Orang-orang yang terjebak dalam masalah, dan berada dalam kondisi ketidakpastian memiliki kemungkinan lebih banyak untuk menikmati emosi schadenfreude.
Apa yang kita lakukan saat orang atau sosok yang kita tidak sukai menemui kemalangan, kegagalan atau musibah?Â
Secara kognitif, saya tahu Anda semua yang sedang membaca tulisan ini langsung mengambil jarak dan waktu sejenak untuk memberikan jawaban. Dan mungkin Anda akan memberikan jawaban diplomatis, "bukan urusan saya" atau malah "saya akan bersimpati atas kemalangan yang dialami siapa pun."Â
Namun, hal tersebut sangatlah susah untuk kita praktikan secara emosional, selalu ada perasaan yang tidak terbendung, semacam perasaan senang, gembira atau pun bersyukur atas kemalangan orang lain, terlebih orang yang tidak kita sukai.
Tentang Schadenfreude
Psikologi menyebutnya sebagai schadenfreude, pengalaman emosional gembira atas kemalangan orang lain.Â
Kamus Merriam-Webster menyebut istilah ini berasal dari bahasa Jerman, dari akar kata schaden (yang berarti damage/hancur) dan freude (yang berarti gembira). Istilah ini juga ditemukan dalam berbagai budaya di dunia.
Orang Jepang memiliki pepatah, "Kesialan orang lain rasanya seperti madu". Orang Perancis berbicara tentang joie maligne, kesenangan yang mengerikan dalam penderitaan orang lain.Â
Di Denmark itu adalah skadefryd; dalam bahasa Ibrani, simcha la-ed; dalam bahasa Mandarin, xng-zi-l-hu; dalam bahasa Rusia, zloradstvo; dan untuk orang Melanesia yang tinggal di Nissan Atoll yang terpencil di Papua Nugini; banbanam.
Kita sering melakukannya dalam keseharian, baik langsung maupun lewat internet. Kita akan dengan bangga menertawakan kekalahan tim suatu sepak bola atau public figure yang ada di dunia maya. Â
Tanpa sadar kita terbahak melihat kegagalan orang dalam kumpulan kompilasi video kegagalan, atau bereaksi senang, memberi komentar dan menyebarkan berita tentang kesalahan figur-figur yang tidak kita sukai.