Dodo Rozak mengajarkan kepada kita bahwa keterbatasan mentalnya tak membuatnya gagal menjadi ayah yang baik bagi anaknya.
Selain itu, film ini juga mengajarkan kepada kita bahwa penyandang cacat mental pun berhak mendapatkan cinta dan pembelaan dari setiap orang jika diperlakukan tak adil.
Ada banyak pelajaran yang bisa didapatkan dalam film ini. Jika saja beberapa dialog kasar dan kotor (yang bisa dimaklumi sebagai penggambaran kehidupan kejam penjara) dalam film khususnya yang berbahasa Jawa dan Bugis Makassar tak ada, film ini sangat layak ditonton oleh anak-anak.
Tak bermaksud untuk menceritakan isi film (spoiler). Jadi saya hanya menulis secukupnya saja. Lebih baik tonton sendiri untuk membuktikan tulisan ini.
Semua kredit layak diberikan pada para pemain dan kru sutradara atas totalitas mereka. Semua memberikan peran dan porsi yang terbaik. Vino G Bastian memang tak pernah gagal berperan dalam film apa pun. Karakter Dodo Rozak mungkin akan melekat lama padanya di mata penonton. Graciella menjadi idola baru yang mencuri perhatian. Saya yakin ia akan mendapatkan tawaran peran dalam film lain kelak. Mawar de Jongh (Tika dewasa) yang meski porsi perannya singkat, tapi sukses bikin saya jatuh cinta padanya, Om Indro yang kebapakan, Denny Sumargo yang serius, dan pemeran- pemeran lainnya yang kehadirannya menyempurnakan film.
Saya pikir, apa yang Hanung Bramantyo katakan bahwa film ini melampaui dirinya dan ekspektasinya, adalah betul. Pantas saja jika sutradara dan aktor utama film asli Miracle Of Cell No. 7 menganggap film remake versi Indonesia adalah yang terbaik menurut mereka dibanding beberapa film remake sebelumnya dalam beberapa negara lain. Film ini layak berdiri sejajar dengan versi aslinya.
Lewat film ini, nampaknya saya harus mengubah persepsi saya kepada film-film Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H