Kita masih ingat betapa banyak orang yang dengan terbuka menyebarkan berita salah satu menteri kabinet Jokowi Jilid II terpapar Covid-19. Semacam pembalasan, karena pemerintah saat itu dianggap tidak memiliki langkah konkrit menangani pandemi. Begitu juga awal oktober kemarin, di Amerika juga heboh dan semacam sukuran massal saat Donald Trump dinyatakan positif Covid-19. "Presiden negara adidaya yang tidak terlalu percaya dengan protokol kesehatan itu akhirnya merasakan akibatnya" semacam itulah kampanye schadenfreude.Â
Masih banyak lagi contoh serupa di dunia internet, kasus yang menimpa Habib Rizieq, Anies Baswedan dan hampir semua publik figur akan menerima semacam kegembiraan massal dari para pembencinya (haters) saat mereka berhadapan dengan masalah.
Bagaimana bisa?
Jika ditanya, kita semua akan menjawab sebagai makhluk yang penuh belas kasih, simpatik dan memiliki kehangatan empati.Â
Nyatanya, tidak seperti itu. Banyak luapan emosi kegembiraan saat orang-orang tertentu menemui masalah dan kegagalan. Artinya, merasakan kegembiraan dalam kemalangan orang lain jauh lebih umum dari pada yang mungkin ingin kita akui --- atau bahkan sadari.
Bisa jadi, schadenfreude merupakan salah luapan emosional gembira yang gelap. Sudut pandang evolusi menyebut perilaku ini sebagai sebuah keniscayaan, bahwa manusia membutuhkan rasa aman. Salah satu rasa aman adalah melihat kondisi kita lebih baik dari pada kondisi orang lain.Â
Evolusionis menyebut manusia memiliki insting untuk unggul secara kompetitif dari manusia lainnya. Sehingga bukan sebuah kebetulan bahwa sistem saraf pusat manusia dirancang untuk bersaing.
Schadenfreude selanjutnya akan sejalan beriringan dengan teori harga diri dan teori perbandingan sosial, bahwa kita cenderung selalu membandingkan pencapaian diri kita dengan orang lain. Artinya, kita cenderung menikmati kegagalan dan kemalangan orang lain adalah karena kita membutuhkan semacam validasi atau "stempel" bahwa harga diri kita meningkat.Â
Iya, sebagian dari kita merasa bahwa kegagalan orang lain (terutama yang tidak disukai) adalah cerminan bahwa dirinya lebih benar dan oleh karena itu lebih beruntung.
"Tuh, kan apa aku bilang. Dia salah kan?" mungkin itu adalah salah satu bentuk "stempel" harga diri penganut schadenfreude.Â
Selain persoalan harga diri dan perbandingan sosial, fenomena schadenfreude bisa jadi disebabkan oleh perasaan kehilangan kendali.
Orang-orang yang terjebak dalam masalah, dan berada dalam kondisi ketidakpastian memiliki kemungkinan lebih banyak untuk menikmati emosi schadenfreude.Â