Kalau memang alasan personal, tentu ini sangat berbahaya karena bisa jadi pencalonan ini dikuasai oleh sindikat elit, mafia bisnis, para jawara atau penguasa daerah dan para ambisius yang mengandalkan materi semata.
Alhasil mereka para pemilik modal seperti para pengusaha, juragan tanah, bos-bos besar dan juga publig figur seperti para pelakon sinetron, penyanyi dangdut, komedian dan lain sebagainya, merekalah yang bakal maju di dalamnya, adapun mereka yang pintar dan mempunyai bobot, bibit dan bebet keilmuan memimpin negri tidak bisa ikut pencalonan karena cekak alias kekurangan modal, kalaupun ikut biasanya kalah dengan para pemilik modal ataupun publig figur di kebanyakan kasus. Alangkah sayangnya….
kalaupun para caleg memang diusung, demokrasi macam apa yang ditawarkan, karena selama ini masyrakat pada umumnya hanya dijadikan komoditas politik dan bukan sebagai "Alat" yang ampuh untuk benar-benar mendewasakan politik, alangkah baiknya masyarakat tidak asal memilih, kenali calon secara utuh, karena seseorang yang minta dipilih itu sebenarnya dipertanyakan integritasnya, semakin melangit janji dan bualannya maka semakin tidak perlu dipilih.
Karena pada umumnya kita selalu sibuk mencari sebuah "Pengakuan" agar menjadi luar biasa, padahal luar biasa adalah biasa meyederhanakan "Pencarian". Inilah yang seharusnya difahami oleh segenap elemen masyarakat agar kita tidak selalu sibuk mencari nilai sedangkan makna itu sendiri sering kali terabaikan, ramai-ramai  dari kita meninggikan bendera partai, sedangkan bendera bernama hati nurani , akal sehat yang dibalut kebersamaan dalam bingkai persatuan direndahkan bahkan di turunkan.
Ada satu hal yang membuat dahi saya mengkerut dan  menggelengkan kepala, yaitu ketika fenomena itu hadir di provinsi tempat saya tinggal dimana idealisme sudah tidak lagi bisa diperjuangkan, yang ada hanya kepentingan politik, dengan alasan inilah demokrasi, lagi-lagi demokrasi yang dikorbankan. Kasian..
Dimana sebuah idealisme bisa luntur saat bergesekan dengan parpol atau ormas, jarang kita menemukan mereka yang betul-betul  teguh dalam pendiriannya kecuali mereka yang kembali ke "Akar Rumput" membangun sebuah komunitas yang dilandasi sebuah kesadaran membangun dan nliai-nilai kepekaan berorientasikan kebangsaan.
Yaa itulah cara instan bagi mereka yg ingin cepat menggapai ambisinya, saat hendak pulang ke kampung halaman di Tasikmalaya, terpampang jelas poster besar gubernur dan wakilnya di daerah Bandung, oh ternyata pemimpinku seorang selebriti, begitu ucapku dalam hati, saya tidak habis pikir kenapa PKS bisa menggandeng pemain sinetron untuk jadi mitra, memangnya tidak ada orang hebat di jawa barat dan yang lebih aneh lagi mereka para tim sukses dan simpatisan fanatiknya yang begitu memperjuangkannya. Alamak…
Mereka selalu menjawab karena inilah pemimpin yang paling baik diantara yang lain, itu kan versi mereka apalagi yang didukung dari kelompoknya (bagaimana mau objektif) padahal kan ada kandidat lain yang jika ditelaah, mereka benar-benar memupuni di bidang birokrasi dan ketata negaraan walapun tidak sengetop para seleb.
Beginilah saat idealisme digadaikan, syariah diganti  dengan suara, simpati saya  yang dulu ada kini semakin surut bahkan semakin hari semakin pudar kecuali idealisme itu dikembalikan pada tempatnya, partai berhaluan Islam kini sudah lama berubah menjadi partai terbuka.
Inilah salah satu alasan kenapa saya belum bisa menerima pinangan dari partai yang katanya berhaluan Islam beberapa tahun yang lalu untuk menjadi Kader partai, karena sejatinya saya belum melihat ada partai yang benar-benar mewakili Islam, yang ada malah memperjuangkan kelompoknya, namanya juga partai, pola pikir pragmatis.
Kalaupun ada, kenapa juga PKS, PKB, PBB, PPP dan partai lain yang katanya memperjuangkan Islam tidak bersatu saja, toh kalau bersatu otomatis suaranya pasti dominan di pemilu setiap tahunnya, tapi sepertinya itu tidak mudah karena yang ada hanya ego, ambisi dan perebutan kekuasaan serta pengkavling-kavlingan jemaah Islamiyah.