Paling tidak fenomena-fenomana ini senantiasa akan mendominasi pola hidup suatu negara yang masih berkembang seperti Indonesia ini, selama masyarakatnya masih miskin, bodoh, bahkan terkesan primitif suka dengan tawuran, perpecahan dan lain sebagainya, fenomena demi fenomena ini akan tetap terlestarikan dan terjaga dengan sendirinya, karena masyrakat lebih suka dengan simbol-simbol, atribut-atribut, aneka pencitraan persis dengan apa yang diinginkan media-media komersial, karena bisa jadi seseorang yang lidahnya terlihat berdzikir dan tangannya memegang tasbih tapi hatinya ternyata membangkan kepada Allah, sebaliknya ada juga orang yang mulutnya terlihat diam tapi hatinya tenang dan senantiasa mengingat Allah, ini semua karena Islam lebih kepada “Esensi” bukan pada yang nampak saja.
Tak heran ajaran Islam hanya dijadikan dagangan layaknya merek dan produk-produk terkenal, padahal seharusnya ajaran Islam mempunyai kekuatan dan peka dengan isu-isu kekinian seperti sosial, ekonomi, budaya, politik, artinya Islam bisa membentuk sebuah karakter suatu bangsa jika benar-benar difahami secara baik dan dengan akal yang sehat, bukan dengan sebaliknya, Islam di negri ini hanya baru sebatas menyentuh kulit luarnya saja, kecek-kecek dan belum bisa memberikan perubahan lantaran da’I da’I nya tumpul.
Dengan sendirinya ajaran Islam sebagai sebuah ideologi yang lurus kelak akan terhapuskan jika para dainya terus menerus mengikuti selera manusia dan mengejar selera pasar seiring dengan maraknya permintaan berbau komersial dan ini semua terangkum mulai dari fenomena ustadz pasang tarif gila-gilaan, sampai budaya sinetron-sinetron religi yang kadang kala terlalu berlebihan dan mengesankan Islam ajaran yang kecek-kecek, diperparah lagi dengan nuansa politik yang sering membawa-bawa umat Islam. Alangkah sayangnya
Kalau sudah begini sang da'i, ustadz, dan lainnya harus lebih peka menyampaikan isu-isu keagamaan dan pandai memilih dan memilah topik untuk diperbincangkan, karena negri ini sebenarnya sudah sering kali disuguhi dengan majlis-majlis dzikir nasional, tabligh-tabligh super akbar, taubat berjama’ah, tapi hasilnya sudahkah berbanding lurus dengan banyaknya uang yang digelontorkan untuk menggelar acara-acara religi!!! jawabnya silahkan direnungkan dan diamati masing-masing sebagai sebuah analisa bersama.
Selama ekonomi kita masih kurang mengijinkan, selama masyrakat masih pasif dan kurang peka dengan pendidikan, sosial, politik, selama kita masih kehilangan jati diri atau identitas, selama rasa nasionalisme terus terkikis dan selama masih diam dengan pembodohan dan selama masyrakat masih saja bisa dibodohi oleh para sindikat-sindikat elit, mafia-mafia kasus dan para penjahat di negri ini, selama itu pula seseorang yang katanya ustadz dibantu dengan segenap masyarakat wajib sadar dan melek untuk mengubah isi ceramah kepada "KONTEKS-KONTEKS KEAGAMAAN". Karena itu yang kita butuhkan saat ini dan seterusnya untuk membangun sebuah kesadaran dan karakter masyrakat artinya ceramah keagamaan yang selama ini kita dengar terlalu melangit harus dikebumikan agar bisa lebih dicerna dan dirasakan manfaatnya tanpa harus repot-repot mengkoceh kantong kita untuk mendatangkan sang da'I ngetop markotop. (Buang-buang uang saja dengan hal yang sedikit manfaatnya).
Sebenarnya kita tidak perlu repot-repot bayar ustadz dengan biaya super tinggi, lebih baik dananya dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat lain yang membutuhkan, seperti berbagi kepada sesama, menyantuni faqir miskin, bantu anak putus sekolah, pembangunan tempat ibadah, dengan demikian bangun masjid tidak perlu lagi mengemis ke jalan jalan, dari bis ke bis, rumah ke rumah. Insya Allah ini akan lebih bermanfaat ketimbang biayanya dihabiskan untuk mengundang seseorang yang katanya ulama ngetop bak selebriti, bukankah Islam ajaran sosial !!!!!!!
Imam besar masjid Istiqlal Prof. Dr Mustofa Ali Ya'qub juga menambahkan perihal fenomena da'i pasang tarif, beliau dengan tegas mengharamkan siapa saja yang berdakwah meminta imbalan apalagi pasang tarif, lain halnya jika dari panitia yang memberi sang Ustadz dengan sukarela bukan dengan dipinta itu sah-sah saja hukumnya tambah sang imam besar Masjid Istiqlal.
Tidak adanya otoritas keagamaan
Melihat ramai-ramai acara keagamaan, tabligh-tabligh akbar, majlis-majlis dzikir bak kerumunan semut di lautan manisan, tapi saat adzan subuh berkumandang berapa banyak dari kita yang tergerak untuk segera bangun dan berjamaah di masjid, Alhasil sof atau barisan-barisan mushola tidak sampai satu baris pada umumnya, berbeda halnya saat acara tabligh akbar yang jemaahnya padat merayap dan begitu membanjiri, sekalipun acaranya sampai larut malam.
kala itu saya sempat mengobrol santai dengan salah satu pejabat daerah di kabupaten Bogor, ia sedikit kecewa dan menyayangkan ulah rekannya lantaran menjadi kurang disiplin dalam bekerja, sang rekan pejabat berkeloh bahwa ia habis menghadiri acara tabligh akbar di suatu tempat yang jauh dari rumahnya dan acaranya pun hingga larut apalagi yang menghiasi adalah da’I ngetop, makanya sayang dilewatkan tambahnya. Ini salah satu alasan penyebab disiplin kerjanya menjadi berkurang, acara keagamaan pun dijadikan alasan, padahal ini tidak ada hubungannya, seharusnya semakin beragama, seseorang itu semakin maju pola hidup dan pikirnya.
Di zaman ini memang ramai-ramai orang pandai berbicara agama, yaa karena sebenarnya bicara itu mudah, yang berat itu kan mempelajari ilmu-ilmu agama apalagi harus belajar ke sumbernya di Timur tengah dan Negara-negara Arab pada umumnya