Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Pengarang

Menulis saja. 24.05.24

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Rumah Kecil di Tepi Ciliwung (3)

8 September 2024   14:30 Diperbarui: 10 September 2024   16:24 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sumber: pixabay.com

Oleh: Akhmadi Swadesa

     

     SETELAH magrib, aku langsung saja pergi ke rumah Asri. Aku ingin mengkonfirmasi apa benar  bapaknya Asri mengantarkan sebiji buah pepaya besar ke rumah yang kutempati, dan lantas kami bertemu saat sedang mandi di kali Ciliwung tadi.

    Pintu rumah yang kutuju nampak tertutup rapat dan di dalamnya gelap. Hanya lampu teras yang menyala.

     Kuketuk pintu perlahan. Ternyata yang membukakan pintu adalah si Pedro, pamannya Asri.

Pedro ini sepantaran denganku. Dan aku juga berteman akrab dengannya.

     "Hallo, Ped. Kok rumah kelihatannya sepi?" tanyaku.

     "Ya, memang. Semua pada  berangkat ke Sumedang sejak dua hari lalu. Bapak Asri sedang memantau keadaan pabrik tahunya di sana," jawab Pedro sambil mempersilahkan aku duduk di bangku teras.

     "Sudah sejak dua hari yang lalu?"

     "Ya. Sejak dua hari lalu."

     Aku menimbang-nimbang dalam hati, apakah aku harus ceritakan kepada Pedro apa yang telah kualami? Tapi kemudian aku merasa tidak perlu menceritakannya. Khawatir Pedro tak percaya, lalu mentertawakanku dan mengatakan bahwa aku sudah senewen.

     "Emang ada perlu sama Bapaknya Asri," tanya Pedro.

     "Kagak. Cuma kangen aja ngobrol sama dia."

     "Kangen sama Bapaknya Asri, atau sama Asri?"

      Kami tertawa. Pedro memang tahu, kalau aku ada rasa dengan kemenakannya itu. Kalau ada rapat atau kumpul-kumpul anggota Karang Taruna, aku suka duduk dekat Asri dan mengajaknya ngobrol.

      "Di, asal tahu aja ya, Asri itu mau dijodohin bapaknya sama...pokoknya ada deh," kata Pedro lagi.

     "Pantesan babenya seperti kurang sreg sama gua. Kalau dia lihat gua asyik ngobrol sama Asri, itu roman babenya masam aja ngeliat gua," balasku.

      Aku kembali berpikir, bahwa kejadian aneh di rumah yang kutempati dan di kali Ciliwung tadi pasti ada hubungannya dengan ketidaksukaan Bapak Asri terhadapku lantaran aku menyukai putrinya. Asri.

     Aku tinggalkan Pedro, dan kembali ke rumah. Namun dari jauh kulihat pintu rumahku itu terbuka, dan lampu di ruang tamu menyala terang-benderang. Padahal, rasanya waktu aku meninggalkan rumah tadi pintu sudah kukunci dan lampu ruang tamu tidak kuhidupkan. Kudengar suara orang bercanda dan tertawa-tawa.

     Kurogoh saku celana, memeriksa anak kunci yang kusimpan tadi setelah mengunci pintu dan pergi ke rumah Bapak Asri. Ternyata tidak ada.

     "Kak Ardi, tadi anak kuncinya kami temukan di lantai teras, jadi kami buka aja pintunya dan masuk. Kami sengaja tunggu Kak Ardi pulang," jelas Dianti, ketika aku tiba dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu itu Dianti tidak sendiri, dia berdua dengan Ratih. Kami semua sama anggota Karang Taruna.

     "Oh ya? Hallo Dianti, hallo Ratih," kataku tertawa.

     Karena di ruang tamu itu tidak ada kursi atau sofa, gadis-gadis cantik itu hanya duduk lesehan di lantai ubin beralaskan selembar tikar plastik.

     "Ada kabar apa nih?" tanyaku sambil ikut duduk lesehan.

    "Iya. Bang Remon, Ketua Karang Taruna kita, sudah ada nggak beri tahu sama Kak Ardi?" tanya Ratih.

     "Tentang apa ya?" Aku menatap gadis-gadis itu.

     "Tentang rencana kita ngadain pelatihan untuk seluruh anggota, pelatihan cara mandiin mayat," sambung Dianti.

     "Belum ada tuh," sahutku.

     "Nah, makanya kami berdua mampir kemari menemui Kak Ardi. Karena acara pelatihan cara mandiin mayat itu rencananya besok kita laksanakan," timpal Ratih lagi.

     "Oke  siap. Tempat pelatihannya di mana?"

     "Menurut Bang Remon, bagusnya di rumah Kak Ardi ini aja. Ruang tengahnya lumayan luas, dan air dari pompa Dragon itu sepertinya cukup melimpah," ucap Dianti.

     "Bagaimana? Kak Ardi nggak nolakkan rumah ini dijadikan tempat latihan mandiin mayat?" tanya Ratih.

     "Oh, boleh-boleh," sahutku, tertawa. Cuma untuk latihan mandiin mayat kok, masa aku harus menolaknya.

     "Nah, ini kami berdua sudah siapkan tiga lembar kain kafan untuk pelatihan mandiin mayat itu," kata Dianti.

     "Sekarang tinggal cari boneka manekin ukuran besar aja lagi. Kami belum tahu harus pinjam dimana boneka manekinnya untuk bahan praktek kita besok," tukas Ratih.

     "Bisa pinjam di toko pakaian di jalan besar sana," kataku.

     "Nanti deh, kami coba berdua Dianti kami usahakan. Yang jelas kain kafan ini Kak Ardi simpan saja dulu."

     "Kalau boneka manekinnya nggak ada, gimana kalau Kak Ardi saja nanti yang berperan sebagai mayat?" tanya Dianti sambil tertawa.

     Aku dan Ratih berpandangan. Lalu ikut tertawa.

     "Siap. Aku nanti harus telanjang bulat dan kalian yang mandiin ya?"

      "Idiiih 'parno.' Kak Ardi 'parno' ah," seru Ratih. "Mayat lelaki harus dimandiin orang laki, sebaliknya mayat perempuan juga harus wanita yang mandiin. Pokoknya alat prakteknya pakai boneka manekin aja dah. Kan kita para anggota Karang Taruna cuma ingin tahu cara-cara mandiin mayat atau jasad orang yang sudah mati aja."

     Kami tertawa-tawa lagi. Riang sekali. Sementara di luar hari semakin malam.

     "Kak Ardi, sepertinya kita sudahi dulu ya pertemuan ini," ucap Dianti, lirih.

     "Tapi, boleh nggak sih kami pinjam majalah remaja yang sering memuat cerpen-cerpen Kak Ardi?" Ratih kali ini yang berkata.

      "Lho, dari mana kalian tahu kalau aku sering nulis cerpen?" Aku mengerenyitkan kening, karena rasanya selama ini aku tidak pernah cerita kepada siapa pun di desa Sukahati ini, kalau aku sering nulis cerita pendek.

     "Ada deh. Boleh nggak pinjam majalahnya, yang ada cerpen-cerpen Kak Ardi."

     "Untuk kalian berdua yang cantik-cantik ini, tentu saja aku nggak mungkin bisa menolak. Sebentar ya, aku ambilkan majalahnya di kamar. Tapi setelah selesai bacanya, entar kembalikan lagi ya majalahnya? Karena itu majalah dokumentasiku."

    Aku bangkit berdiri, dan segera melangkah ke kamarku yang berada di bagian belakang, untuk mengambilkan beberapa majalah remaja yang telah memuat karya-karyaku berupa cerpen. Kudengar suara Ratih dan Dianti tertawa-tawa dari ruang tamu itu.

     Aku membungkuk mengambil beberapa majalah arsip milikku dari bawah tempat tidur. Empat eksemplar majalah cukuplah, pikirku. Aku berdiri dan berbalik ingin tinggalkan kamar, namun di depan pintu kamarku nampak Ratih dan Dianti sudah berdiri di situ seraya menatapku tajam dengan sorot matanya yang merah seperti mengandung api. Bibir-bibir mereka yang tadi nampak bagus dan menggemaskan, kini melorot dan di sudut-sudut bibir itu menyembul taring-taring yang tajam. Kedua tangan 'Dianti' dan 'Ratih' sibuk mengibar-ngibarkan kain kafan yang tadi mereka bawa, seolah ingin membungkusku dengan kain kafan itu. Dan kain kafan itu mengoarkan aroma kembang tiga rupa, terdiri dari aroma bunga mawar, melati, dan kamboja! 

     Bangsat kuadrat! Sumpahku dalam hati. Ternyata sedari tadi aku ngobrol dengan hantu. Dan inilah mereka hantu-hantu itu, yang menyerupai sosok Dianti dan Ratih, teman-temanku anggota Karang Taruna desa Sukahati.

     Sangking ketakutannya, aku melompat tinggi menerjang hantu-hantu itu! Hanya menendang angin! Dan seketika, mereka hilang tanpa bekas! Sunyi dan senyap.

     Aku berlari ke ruang tamu. Memeriksa. Di situ gelap gulita. Lampu tidak menyala, dan memang jarang kunyalakan. Mungkin tadi aku dan 'Ratih' dan 'Dianti' ngobrol dalam kegelapan. Namun para dedemit itu mampu membuatnya seolah ada lampu yang menyala terang. Kuperiksa daun pintu yang kini tertutup, ternyata tidak terkunci. Aku merogoh saku celanaku. Anak kunci itu masih tersimpan rapi di situ, artinya tidak pernah terjatuh di lantai teras. Dan aku memang tadi membuka pintu dengan anak kunci itu, namun aku seolah-olah merasa tak pernah membukanya, karena aku sudah masuk dan hanyut dalam dunia gaib.

     Malam itu, aku tertidur pulas dengan berbagai mimpi buruk yang mengerikan!

     Keesokkan harinya aku menemui Bang Remon, Ketua Karang Taruna kami. Kutanyakan apakah dia ada punya ide untuk mengadakan pelatihan cara-cara memandikan orang mati atau mayat? Dia menggeleng dan tertawa.

     "Masalah cara mandiin mayat itu biarlah menjadi programnya kiyai dan para ustadz. Untuk kita belum punya program ke sana. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana hidup kita ini punya masa depan yang cerah, gilang-gemilang, dan selalu enak," kata Bang Remon, yang hidungnya melengkung panjang seperti hidung satwa bekantan yang hidup di hutan-hutan Borneo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun