Oleh: Akhmadi Swadesa
BERPISAH dengan orang yang dicintai dan disayang, selalu menumbuhkan rasa sedih yang dalam. Begitulah yang dirasakan Maryani, ketika Rafilus pergi meninggalkannya setelah lebih tujuh tahun mereka hidup berumahtangga sebagai suami-istri.
Maryani sangat tidak menginginkan perpisahan itu, karena dia sangat mencintai Rafilus. Dia ingin tetap bersama lelaki itu, selamanya. Kelembutan dan kasih sayang Rafilus telah meninabobokkan hatinya untuk selalu bersama dengannya. Akan tetapi Rafilus punya perhitungan lain. Dia ingin punya keturunan, dan hal itu tidak bisa diberikan oleh Maryani.
Mereka berdua sudah memeriksakan diri ke dokter ahli, dan keduanya dinyatakan sehat. Tidak mandul. Namun, mengapa Maryani belum juga mengandung?
Oleh sebab itu, dengan berat hati, setelah berpikir dengan cermat penuh berbagai pertimbangan, akhirnya Rafilus memutuskan untuk berpisah dengan Maryani, istrinya.
"Ini memang berat, Mar, bagi kita berdua. Bukan aku tidak mencintaimu. Tapi aku tidak bisa melihat jalan lain, jika ingin memiliki keturunan, selain berpisah denganmu dan kemudian aku akan menikah dengan perempuan lain. Maafkan aku," ucap Rafilus ketika itu.
Maryani wajahnya menjadi pucat. Lalu menangis pelan. Ditatapnya Rafilus dengan sorot mata sendu.
"Maafkan aku, kalau hingga kini belum bisa memberimu keturunan. Tapi maukah kau bersabar beberapa waktu lagi, Raf, siapa tahu aku nanti hamil dan kita punya anak." Maryani menghapus airmatanya. "Kupikir, kita memang harus menungggu...."
"Menunggu? Sudah tujuh tahun jalan, Mar. Itu bukan waktu yang sebentar. Menunggu sampai kapan?"
"Bagaimana kalau kita mengadopsi seorang anak, Raf? Banyak sudah contoh, suami-istri yang tadinya tidak punya keturunan, kemudian bisa punya anak setelah mereka mengadopsi seorang anak," kata Maryani, nadanya penuh bujukkan.
Rafilus menggeleng. Ditatapnya istrinya dengan lembut, dan katanya: "Yang kuinginkan seorang anak yang lahir dari rahimmu sendiri, buah dari cinta kasih kita berdua."