Ketidak bergantungan suatu nilai ini maksudnya adalah semakin tinggi suatu nilai maka semakin kurang nilai tersebut didasarkan pada nilai yang lain, demikian sebaliknya. Dalam kata lain, semakin tinggi jenjang dalam hierarki nilai, maka nilai tersebut semakin mendasar. Misalnya nilai kesehatan dan nilai kehidupan lebih mendasar dari nilai kenikmatan inderawi. Nikmatnya sate kambing tidaklah ada artinya bagi seseorang yang memiliki riwayat darah tinggi.
Hasil suatu Nilai
Hasil suatu nilai ini maksudnya ialah bahwa nilai yang lebih rendah akan mendapatkan hasil yang rendah. Kemudian hasil (rasa puas) yang lebih dalam akan di dapat dalam nilai yang lebih tinggi. Di dalam hierarki nilai yang lebih tinggi maka akan menghasilkan kepuasan yang mendalam. Misalnya menjadi orang yang bijaksana (seperti para filsuf di era Yunani Kuno), akan lebih puas di dalam batinnya jika dibandingkan dengan kepuasan tubuh yang kenyang setelah makan.
Relativitas Nilai
Kebersangkutan nilai ini berarti nilai-nilai yang lebih tinggi itu kurang dialami oleh organisme subjek bersangkutan. Semakin tinggi suatu nilai di dalam hierarki, maka semakin mutlak juga nilainya tersebut. Semakin rendah suatu nilai, maka nilainya semakin relatif. Misalnya yang menyenangkan itu berhubungan dengan indra dan perasaan indrawi, namun perasaan itu akan menjadi kurang penting bagi nilai yang lebih tinggi. Enak atau tidaknya suatu makanan sangat relatif terhadap lidah dan kondisi badan yang memakannya. Sementara jika seorang mendapatkan pengalaman religius dengan yang transenden maka itu tidak tergatung pada kondisi tubuh orang tersebut.
 Hal diatas itu penting bagi Scheler dalam menentukan nilai. Itu disebabkan karena dalam berbagai situasi dan kondisi kita harus mewujudkan nilai yang lebih tinggi.[21] Maka dari itu pembagian nilai rendah maupun tinggi sangatlah penting. Di dalam hierarki tersebut tidak tercantum nilai moral. Walaupun demikian, nilai moral itu selalu diwujudkan setiap kali manusia memilih nilai yang lebih tinggi.
Â
Penutup
Etika nilai yang ditawarkan oleh Max Scheler ini didasarkan dari analisis fenomenologisnya. Melalui analisis fenomenologisnya tentang etika, kemudian Scheler mengkritik etika Deontologis dari Kant. Etika Kant menyatakan bahwa setiap tindakan baik yang bermoral itu didasarkan pada kewajiban. Scheler membantahnya, ia mengatakan bahwa dari sisi moral suatu perbuatan dianggap baik, yang penting adalah bentuknya (formal), bukan isinya (material). Scheler mengarahkan etikanya pada isi dan nilai.
Menurut Scheler, Nilai adalah suatu kualitas yang membuat sesuatu yang bernilai itu menjadi bernilai. Apakah nilai itu diciptakan? Scheler dengan tegas akan menjawab tidak. Nilai itu tidak diciptakan tetapi diketahui. Melalui apa nilai itu ketahui? Diketahui melalui perasaan intensionalitas. Perasaan yang mengarah pada nilai tersebut. Manusia dapat tidak mengetahui nilai tersebut (buta nilai) namun itu tidak berarti bahwa nilai tidak ada. Nilai itu bersifat objektif dan apriori. Walaupun tidak ada pengalaman, nilai tersebut tetap ada. Itulah sebabnya, nilai tidak bergantung pada si pembawa nilai. Tanpa adanya si pembawa nilai, nilai sudah ada dan tetap ada.
Berdasarkan prefensinya, nilai dibagi menjadi 4 jenjang oleh Scheler. Pertama, nilai senang-tidak senang. Kedua, nilai vital. Ketiga, nilai rohani, dimana nilai ini memuat 3 macam nilai (estetis, benar-salah, dan pengetahuan murni). Keempat, nilai religius (yang kudus dan yang profan). Dari keempat nilai ini ada hierarki di dalamnya. Nilai yang kedua memiliki hierarki lebih tinggi dibanding nilai pertama, dan seterusnya. Nilai yang paling tinggi tentulah nilai keempat. Hierarki nilai yang ada ditentukan oleh 5 Kriteria. Kriteria tersebut adalah ketahanan suatu nilai, pembagian nilai, kebergantungan nilai, hasil suatu nilai, dan relativitas nilai.