"Bagaimana ceritanya, Bu, kok sampai terpisah?"
"Panjang ceritanya...Tapi kalau saya boleh tahu, kerjaan Mas Bro ini apa ya?"
"Saya pengarang, Bu."
"Oh, pengarang. Bagus itu. Bolehkah Mas Bro bikinkan cerita tentang saya? Sangat bagus jalan hidup saya kalau dibuat cerita. Saya sangat rindu sama anak saya itu. Pertemuan dengannya sangat saya rindukan. Oh, Tuhan, kapankah itu bisa terjadi."
Kedua mata ibu itu nampak berkilat-kilat oleh airmata yang ingin ke luar dari kelopaknya. Rasa sedih dan haru tidak dapat dia sembunyikan.
"Di kota ini, di mana Ibu tinggal?" usik saya lagi.
"Atas ijin Pak RT, Pak Gandul Sugila, saya dibolehkan menempati pondok kecil di tanah kosong itu. Di situlah selama dua tahun ini saya numpang tinggal," jawabnya.
Saya mengangguk-angguk. Ternyata ibu ini tinggal satu RT dengan saya. Tapi selama ini saya tidak pernah memperhatikan lahan kosong yang ibu ini sebutkan itu, karena letaknya memang jauh dari tempat tinggal saya. Adapun Pak RT Gandul Sugila, saya sangat mengenalnya, dan boleh dikata dia termasuk teman lama saya.
"Jadi begini cerita singkatnya, Mas Bro. Di desa itu hidup saya bersama suami sangat miskin. Suami saya kerjanya serabutan," ibu itu mulai membuka cerita masa lalunya, dan inilah yang memang saya tunggu-tunggu. Dia melanjutkan: "Saya sedang hamil tua ketika penyakit itu mewabah di mana-mana, termasuk di desa kami. Eh, suami saya justru yang terkena serangan virus yang berbahaya itu. Tiga hari dirawat di rumah sakit, tak bisa ditolong, dia mati. Saya sedih sekali, dan keadaan kami yang sangat miskin. Saya kemudian melahirkan di rumah sakit atas pertolongan Pak Rahim dan istrinya, Bu Tati. Merekalah yang menanggung semuanya. Dan karena mereka suami-istri yang tidak punya keturunan meskipun sudah lama berumahtangga, bayi saya diadopsi oleh  mereka. Keadaan saya yang tanpa suami dan sangat kekurangan, membuat saya tidak bisa punya pilihan lain, kecuali setuju dan menyerahkan bayi saya kepada mereka...Oh, kini sudah dua puluh tahun lebih...." Ibu itu menghapus airmatanya dengan sapu tangan.
"Kapan terakhir Ibu melihat atau bertemu dengan anak Ibu itu?"
"Ketika dia sudah berumur lima atau enam tahun. Waktu itu Pak Rahim dan Bu Tati menemui saya untuk pamitan. Karena tuntutan pekerjaan, mereka akan pindah ke kota ini...."