Sudah ada beberapa orang yang menelpon, tapi tidak ada kelanjutannya. Yah, namanya menjual rumah, tentu saja tidak bisa secepat lakunya seperti menjual pisang molen. Harus sabar menunggu pembeli yang benar-benar serius. Bisa jadi, sampai Rafilus dan istrinya, Rismayana, pindah ke Borneo, rumah itu belum laku-laku juga.
Tiba-tiba Bi Sumi, asisten rumahtangga, muncul dari dalam rumah. "Pak-Bu, ada orang pakai mobil berhenti di depan rumah. Mungkin ada perlu...," ucap Bi Sumi.
Rafilus dan Rismayana berpandangan. Bersamaan dengan itu, handphone Rafilus melantunkan lagu yang indah, tanda ada yang menelpon. Rafilus memperhatikan si penelpon, tak ada namanya. Dia terima telpon itu.
"Ya, halo...," sambut Rafilus.
"Selamat sore, Pak. Kebetulan kami lewat depan rumah ini dan ada tulisan 'dijual.' Kami tertarik dan mampir. Ingin melihat-lihat dulu. Sekarang kami berada di halaman depan ini, kalau bisa bertemu Bapak pemiliknya?" kata suara itu, suara lelaki.
"Oh ya, tunggu. Saya sendiri. Sebentar saya ke luar," balas Rafilus.
Seorang lelaki berkaca mata hitam, nampak gagah, berdiri di samping mobil sedan berwarna biru muda, tersenyum menyambut kemunculan Rafilus dari dalam rumah. Mereka berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. Usia mereka nampak sepantaran saja. Kurang lebih empat puluh tahunan.
"Aswad."
"Rafilus."
"Bapak pemilik rumah ini? Rumah yang sangat bagus."
"Ya, benar."