Istilah FOMO telah ada berabad-abd yang lalu. Oleh Dan Herman, seorang ahli pemasaran, FOMO diperkenalkan dengan padanan makna takut kehilangan (fear of missing out).Â
Media sosial telah mempercepat fenomena FOMO dalam beberapa cara. FOMO mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik daripada kita.Â
Ketika kita terus membandingkan situasi kehidupan kita dengan pencapaian orang lain, kita sedang terjebak FOMO. Ini melibatkan rasa iri yang mendalam dan mempengaruhi harga diri.
Istilah FOMO berkembang dan dipakai untuk menyebut perasaan bahwa kita kehilangan sesuatu yang secara fundamental kita anggap penting.
Dalam perkembangannya, istilah FOMO berkembang dan dipakai untuk menyebut perasaan bahwa kita kehilangan sesuatu yang secara fundamental kita anggap penting. Kecenderungan kita membuka medsos, masuk dalam kategori itu.Â
Kita berharap terus menerus meng-update informasi. Saat kita mulai khawatir tertinggal informasi, saat itulah kita terperangkap dalam kondisi FOMO.Â
Sialnya, medsos menyajikan beragam kemungkinan. Bisa jadi informasi itu sangat kita harapkan, bisa jadi sebaliknya, informasi yang membuat kita akrab dengan emosi negatif.
Berhadapan dengan FOMO
Sepertinya mudah jika kita berpikir untuk tidak lagi merasa takut kehilangan informasi. Namun, nyatanya tidak seperti itu. Penelitian menunjukkan bahwa FOMO dapat berasal dari ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan dengan kehidupan, namun sayangnya saat kita merasa tidak bahagia, kita malah semakin terdorong untuk membuka medsos.Â
Pada gilirannya, keterlibatan yang lebih besar dengan media sosial dapat membuat kita merasa lebih buruk tentang diri kita sendiri dan hidup kita, bukan lebih baik. Ini semacam siklus setan.
Saat kita tidak bahagia, kita cenderung untuk membuka medsos, sayangnya itu sering kali malah memperburuk kondisi psikologis kita. Inilah siklus setan.