Sejak itu, adegan tawa sudah mulai bercampur haru. Emosi penonton betul-betul diaduk. Sebentar tertawa, tak lama kemudian terharu. Lalu tertawa lagi, terharu lagi. Sesak dada rasanya.
Lalu adegan di mana Dodo Rozak divonis oleh hakim hukuman mati setelah ia mengakui pembunuhan yang dituduhkan kepadanya meski tak ia lakukan, karena sebelum vonis ia diancam oleh bapak korban (Iedil Putra) akan mencelakai Tika jika Dodo menyangkal membuat penonton gregetan. Memunculkan perasaan menyesal sekaligus tak bisa apa-apa. Usaha Hendro Sanusi, kepala sipir yang diperankan oleh Deny Sumargo untuk menyelamatkan Dodo dari vonis menjadi sia-sia.
Mulai dari adegan itulah tak ada lagi tawa. Yang ada hanya perasaan sedih. Juga saat Dodo Rozak harus dibawa ke Nusakambangan untuk dieksekusi. Dodo berpelukan dengan teman-teman sesama penghuni sel. Bang Japra yang paling terpukul.
Kemudian puncaknya adegan perpisahan Tika dengan sang ayah. Ia tak tahu ayahnya mau dibawa ke mana. Yang ia tahu ayahnya mau pergi jauh. Keduanya sempat-sempatnya memainkan permainan yang biasa mereka lakukan sebelum berpisah. Keduanya tertawa lepas karena tak tahu apa yang akan terjadi. Tapi penonton menangis. Saya bahkan mendengar suara tangis tersedu-sedu dari banyak arah, entah dari kursi mana. Saya menebak mereka adalah para siswi.
Dan adegan setelahnya yang tak perlu saya ceritakan. Saya berharap kalian menontonnya sendiri. Saya yang awalnya mencoba menahan tangis akhirnya harus jebol juga juga. Saya gagal menahan air mata, tapi untungnya berhasil tak mengeluarkan suara.
Film belum kelar, tapi tahu sudah di penghujung, saya bergegas keluar ruangan teater karena menghindari terlihat mata saya sembab saat lampu menyala. Terdengar tawa dari kursi penonton. Saya tahu para siswi menertawai saya yang hampir keluar lewat pintu masuk sebelum berbalik ke arah pintu keluar. Saya pun ke toilet untuk mengusap air mata dengan tisu.
Terbersit keinginan menggoda para guru dan siswi, jadi saya menunggui mereka di pintu keluar. Betul, tak ada satupun penonton yang keluar dengan mata yang tak memerah. Bahkan ada seorang siswi yang masih tersedu saat keluar membuat pengunjung lain heran. Saya menggoda mereka yang hanya bisa pasrah tersipu malu.
Bagi saya, ini mungkin pengalaman menonton film yang membuat satu teater menangis. Saya pernah menonton film Indonesia lainnya di bioskop, tapi tidak seperti ini sensasinya.
Film ini betul-betul meruntuhkan harga diri dan gengsi saya sebagai pria di hadapan para wanita. Padahal saya sudah berusaha untuk menahan tangis. Menonton film ini memang lebih baik dengan menanggalkan gengsi sebagai pria. Nikmati alurnya, resapi, dan menangislah secara natural, biarkan air mata itu keluar.
Menurut saya, film ini mengajarkan cinta anak pada orang tua itu tak bisa terhalang oleh kondisi apa pun. Bagi anak, kebahagiaannya sederhana, di mana ia bisa bersama orang tuanya meski di tempat yang paling manusia hindari yakni di penjara.
Tak peduli ayahnya cacat mental, Tika cinta sepenuhnya pada ayah. Bagaimana pun, ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuan.