Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

FOMO, Alasan Kita Tidak Berhenti Mengunyah Sampah Informasi

24 Maret 2022   15:01 Diperbarui: 25 Maret 2022   21:17 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Fomo (Sumber: diego_cervo sumber sains.kompas.com)

Kritik boleh, tapi kalau memang bagus, kenapa tidak apresiasi sih?

Seorang teman mengeluh, jengkel, melihat informasi tentang MotoGP yang baru saja diselenggarakan. 

Menurutnya, banyak dari masyarakat Indonesia yang justru tidak mengapresiasi kerja nyata dari panitia, dan tentunya pemerintah. 

Setelah lebih dari 20 tahun, dengan segala kekurangannya, nyatanya Indonesia mampu menyelenggarakan event Internasional dengan baik. 

"Kritik boleh, tapi kalau memang bagus, kenapa tidak apresiasi sih?" Ketusnya kesal.

Sebelum teknologi informasi berkembang pesat, seseorang membutuhkan upaya dan investasi (bayar) untuk mendapatkan informasi. 

Koran hanya bisa dibeli orang tertentu, televisi tidak banyak memberikan informasi dan tidak semua orang mampu memilikinya. Teknologi informasi mengubah segalanya.

Dalam hal ini, media sosial menjungkirbalikkan hal tersebut. Berkat media sosial, bahkan jika kita tidak terbiasa menonton berita siaran lokal atau membaca koran, kemungkinan besar kita akan menemukan sesuatu yang berhubungan dengan berita. Ini hampir tidak bisa dihindari. Informasi sekarang berbalik mengejar kita. Berita bahkan akan menemukan kita, bahkan saat kita tidak membutuhkannya.

Fomo | Ilustrasi dari editage.com
Fomo | Ilustrasi dari editage.com

Sayangnya kita seperti tidak pernah kapok untuk mengonsumsi segala informasi dari media sosial. Meskipun sebagian dari informasi tersebut berdampak buruk. Ini seperti kita kecanduan mengunyah sampah.

Konsumsi Informasi dan Kesehatan Mental

Bahkan setiap detik, kita dibanjiri dengan banyak konten yang belum tentu kita siap menerimanya. 

Peperangan, pandemi virus, bencana alam, kekerasan yang tidak masuk akal, tragedi keluarga, konflik politik, drama selebriti, dan peristiwa lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Masalahnya adalah tidak semua dari kita memiliki kecenderungan kepribadian yang sama. Ada di antara kita yang dengan santai melihat hal-hal yang negatif sekalipun. Sebaliknya, bagi sebagai orang informasi negatif menjadi sampah pikiran yang memicu respons stres.

Saat atensi kita telah terserap dalam layar, menjadi obsesif itu adalah pilihan yang sulit untuk kita abaikan. Kata "sebentar" saat kita berselayar di layar gawai, menjadi jurang yang amat licin. Kata tersebut menjerumuskan kita dan terjerumus dalam waktu dan juga jurang emosional. 

Banyak penelitian telah menghubungkan penggunaan media sosial dengan kondisi kesehatan mental seseorang. 

Studi yang diterbitkan oleh The Lancet Psychiatry menemukan bahwa menggunakan medsos (facebook) sampai larut malam cenderung memiliki perasaan tertekan (stres) dan tidak bahagia. 

Hal tersebut dapat dijelaskan oleh penelitian Edson C Tandoc Jr., dan kedua koleganya tahun 2015 yang menemukan bahwa stres dan perasaan tidak bahagia saat bermain medsos bisa dikarenakan oleh perasaan iri dan rendah diri melihat postingan lingkaran media sosialnya. 

Tahun 2018 Journal of Social and Clinical Psychology mempublikasikan hasil penelitian Melissa G. Hunt dan kolega yang menemukan bahwa semakin sedikit waktu yang dihabiskan orang di media sosial, maka semakin sedikit pula gejala depresi dan kesepian yang mereka rasakan. Fakta tersebut selaras dengan survey yang dilakukan oleh Centre for Addiction and Mental Health tahun 2017.

Fenomena FOMO

Keluhan teman yang saya ilustrasikan di atas bisa saja terjadi pada siapapun, termasuk kita. Aliran informasi yang tak terkendali berkolaborasi dengan masalah kontrol impuls kita. sekali berselancar, sulit bagi kita untuk berhenti, semakin penasaran dan semakin impulsif. 

Masalah kita tidak mampu mengontrol kapan bermain dan kapan berhenti juga disebabkan oleh perasaan takut ketinggalan informasi. Inilah fenomena FOMO.

Istilah FOMO telah ada berabad-abd yang lalu. Oleh Dan Herman, seorang ahli pemasaran, FOMO diperkenalkan dengan padanan makna takut kehilangan (fear of missing out). 

Media sosial telah mempercepat fenomena FOMO dalam beberapa cara. FOMO mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik daripada kita. 

Ketika kita terus membandingkan situasi kehidupan kita dengan pencapaian orang lain, kita sedang terjebak FOMO. Ini melibatkan rasa iri yang mendalam dan mempengaruhi harga diri.

Istilah FOMO berkembang dan dipakai untuk menyebut perasaan bahwa kita kehilangan sesuatu yang secara fundamental kita anggap penting.

Dalam perkembangannya, istilah FOMO berkembang dan dipakai untuk menyebut perasaan bahwa kita kehilangan sesuatu yang secara fundamental kita anggap penting. Kecenderungan kita membuka medsos, masuk dalam kategori itu. 

Kita berharap terus menerus meng-update informasi. Saat kita mulai khawatir tertinggal informasi, saat itulah kita terperangkap dalam kondisi FOMO. 

Sialnya, medsos menyajikan beragam kemungkinan. Bisa jadi informasi itu sangat kita harapkan, bisa jadi sebaliknya, informasi yang membuat kita akrab dengan emosi negatif.

Berhadapan dengan FOMO

Sepertinya mudah jika kita berpikir untuk tidak lagi merasa takut kehilangan informasi. Namun, nyatanya tidak seperti itu. Penelitian menunjukkan bahwa FOMO dapat berasal dari ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan dengan kehidupan, namun sayangnya saat kita merasa tidak bahagia, kita malah semakin terdorong untuk membuka medsos. 

Pada gilirannya, keterlibatan yang lebih besar dengan media sosial dapat membuat kita merasa lebih buruk tentang diri kita sendiri dan hidup kita, bukan lebih baik. Ini semacam siklus setan.

Saat kita tidak bahagia, kita cenderung untuk membuka medsos, sayangnya itu sering kali malah memperburuk kondisi psikologis kita. Inilah siklus setan.

Saat kita mulai mengubah perspektif, kita bisa berhadapan dengan FOMO. Ini langkah awal, daripada berfokus pada kekurangan, cobalah perhatikan apa yang telah kita miliki. Ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan di media sosial, di mana kita mungkin dibombardir dengan gambar hal-hal yang tidak kita miliki, tetapi itu bisa dilakukan.

Medsos memberikan kita opsi untuk menuntun mereka ke algoritma kecerdasannya. Pilih saja sesiapa yang ingin anda ikuti yang membuat nyaman, ubad feed untuk mengurangi pemicu FOMO. Langkah selanjutnya adalah identifikasi, jenis informasi apa saja yang membuat perubahan emosional kita. 

Sejatinya, hanya diri kita sendiri yang tahu apa saja yang layak kita konsumsi dan apa yang tidak layak. Saat melihat informasi yang tidak layak, segeralah bertindak. Hilangkan atau rekomendasikan untuk tidak melewati beranda medsos kita.

Bermain medsos adalah cara kita menuruti perintah otak kita untuk terhubung secara sosial. Mengapa otak mengaktifkan keinginan untuk terhubung secara sosial? 

Sebuah ulasan menarik diutarakan Cacioppo dan dua orang koleganya dalam sebuah tulisan yang berjudul Toward a neurology of loneliness, manusia adalah makhluk yang takut akan kesepian, manusia membutuhkan perasaan memiliki. 

Sayangnya medsos menghubungkan kita tidak secara nyata. Sekarang, tinggal pilih, apakah kita ingin terhubung dan memiliki secara virtual atau nyata?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun