Siklus konflik
Jika konflik adalah api, maka untuk menaklukkannya kita butuh pengetahuan tentang api. Untuk mendpatkan pemahaman yang kaya tentang konflik pengasuhan, kita mulai dari bagaimana orangtua dan anak biasanya memandang, berpikir, merasakan dan kemudian berperilaku sebagai respon dari peristiwa yang penuh tekanan dan situasi penuh masalah.Â
Mengacu pada Life Space Crisis Intervention (LSCI--sebuah lembaga yang konsentrasi pada intervensi krisis rentang kehidupan) konflik antara orangtua-anak terjadi karena perbedaan pandangan, pikiran, perasaan dan respon perilaku antara keduanya. Itulah mengetahui siklus tersebut sangat penting bagi kita yang keseharian berhadapan dengan anak, entah itu anak kita sendiri ataupun siswa di sekolahan.
Bagaimana sudut pandang didapatkan pada suatu peristiwa adalah hal yang penting untuk kita ketahui. Secara umum, manusia dewasa mampu dan tahu bahwa terdapat banyak cara untuk memahami dunia. Masalahnya adalah anak-anak belum mampu melakukan itu sepenuhnya. (Kurt.org pinterest.com)Â
Mudah-mudahan, ketika diminta apakah persepsi lain itu valid, kita akan mengakuinya. Meskipun sudut pandang kita juga tidak kalah akuratnya.Â
Gambar-gambar tersebut secara sederhana mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa dunia bisa saja dipahami berbeda oleh orang lain, termasuk anak kita. Apakah mereka yang memandang dunia secara berbeda telah berbuat kesalahan? Tidak selalu bukan? Â
Kembali ke fenomena di atas. Secara perseptual, masalah utama konfliknya adalah tentang persepsi tentang 'rapi'. Pertanyaannya adalah apakah anak dalam kasus tersebut memiliki persepsi yang sama tentang kerapian dengan orangtua mereka? Selanjutnya, apakah kita (kebanyakan orangtua) pernah mendengar pendapat anak-anak kita tentang apakah itu rapi?
Salahkah anak-anak dengan kapasitasnya pemahamannya menempatkan mainan di penjuru rumah? Bermain air, mungkin pasir dalam rumah dan lain sebagainya.
Sementara orangtua memahami kerapian dalam konsep mereka, anak juga memiliki persepsi dalam dunianya. Terasa sedap memang melihat barang-barang di rumah tertata rapi, namun hal itu bisa saja berkebalikan dengan anak-anak. Kenapa? Ya sudut pandang kita berbeda, anak melihat dunianya dalam keceriaan bermain.
Emosi dan perasaan
Selain memberikan pemahaman yang berbeda, sudut pandang juga berimplikasi pada perasaan yang dimunculkan seseorang. Terlihat seperti tumpang tindih, adakalanya persepsi memunculkan emosi seseorang dan sebaliknya emosi memunculkan sudut pandang berbeda.Â
Pada kasus di atas, perubahan emosi yang dialami anak secara tiba-tiba karena tekanan (kemarahan orangtua) dapat memicu serangkaian emosi negatif pada anak. Kita bisa menggunakan sudut pandang sederhana dengan membayangkan bagaimana perasaan kita ketika tiba-tiba aktivitas kita secara radikal disalahkan oleh orang lain tanpa dialog, tanpa mengetahui dimana letak kesalahan kita.