dibandingkan dengan kepuasan tubuh yang kenyang setelah makan.

Relativitas Nilai

Kebersangkutan nilai ini berarti nilai-nilai yang lebih tinggi itu kurang dialami oleh organisme subjek bersangkutan. Semakin tinggi suatu nilai di dalam hierarki, maka semakin mutlak juga nilainya tersebut. Semakin rendah suatu nilai, maka nilainya semakin relatif. Misalnya yang menyenangkan itu berhubungan dengan indra dan perasaan indrawi, namun perasaan itu akan menjadi kurang penting bagi nilai yang lebih tinggi. Enak atau tidaknya suatu makanan sangat relatif terhadap lidah dan kondisi badan yang memakannya. Sementara jika seorang mendapatkan pengalaman religius dengan yang transenden maka itu tidak tergatung pada kondisi tubuh orang tersebut.

 Hal diatas itu penting bagi Scheler dalam menentukan nilai. Itu disebabkan karena dalam berbagai situasi dan kondisi kita harus mewujudkan nilai yang lebih tinggi.[21] Maka dari itu pembagian nilai rendah maupun tinggi sangatlah penting. Di dalam hierarki tersebut tidak tercantum nilai moral. Walaupun demikian, nilai moral itu selalu diwujudkan setiap kali manusia memilih nilai yang lebih tinggi.

 

Penutup

Etika nilai yang ditawarkan oleh Max Scheler ini didasarkan dari analisis fenomenologisnya. Melalui analisis fenomenologisnya tentang etika, kemudian Scheler mengkritik etika Deontologis dari Kant. Etika Kant menyatakan bahwa setiap tindakan baik yang bermoral itu didasarkan pada kewajiban. Scheler membantahnya, ia mengatakan bahwa dari sisi moral suatu perbuatan dianggap baik, yang penting adalah bentuknya (formal), bukan isinya (material). Scheler mengarahkan etikanya pada isi dan nilai.

Menurut Scheler, Nilai adalah suatu kualitas yang membuat sesuatu yang bernilai itu menjadi bernilai. Apakah nilai itu diciptakan? Scheler dengan tegas akan menjawab tidak. Nilai itu tidak diciptakan tetapi diketahui. Melalui apa nilai itu ketahui? Diketahui melalui perasaan intensionalitas. Perasaan yang mengarah pada nilai tersebut. Manusia dapat tidak mengetahui nilai tersebut (buta nilai) namun itu tidak berarti bahwa nilai tidak ada. Nilai itu bersifat objektif dan apriori. Walaupun tidak ada pengalaman, nilai tersebut tetap ada. Itulah sebabnya, nilai tidak bergantung pada si pembawa nilai. Tanpa adanya si pembawa nilai, nilai sudah ada dan tetap ada.

Berdasarkan prefensinya, nilai dibagi menjadi 4 jenjang oleh Scheler. Pertama, nilai senang-tidak senang. Kedua, nilai vital. Ketiga, nilai rohani, dimana nilai ini memuat 3 macam nilai (estetis, benar-salah, dan pengetahuan murni). Keempat, nilai religius (yang kudus dan yang profan). Dari keempat nilai ini ada hierarki di dalamnya. Nilai yang kedua memiliki hierarki lebih tinggi dibanding nilai pertama, dan seterusnya. Nilai yang paling tinggi tentulah nilai keempat. Hierarki nilai yang ada ditentukan oleh 5 Kriteria. Kriteria tersebut adalah ketahanan suatu nilai, pembagian nilai, kebergantungan nilai, hasil suatu nilai, dan relativitas nilai.

Penulis melihat bahwa teori etika nilai dari Scheler ini mampu menunjukan kelemahan dari etika deontologis Kant. Namun walaupun mampu menunjukan kelemahannya, etika nilai dari Scheler ini belum mampu untuk mengalahkan ketertarikan orang padanya. Terutama ditengah masyarakat saat ini, universalisme imperatif kategoris Kant nampaknya lebih diterima daripada tatanan nilai apriori Scheler. Scheler juga mampu menemukan perbedaan antara nilai dengan hal yang bernilai. Nilai itu apriori dan objektif dan ada hierarki di dalamnya. Scheler juga memberikan jalan keluar bahwa dalam melakukan suatu tindakan bermoral tidak melulu soal kewajiban namun karena nilai.

Etika nilai Scheler juga menekankan intuisi. Penekanan intuisi ini ialah suatu metode yang khas dalam fenomenologi. Scheler juga mengatakan bahwa setiap orang harus mendahulukan atau memilih nilai yang lebih tinggi. Menurut Hans Reiner[22] hal ini kurang tepat. Sebab, kadang-kadang nilai yang lebih rendah, berhak didahulukan dibandingkan nilai yang tinggi. Misalnya apakah saya wajib untuk membantu teman menyelesaikan pekerjaannya dibanding saya harus makan terlebih dahulu. Hierarki nilai Scheler juga belum dapat menentukan sikap mana yang harus diambil jika didasarkan pada situsi penting (urgent). Misalnya saja saat ini banyak orang harus rela beribadat dirumah (nilai religius) karena lebih mementingkan kesehatan atau kelangsungan hidupnya (nilai vital).  

 

 Catatan Kaki:

1. Paper ini banyak mendapat intisari dari K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid I, Inggris & Jerman (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014).

2. Kali ini, ia meninggalkan Gereja Katolik secara definitif (pasti/bukan untuk sementara).

3. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta : Kanisius, 2000), 33.

4. Material yang dimaksud adalah sebagai lawan dari formal (etika Kant yang disebut Formalisme). Material itu sebagai yang berisi. Walaupun menggunakan kata material namun tidak ada kaitannya dengan materi.

5. Sumber: https://kbbi.web.id/apriori menurut KBBI apriori adalah berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya. (diakses tanggal 21 Maret 2020, pukul 20.39 WIB). Suatu nilai diketahui ketika nilai itu disadari. Nilai ada sebelum pengalaman.

6. Frans Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh (Yogyakarta : Kanisius, 2006), 16.

7. Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values (USA : Northwestern University Press, 1973), 9.

8. Frans Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh (Yogyakarta : Kanisius, 2006), 16. Penulis mengikuti menerjemahkan Gter/goods sebagai apa yang bernilai, realitas bernilai. Untuk Wert/Values diterjemahkan sebagai nilai itu sendiri.

9. Bahan Kuliah Filsafat Praktis J. Sudarminta, Etika Nilai Material Max Scheler, 06/11/2019.

10. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta : Kanisius, 2000), 34.

11. Paulus Wahana, Nilai : Etika Aksiologis Max Scheler (Yogyakarta : Kanisius, 2004), 51.

12. Frans Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh (Yogyakarta : Kanisius, 2006), 17.

13. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta : Kanisius, 2000), 36.

14. Paulus Wahana, Nilai : Etika Aksiologis Max Scheler (Yogyakarta : Kanisius, 2004), 12.

15. Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values (USA : Northwestern University Press, 1973), 106.

16. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta : Kanisius, 2000), 41.

17. Ibid, 107. See Critique of Practical Reason, pt. I, bk. II, chap. 2. The hedonists and the utilitarians, like Kant, make the mistake of reducing this valuemodality to the agreeable and the useful; the rationalists make the (equally erroneous) mistake of reducing it to spiritual values (especially the rational ones).

18. Ibid, 107.

19. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta : Kanisius, 2000), 41.

20. K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid I, Inggris & Jerman (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014), 161.

21. Ibid, 162.

22. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta : Kanisius, 2000), Mengkutip Hans Reiner, Die philosophische Ethik. Ihre Fragen und Lehren in Geschichte und Gegenwart (Heidelberg : Quelle Meyer, 1964), 126.

Daftar Pustaka

Anonymous, "Anonymous Guide to Anon Ways," https://kbbi.web.id/apriori, diakses tanggal 21 Maret 2020, pukul 20.39 WIB.

 Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Jilid I, Inggris & Jerman, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014.

 Magnis Suseno, Frans, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta : Kanisius, 2000.

                                                Etika Abad Kedua Puluh, Yogyakarta : Kanisius, 2006.

 Scheler, Max, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, USA : Northwestern University Press, 1973.

 Sudarminta, J., Bahan Kuliah Filsafat Praktis: Etika Nilai Material Max Scheler, 06/11/2019.

Wahana, Paulus, Nilai : Etika Aksiologis Max Scheler, Yogyakarta : Kanisius, 2004.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun