Keterbatasan dalam Memahami Dimensi Moral dan Etika Teori-teori Barat, terutama yang berhubungan dengan motivasi dan moralitas, sering kali gagal memasukkan dimensi spiritual sebagai landasan moral.Â
Alasdair MacIntyre (1981) dalam After Virtue mengkritik moralitas Barat modern yang terpecah-pecah dan kehilangan dasar spiritual. Hal ini menyebabkan teori-teori motivasi moral yang berkembang di Barat menjadi lemah dalam memahami keputusan moral yang berakar pada keyakinan spiritual dan hubungan transendental.
Keterbatasan Teori Barat: Penolakan terhadap Dimensi Transendensi
Selain reduksionisme, keterbatasan teori Barat juga tampak dalam penolakan eksplisit terhadap dimensi transendensi. Teori-teori seperti Self-Determination Theory (Ryan & Deci, 2000) menekankan kebutuhan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan, tetapi tidak memasukkan aspek spiritualitas sebagai komponen penting dari kesejahteraan manusia.Â
Penekanan pada kebutuhan otonomi seringkali menekankan individualitas yang terlepas dari pengalaman spiritual yang mungkin lebih mendalam, seperti hubungan dengan Tuhan atau tujuan hidup yang lebih tinggi (Ryan & Deci, 2000).
Kritik dari Tokoh dan Ulama Islam
Tokoh-tokoh dan ulama Islam juga memberikan kritik tajam terhadap pendekatan Barat yang cenderung mengabaikan dimensi spiritual dalam memahami motivasi manusia. Seyyed Hossein Nasr, salah satu filsuf Islam terkemuka, mengkritik materialisme Barat dan pendekatan yang berpusat pada manusia (anthropocentrism) yang mengesampingkan keberadaan Tuhan dan dimensi spiritual dalam kehidupan manusia.Â
Dalam pandangan Nasr (1992), krisis modernitas adalah krisis spiritual yang disebabkan oleh penolakan terhadap Tuhan sebagai pusat kehidupan, yang mengakibatkan alienasi manusia dari alam dan dari dirinya sendiri. Nasr menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk biologis tetapi juga spiritual, yang harus memahami hubungannya dengan Sang Pencipta untuk mencapai keseimbangan hidup (Nasr, 1992).
Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan reformis Islam dari Pakistan, juga mengkritik pandangan Barat yang terlalu menekankan individualisme dan rasionalisme, yang menurutnya menghilangkan dimensi spiritualitas dalam pemahaman tentang eksistensi manusia.Â
Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930) menekankan pentingnya spiritualitas sebagai bagian dari kekuatan dinamis yang membentuk motivasi dan kemajuan manusia. Menurut Iqbal, spiritualitas bukanlah sesuatu yang terpisah dari aktivitas sehari-hari manusia, tetapi merupakan inti dari pengalaman hidup yang harus diintegrasikan dalam semua aspek kehidupan manusia (Iqbal, 1930).
Al-Ghazali, salah satu ulama besar dalam tradisi Islam, juga mengkritik keterbatasan pendekatan rasional dalam memahami kehidupan manusia. Dalam karyanya Ihya Ulum al-Din, ia menekankan pentingnya hati yang bersih dan hubungan dengan Tuhan sebagai fondasi moralitas dan kebahagiaan.Â
Menurutnya, akal semata tidak cukup untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan, karena kebenaran tertinggi hanya bisa dicapai melalui pengetahuan spiritual dan hubungan dengan Allah (Al-Ghazali, 2000).
Solusi dari Pendekatan Profetik-Humanistik: Integrasi Nilai Spiritual dan Humanistik
Pendekatan Profetik-Humanistik berusaha menjembatani keterbatasan teori motivasi Barat dengan mengintegrasikan aspek spiritual, moral, dan humanistik dalam memahami kebutuhan dan motivasi manusia. Dalam kerangka ini, manusia tidak hanya dilihat sebagai entitas individu yang otonom, tetapi juga sebagai makhluk spiritual yang memiliki tujuan lebih besar dalam hidup yang terhubung dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.Â