Suatu sore, sepasang orang tua terlihat marah kepada anaknya lantaran rumah mereka berantakan penuh mainan, air dan kotoran. Sejenak terlihat anak ingin menjelaskan, namun terpotong oleh luapan kemarahan ibundanya, "Saya kan sudah seringkali bilang, habis main kembalikan, biar rapi!" Tak berselang lama, anak tersebut terlihat menutupi wajah dengan kedua tangannya dan mulai menangis.
Hampir semua manusia ingin memiliki keturunan, namun tidak semuanya siap untuk menjadi pengasuh bagi anak-anaknya kelak. Setidaknya kita bisa melihat fenomena keseharian di sekitar kita, tentang 'kenakalan' anak-anak dan tekanan-tekanan orangtua dalam mengasuh anak-anak mereka.Â
Mengapa kerap kita mendengar tentang keluhan orangtua dalam mengasuh anak-anak mereka? Jawabannya sederhana, karena anak-anak tidak banyak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan hal serupa (keluhan) tentang hubungan mereka dengan orangtua mereka.
Konflik dalam pengasuhan antara orangtua-anak merupakan hal biasa dalam kehidupan. Ia adalah jejak yang membuktikan dinamika hubungan diantara keduanya. Banyak diantaranya menjadi sebuah titik balik kuatnya hubungan orangtua-anak, namun tidak sedikit yang menjadi sebaliknya.
Kalau tidak percaya cobalah datang di sekolah-sekolah (TK dan SD) saat anak-anak menghambur keluar seteah bel pulang sekolah berbunyi. Lihat bagaimana cara-cara orangtua saat melayani keinginan anak-anak membeli (lagi dan lagi) mainan dan makanan di depan sekolah.Â
Atau kalau anda teah memiliki anak, bagaimana rasanya saat anak anda terus menerus membuat rumah berantakan. Sekali lagi, ada yang berhasil menghadapi kejadian-kejadian tersebut, namun tidak sedikit yang belum berhasil dan kemudian berkonflik dengan anak-anak.
Apa yang terjadi saat konflik?
Anak-anak hampir selalu akan menjadi korban jika terjadi konflik dengan orangtua mereka. Mereka tidak memiliki otoritas untuk membawa keinginan dan emosinya dipahami orangtua mereka, sedangkan orangtua dengan segudang pengetahuan dan pengalamannya memiliki otoritas penuh untuk selalu 'menang' dalam konflik.Â
Pengetahuan dan pengalaman akan menjadi guide bagi orangtua untuk mengekspresikan perasaan tertekan dan frustasi saat berhadapan dengan anak mereka dalam sebuah konflik. Mereka bisa menekan dengan berbagai cara, mulai dengan intimidasi kontak mata, meninggikan suara, memberikan hukuman fisik sampai hukuman mengacuhkan anak-anak mereka.
Beberapa orangtua mengaku menyesal sesaat setelah konflik berakhir dengan 'kemenangan' mereka. Kemudian mecoba memperbaiki hubungan dengan berbagai hal, mulai menjalin komunikasi yang lebih lembut sampai memberikan hadiah. Sayangnya hanya sedikit dari resolusi tersebut yang benar-benar menyelesaikan masalah.Â
Tau kenapa? Karena resolusi tersebut diambil searah tanpa mengindahkan keinginan anak-anak mereka saat konflik terjadi. Memang hadiah membuat anak kembali tersenyum gembira, namun senyum itu, yakinlah bukan karena anak merasa selesai dengan konflik sebelumnya, namun perasaan suka karena mendapatkan mainan.
Siklus konflik
Jika konflik adalah api, maka untuk menaklukkannya kita butuh pengetahuan tentang api. Untuk mendpatkan pemahaman yang kaya tentang konflik pengasuhan, kita mulai dari bagaimana orangtua dan anak biasanya memandang, berpikir, merasakan dan kemudian berperilaku sebagai respon dari peristiwa yang penuh tekanan dan situasi penuh masalah.Â
Mengacu pada Life Space Crisis Intervention (LSCI--sebuah lembaga yang konsentrasi pada intervensi krisis rentang kehidupan) konflik antara orangtua-anak terjadi karena perbedaan pandangan, pikiran, perasaan dan respon perilaku antara keduanya. Itulah mengetahui siklus tersebut sangat penting bagi kita yang keseharian berhadapan dengan anak, entah itu anak kita sendiri ataupun siswa di sekolahan.
Bagaimana sudut pandang didapatkan pada suatu peristiwa adalah hal yang penting untuk kita ketahui. Secara umum, manusia dewasa mampu dan tahu bahwa terdapat banyak cara untuk memahami dunia. Masalahnya adalah anak-anak belum mampu melakukan itu sepenuhnya. (Kurt.org pinterest.com)Â
Mudah-mudahan, ketika diminta apakah persepsi lain itu valid, kita akan mengakuinya. Meskipun sudut pandang kita juga tidak kalah akuratnya.Â
Gambar-gambar tersebut secara sederhana mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa dunia bisa saja dipahami berbeda oleh orang lain, termasuk anak kita. Apakah mereka yang memandang dunia secara berbeda telah berbuat kesalahan? Tidak selalu bukan? Â
Kembali ke fenomena di atas. Secara perseptual, masalah utama konfliknya adalah tentang persepsi tentang 'rapi'. Pertanyaannya adalah apakah anak dalam kasus tersebut memiliki persepsi yang sama tentang kerapian dengan orangtua mereka? Selanjutnya, apakah kita (kebanyakan orangtua) pernah mendengar pendapat anak-anak kita tentang apakah itu rapi?
Salahkah anak-anak dengan kapasitasnya pemahamannya menempatkan mainan di penjuru rumah? Bermain air, mungkin pasir dalam rumah dan lain sebagainya.
Sementara orangtua memahami kerapian dalam konsep mereka, anak juga memiliki persepsi dalam dunianya. Terasa sedap memang melihat barang-barang di rumah tertata rapi, namun hal itu bisa saja berkebalikan dengan anak-anak. Kenapa? Ya sudut pandang kita berbeda, anak melihat dunianya dalam keceriaan bermain.
Emosi dan perasaan
Selain memberikan pemahaman yang berbeda, sudut pandang juga berimplikasi pada perasaan yang dimunculkan seseorang. Terlihat seperti tumpang tindih, adakalanya persepsi memunculkan emosi seseorang dan sebaliknya emosi memunculkan sudut pandang berbeda.Â
Pada kasus di atas, perubahan emosi yang dialami anak secara tiba-tiba karena tekanan (kemarahan orangtua) dapat memicu serangkaian emosi negatif pada anak. Kita bisa menggunakan sudut pandang sederhana dengan membayangkan bagaimana perasaan kita ketika tiba-tiba aktivitas kita secara radikal disalahkan oleh orang lain tanpa dialog, tanpa mengetahui dimana letak kesalahan kita.
Perilaku
Pada gilirannya, munculnya emosi negatif memicu seseorang berperilaku destruktif (seperti melawan, membantah, menangis dll). Begitu juga anak-anak kita. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk melihat perilaku 'buruk' anak-anak sebagai sebuah gejala dari apa yang belum selesai sebelumnya atau bagian pertama dari 'siklus konflik' yang mendapat perhatian kita.
Kembali pada kasus di atas, apakah kemudian anak-anak segera merubah perilakunya dengan membereskan mainan sesuai yang kita inginkan? Tidak, karena anak-anak akan menangis atau merajuk. Sudut pandang siklus konflik melihat perilaku menangis pada kasus di atas bukan sebagai sebuah perilaku yang muncul tiba-tiba karena anak ingin melawan, namun sebagai gejala atas hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan, diinginkan dan dirasakan anak.
Secara tradisional, kita mengenal istilah bahwa anak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan karena mereka menginginkan perhatian, kekuatan dan juga kontrol. Saya percaya hal tersebut masih berlaku, bahwa anak membutuhkan perhatian dari orang disekitarnya, dia juga selalu menginginkan kekuatan dan kontrol penuh atas apa yang dia lakukan.Â
Ketika dia bermain (tentunya berantakan), anak membutuhkan orangtua mereka untuk memberikan perhatian positif seperti 'waah keren sekali, apa itu yang sedang dibuat?' atau hal-hal lain yang menunjukkan perhatian sekaligus memberikan konrtol pada anak untuk menjelasakan apa yang sedang dia inginkandan lakukan pada mainannya.
Jika hal tersebut tidak terjadi, bahkan terjadi sebaliknya, hal dasar yang diinginkan anak otomatis tidak tercapai. Inilah yang membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan keinginan orangtua. Siklus konflik LSCI memberikan gambaran dasar bagaimana orangtua memprediksikan perilaku anak-anak mereka, sehingga tidak memberikan respon yang justru memperkeruh keadaan dan memancing konflik.
Merespons perilaku anak
Tanggapan orangtua merupakan satu-satunya elemen dalam siklus LSCI yang dapat dikendalikan. Jika tujuan utama kita adalah untuk mengajarkan anak mengetahui pilihan perilaku mereka, kita harus mulai dengan memberi contoh pilihan positif dari diri kita sendiri, terutama dalam hal bagaimana kita merespons perilaku anak-anak kita yang tidak diinginkan.
Kasus di atas menunjukkan bahwa orangtua menggunakan opsi tradisional Berikut adalah beberapa alternatif pilihan respon perilaku kita dari kasus di atas:
- Menggunakan pendekatan tradisional dengan tegas memberitahu anak untuk merapikan mainan dan segera menghentikan tangisannya.Â
Opsi ini mungkin saja tepat untuk mengontrol perilaku anak saat kejadian, namun itu akan menjadi kesempatan yang terlewatkan bagi orangtua untuk terhubung dan berkomunikasi dengan anaknya, untuk membantu anak berlatih keterampilan menenangkan, dan untuk berlatih menghubungkan bahasa dengan emosi.
Akibatnya bisa jadi anak merapikan mainannya, namun sangat mungkin akan menjadi peristiwa stres bagi anak dan lebih memilih menghindari aktivitas yang sama kemudian hari. Artinya, anak tidak menerima opsi orangtua, namun menghindarinya di lain waktu.
- Opsi lain menggunakan LSCI adalah mencoba memasuki otak rasional anak dalam upaya untuk mendapatkan lebih banyak respons logis. Dimulai dengan menempatkan posisi badan setingkat dengan anak (berjongkok) dan mulai berbicara "main-mainnya seru banget kayaknya". Ini adalah respon positif pertama. Lanjutkan dengan kata-kata lain yang sekiranya dapat membantu mereka membereskan mainnnya, seperti "pasti capek ini main-mainnya, nanti kita bantu beresin ya". Jika anak merajuk dan menangis, biarkan mereka menangis, berikan pelukan. Jikalau anak bertindak agresif, tetap saja pelukan menjadi opsi paling baik untuk meredakannya. "Tenang, kemarin kan kita sudah belajar bersih-bersih, pasti hari ini akan lebih cepat beresinnya, kan kita sudah latihan"
Tidak lebih tiga menit waktu dibutuhkan untuk menempatkan anak pada opsi yang lebih baik sesuai dengan keinginan kita. Ada waktu untuk menetapkan standar dan berkomunikasi dengan anak tentang perilaku mereka. Pemahaman siklus konflik membantu orangtua memahami peta yang lebih efektif mengatasi hubungan mereka dengan anak-anaknya. Bisa jadi tulisan ini mudah untuk dipahami, namun belum tentu mudah diimplementasikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H