Teruntuk teman-teman di Tanah air sebaiknya pandai memilih dan memilah afiliasi, hindari kefanatikan buta, saling membenci satu sama lain, karena biasanya untuk menjadi seorang politikus dia harus mempunyai jiwa "Manuver", kalau tidak, matilah dia dimakan serigala-serigala buas.
Adapun seorang dai atau pendidik, dia harus berjiwa "Qudwah/teladan" bukan berjiwa"manuver" yang  sering kali menawarkan kefanatikan kelompok dan kebodohan masal, kalau sudah begini mau dibawa kemana arah dan haluan umat Islam d Indonesia.
Di negri ini semakin hari semakin saja banyak peraturan hingga pengawasan, mulai dari undang-undang hingga kepres serta keputusan lewat setneg, kita bisa bayangkan berapa banyak aturan-aturan baru dibuat setiap tahunnya.
Pertanyaannya saat ini adalah..
Aturan itu dibuat seiring dengan semakin banyaknya pelanggar dan penjahat undang-undang itu sendiri, kalau di era bung Karno ada istilah P3 (Pejuang, (masuk) Penjara, (lalu jadi) Â Pejabat) lain dulu lain sekarang P3 telah berubah arti seiring pengkotak-kotakan kepentingan oleh para sindikit elit yang haus akan kekuasaan ( (jadi) Pejabat, (berubah jadi) Penjahat, (ditangkap kpk lalu masuk) penjara).
Ini sudah terbukti dengan banyaknya kepada daerah, mulai dari walikota, bupati, gubernur dan pemegang kepentingan lainnya ditemani para pengusaha yang tidak jujur masuk ke dalam penjara lantaran kasus pencucian uang dan penyalahgunaan wewenang yang menimpanya, ini semua terjadi karena sistem demokrasi di kita cenderung korup yaitu mengajarkan untuk menjadi koruptur, banyangkan berapa banyak dana yang dipakai untuk kampaye dan biaya administratif lainnya, jumlahnya tentu fantastis….
Maka tak jarang para pejabat yang seharusnya menjadi pengabdi Negara mereka malah menyalah gunakan wewenangnya karena ikut dalam sistem yang salah, sebelum menjabat banyak keluar uang hingga miliaran rupiah, saat terpilih dan menjabat di tahun ke-1 hingga ke-3 mencoba untuk mengembalikan modal, alhasil itupun terjadi dan malangnya di tahun ke-4 ditangkap kpk lalu tahun ke-5nya langsung dijebloskan ke penjara.
Fenomena keagamaan dan demokrasi kebablasan.
Seorang da'i, Ustadz atau apalah namanya sudah biasa jika berbicara tentang "Teks Agama", karena sebenarnya siapapun bisa untuk berkata demikian, apalagi di zaman kekinian yang serba canggih siapa saja bisa mengcopy paste sebuah artikel-artikel religi, menonton video-video keagamaan via Youtube dan sumber teknologi informasi dan komunikasi lainnya.
Tidak masalah memang mengambil manfaat via online, yang jadi masalah adalah jika budaya asal comot ini berpengaruh pada pola pikir keagamaannya sehingga menjadikannya malas untuk membaca ke sumber aslinya apalagi jika artikel-artikel, bacaan-bacaan tersebut dijadikan justifikasi , pembenaran untuk kelompok dan afilisiasinya. (Sungguh memalukan) yang seharusnya adalah mencari kebenaran bukan pembenaran, yang lebih memalukan lagi adalah dalil-dalil agama dijadikan pembenaran untuk sebuah kesalahan personal seperti kasus yang terjadi akhir-akhir ini.
Jika kita perhatikan berita akhir-akhir ini perihal tingginya tarif sang  ustadz ngetop yang ini tak luput dari pengaruh demokrasi yang kebablasan dalam hal keagamaan, padahalkan tinggi rendahnya ilmu agama seseorang tidak dinilai dari ngetop atau tidaknya sang dai, bisa jadi seseorang yang sederhana dan ada d sekitar kita mereka lebih memupuni dari segi ilmu-ilmu keagamaan, hanya saja biasanya mereka tidak suka popularitas, hidupnya benar-benar dipergunakan untuk sebuah pengabdian kepada agama, bangsa dan negaranya.