"Lho, dari mana kalian tahu kalau aku sering nulis cerpen?" Aku mengerenyitkan kening, karena rasanya selama ini aku tidak pernah cerita kepada siapa pun di desa Sukahati ini, kalau aku sering nulis cerita pendek.
   "Ada deh. Boleh nggak pinjam majalahnya, yang ada cerpen-cerpen Kak Ardi."
   "Untuk kalian berdua yang cantik-cantik ini, tentu saja aku nggak mungkin bisa menolak. Sebentar ya, aku ambilkan majalahnya di kamar. Tapi setelah selesai bacanya, entar kembalikan lagi ya majalahnya? Karena itu majalah dokumentasiku."
  Aku bangkit berdiri, dan segera melangkah ke kamarku yang berada di bagian belakang, untuk mengambilkan beberapa majalah remaja yang telah memuat karya-karyaku berupa cerpen. Kudengar suara Ratih dan Dianti tertawa-tawa dari ruang tamu itu.
   Aku membungkuk mengambil beberapa majalah arsip milikku dari bawah tempat tidur. Empat eksemplar majalah cukuplah, pikirku. Aku berdiri dan berbalik ingin tinggalkan kamar, namun di depan pintu kamarku nampak Ratih dan Dianti sudah berdiri di situ seraya menatapku tajam dengan sorot matanya yang merah seperti mengandung api. Bibir-bibir mereka yang tadi nampak bagus dan menggemaskan, kini melorot dan di sudut-sudut bibir itu menyembul taring-taring yang tajam. Kedua tangan 'Dianti' dan 'Ratih' sibuk mengibar-ngibarkan kain kafan yang tadi mereka bawa, seolah ingin membungkusku dengan kain kafan itu. Dan kain kafan itu mengoarkan aroma kembang tiga rupa, terdiri dari aroma bunga mawar, melati, dan kamboja!Â
   Bangsat kuadrat! Sumpahku dalam hati. Ternyata sedari tadi aku ngobrol dengan hantu. Dan inilah mereka hantu-hantu itu, yang menyerupai sosok Dianti dan Ratih, teman-temanku anggota Karang Taruna desa Sukahati.
   Sangking ketakutannya, aku melompat tinggi menerjang hantu-hantu itu! Hanya menendang angin! Dan seketika, mereka hilang tanpa bekas! Sunyi dan senyap.
   Aku berlari ke ruang tamu. Memeriksa. Di situ gelap gulita. Lampu tidak menyala, dan memang jarang kunyalakan. Mungkin tadi aku dan 'Ratih' dan 'Dianti' ngobrol dalam kegelapan. Namun para dedemit itu mampu membuatnya seolah ada lampu yang menyala terang. Kuperiksa daun pintu yang kini tertutup, ternyata tidak terkunci. Aku merogoh saku celanaku. Anak kunci itu masih tersimpan rapi di situ, artinya tidak pernah terjatuh di lantai teras. Dan aku memang tadi membuka pintu dengan anak kunci itu, namun aku seolah-olah merasa tak pernah membukanya, karena aku sudah masuk dan hanyut dalam dunia gaib.
   Malam itu, aku tertidur pulas dengan berbagai mimpi buruk yang mengerikan!
   Keesokkan harinya aku menemui Bang Remon, Ketua Karang Taruna kami. Kutanyakan apakah dia ada punya ide untuk mengadakan pelatihan cara-cara memandikan orang mati atau mayat? Dia menggeleng dan tertawa.
   "Masalah cara mandiin mayat itu biarlah menjadi programnya kiyai dan para ustadz. Untuk kita belum punya program ke sana. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana hidup kita ini punya masa depan yang cerah, gilang-gemilang, dan selalu enak," kata Bang Remon, yang hidungnya melengkung panjang seperti hidung satwa bekantan yang hidup di hutan-hutan Borneo.