Oleh: Akhmadi Swadesa
SUDAH nyaris satu jam duduk menghadap komputer, namun belum satu kata pun dapat saya tuliskan. Mau mengarang tentang apa? Pikiran ini benar-benar buntu. Akhirnya, setelah menyeruput kopi sedikit, dan makan kue gemblong sebiji, saya langsung berdiri dari duduk dan berjalan ke luar meninggalkan kamar. Komputer di meja kerja tetap saya biarkan hidup dan layarnya mempertontonkan pemandangan pegunungan bersalju yang indah. Dia akan mati sendiri nanti, sesuai dengan settingan waktu yang sudah saya buat.
"Hendak ke mana, Bang?" tanya istri saya dari ruang tengah. Dia sedang membuat sulaman untuk hiasan dinding.
"Pikiranku lagi buntu nih, Yang. Nggak tahu apa yang harus dikarang. Jadi mau jalan-jalan dulu ke luar. Siapa tahu setelahnya dapat inspirasi lagi," sahut saya, dan berjalan ke arah gudang di samping rumah.
Sepeda ontel yang antik saya keluarkan dari dalam gudang itu. Ini lagi malas aja pakai motor. Sejurus kemudian, saya sudah mengayuhnya di jalan raya yang lengang ke arah selatan. Saya bermaksud ke kawasan pasar tradisional untuk sekadar melihat-lihat. Kebetulan letaknya tidak terlampau jauh dari sini.
Sesampainya di kawasan pasar itu, saya lihat suasananya sudah sepi, maklum sekarang sudah pukul empat sore. Kios-kios sudah banyak yang tutup.
Â
Saya memarkir sepeda ontel saya di halaman parkir kantor perwakilan Dinas Pasar yang pintu dan jendelanya juga sudah tertutup, yang artinya semua pegawainya entah pergi kemana. Ada pohon kecil di pojokkan. Ban belakang sepeda segera saya pasangi rantai besi yang berkait melingkar ke pohon itu, lalu ujung rantai bertaut dan saya gembok. Aman sudah. Maling berpikir dua kali untuk mengambilnya, karena butuh waktu untuk melepaskan gembok dan rantai itu. Ya, meskipun hanya sepeda ontel tua dan antik pula, tapi saya sangat sayang dengan barang milik saya itu.
Saya lantas berjalan santai memasuki kawasan pasar tradisional itu. Di salah satu sudut saya melihat seorang ibu tengah memberi makan sepuluhan ekor kucing liar yang berdiam di lingkungan pasar. Kira-kira umur ibu itu lima puluh atau mungkin lebih. Tapi masih terlihat kuat dan bugar. Dia menenteng sebuah panci ukuran sedang dengan sebuah centong plastik. Dengan centong itu dia menyendok makanan di dalam panci, dan membaginya setumpuk-setumpuk kecil di pojok-pojok dinding bangunan pasar. Para kucing menyerbu tumpukan makanan itu.
"Sedang apa, Ibu?" tanya saya berbasa-basi, dan sengaja berlagak tolol.
"Nanya kok sedang apa? Dasar bego! Masa situ nggak lihat apa yang saya kerjakan?" Ibu itu balik bertanya dengan ketus.
"Oh, Ibu sedang memberi makan kucing-kucing ini ya?" Saya tertawa, lagak tolol saya berhasil.