Pendahuluan
Artikel yang saya tulis ini mengupas kritik dan keterbatasan teori-teori Barat, khususnya dalam konteks spiritualitas, dengan menempatkannya dalam bingkai Profetik-Humanistik sebagai teori motivasi integratif. Teori motivasi dalam psikologi Barat cenderung sekuler dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisik serta aktualisasi diri, tetapi mengabaikan dimensi spiritual dan transendensi yang integral dalam kehidupan manusia.Â
Saya mendefinisikan teori ini adalah sebuah kerangka teoretis yang mengintegrasikan nilai-nilai profetik (spiritualitas, moralitas, dan etika berbasis ajaran kenabian) dengan pendekatan humanistik (penghargaan terhadap potensi individu, aktualisasi diri, dan empati) untuk memahami dan memotivasi perilaku manusia secara holistik, yang mencakup aspek spiritual, sosial, emosional, dan intelektual.
Sebagai solusi, pendekatan profetik-humanistik menyoroti pentingnya integrasi antara nilai-nilai spiritual, moral, dan humanistik dalam mengembangkan motivasi manusia yang lebih holistik dan seimbang. Artikel ini meninjau beberapa kritik kunci terhadap teori motivasi Barat dan menawarkan perspektif baru melalui lensa profetik-humanistik.
Teori motivasi dalam psikologi Barat, seperti teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow atau teori determinasi diri Ryan dan Deci, cenderung mengabaikan dimensi spiritualitas dalam upaya memahami kebutuhan dan motivasi manusia.Â
Dalam konteks ini, Teori Profetik-Humanistik muncul sebagai alternatif yang integratif, yang tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan biologis dan psikologis manusia tetapi juga aspek spiritual yang fundamental.Â
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji kritik terhadap teori-teori motivasi Barat serta menjelaskan keterbatasannya dalam mengakomodasi dimensi spiritual, sambil menunjukkan bagaimana pendekatan profetik-humanistik menawarkan solusi komprehensif untuk memahami motivasi manusia.
Kritik terhadap Teori Barat dalam Konteks Spiritual
Reduksionisme dan Sekularisme dalam Teori Barat Kritik utama terhadap teori-teori Barat dalam konteks spiritual adalah kecenderungan untuk melihat manusia dari sudut pandang reduksionistik. Pendekatan ini berupaya menyederhanakan manusia sebagai entitas biologis dan psikologis, tanpa memberikan perhatian yang memadai terhadap dimensi spiritual yang penting.Â
Abraham Maslow, misalnya, dalam hierarki kebutuhannya, menetapkan aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan manusia, tetapi gagal memasukkan dimensi transendensi.Â
Maslow mengakui pentingnya spiritualitas pada masa akhir kariernya, tetapi hierarki kebutuhan aslinya tetap terbatas pada kebutuhan material dan psikologis (Maslow, 1943). Kritik ini ditegaskan oleh Hill & Pargament (2003), yang menunjukkan bahwa penelitian psikologi sering kali mengabaikan pentingnya agama dan spiritualitas bagi kesehatan mental dan kesejahteraan individu.
Pandangan Atomistik dan Individualistik Teori Barat sering kali mengadopsi pandangan atomistik tentang manusia, di mana individu dilihat sebagai entitas yang terpisah dan otonom, tanpa memperhatikan hubungan spiritual atau sosial yang lebih luas.Â
Charles Taylor (1989) mengkritik kecenderungan ini dalam karyanya Sources of the Self, dengan menyatakan bahwa identitas manusia modern, yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Barat, mengabaikan dimensi spiritual dan hubungan dengan komunitas. Pandangan ini mengurangi kompleksitas manusia menjadi fokus pada otonomi individu, yang secara spiritual dianggap terbatas.
Keterbatasan dalam Memahami Dimensi Moral dan Etika Teori-teori Barat, terutama yang berhubungan dengan motivasi dan moralitas, sering kali gagal memasukkan dimensi spiritual sebagai landasan moral.Â
Alasdair MacIntyre (1981) dalam After Virtue mengkritik moralitas Barat modern yang terpecah-pecah dan kehilangan dasar spiritual. Hal ini menyebabkan teori-teori motivasi moral yang berkembang di Barat menjadi lemah dalam memahami keputusan moral yang berakar pada keyakinan spiritual dan hubungan transendental.
Keterbatasan Teori Barat: Penolakan terhadap Dimensi Transendensi
Selain reduksionisme, keterbatasan teori Barat juga tampak dalam penolakan eksplisit terhadap dimensi transendensi. Teori-teori seperti Self-Determination Theory (Ryan & Deci, 2000) menekankan kebutuhan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan, tetapi tidak memasukkan aspek spiritualitas sebagai komponen penting dari kesejahteraan manusia.Â
Penekanan pada kebutuhan otonomi seringkali menekankan individualitas yang terlepas dari pengalaman spiritual yang mungkin lebih mendalam, seperti hubungan dengan Tuhan atau tujuan hidup yang lebih tinggi (Ryan & Deci, 2000).
Kritik dari Tokoh dan Ulama Islam
Tokoh-tokoh dan ulama Islam juga memberikan kritik tajam terhadap pendekatan Barat yang cenderung mengabaikan dimensi spiritual dalam memahami motivasi manusia. Seyyed Hossein Nasr, salah satu filsuf Islam terkemuka, mengkritik materialisme Barat dan pendekatan yang berpusat pada manusia (anthropocentrism) yang mengesampingkan keberadaan Tuhan dan dimensi spiritual dalam kehidupan manusia.Â
Dalam pandangan Nasr (1992), krisis modernitas adalah krisis spiritual yang disebabkan oleh penolakan terhadap Tuhan sebagai pusat kehidupan, yang mengakibatkan alienasi manusia dari alam dan dari dirinya sendiri. Nasr menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk biologis tetapi juga spiritual, yang harus memahami hubungannya dengan Sang Pencipta untuk mencapai keseimbangan hidup (Nasr, 1992).
Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan reformis Islam dari Pakistan, juga mengkritik pandangan Barat yang terlalu menekankan individualisme dan rasionalisme, yang menurutnya menghilangkan dimensi spiritualitas dalam pemahaman tentang eksistensi manusia.Â
Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930) menekankan pentingnya spiritualitas sebagai bagian dari kekuatan dinamis yang membentuk motivasi dan kemajuan manusia. Menurut Iqbal, spiritualitas bukanlah sesuatu yang terpisah dari aktivitas sehari-hari manusia, tetapi merupakan inti dari pengalaman hidup yang harus diintegrasikan dalam semua aspek kehidupan manusia (Iqbal, 1930).
Al-Ghazali, salah satu ulama besar dalam tradisi Islam, juga mengkritik keterbatasan pendekatan rasional dalam memahami kehidupan manusia. Dalam karyanya Ihya Ulum al-Din, ia menekankan pentingnya hati yang bersih dan hubungan dengan Tuhan sebagai fondasi moralitas dan kebahagiaan.Â
Menurutnya, akal semata tidak cukup untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan, karena kebenaran tertinggi hanya bisa dicapai melalui pengetahuan spiritual dan hubungan dengan Allah (Al-Ghazali, 2000).
Solusi dari Pendekatan Profetik-Humanistik: Integrasi Nilai Spiritual dan Humanistik
Pendekatan Profetik-Humanistik berusaha menjembatani keterbatasan teori motivasi Barat dengan mengintegrasikan aspek spiritual, moral, dan humanistik dalam memahami kebutuhan dan motivasi manusia. Dalam kerangka ini, manusia tidak hanya dilihat sebagai entitas individu yang otonom, tetapi juga sebagai makhluk spiritual yang memiliki tujuan lebih besar dalam hidup yang terhubung dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.Â
Teori ini mengambil inspirasi dari ajaran para nabi yang menekankan keseimbangan antara kebutuhan fisik, mental, dan spiritual, yang semuanya terintegrasi dalam kerangka motivasi yang utuh dan seimbang.
Kebutuhan spiritual, dalam pendekatan ini, dilihat sebagai bagian dari hierarki kebutuhan yang lebih tinggi, yang melampaui aktualisasi diri menuju aktualisasi transendental, atau hubungan dengan yang Maha Tinggi. Konsep ini selaras dengan pemikiran insan kamil dalam tradisi Islam, yang menempatkan kesempurnaan manusia dalam hubungan yang selaras dengan Tuhan, dirinya sendiri, dan komunitasnya (Nasr, 1992).
Kritik terhadap teori motivasi Barat dalam konteks spiritual menunjukkan bahwa pendekatan-pendekatan tersebut sering kali tidak memadai dalam memahami kebutuhan spiritual manusia.Â
Tokoh-tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Iqbal, dan Al-Ghazali memberikan kritik terhadap pandangan Barat yang mengabaikan dimensi spiritualitas. Pendekatan Profetik-Humanistik menawarkan solusi integratif yang memandang manusia secara holistik, mencakup aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.Â
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan humanistik, teori ini memberikan alternatif yang lebih komprehensif untuk memahami motivasi dan perkembangan manusia dalam konteks kehidupan yang lebih luas dan bermakna. Wallahu A'lam bi Al Shawaab
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI