"Setelah itu Ibu tidak pernah bertemu lagi? Tidak? Hmm!"
"Mungkin Pak Rahim dan Bu Tati begitu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak sempat lagi mengunjungiku di desa itu."
"Tapi anak Ibu sudah menjadi anak mereka, karena Ibu telah rela memberikannya."
"Anak itu tetap darah-daging saya. Saya yang melahirkannya. Saya memberikannya kepada Pak Rahim dan Bu Tati, karena saya ketika itu begitu melaratnya, sementara suami sudah tak ada. Saya tak yakin bisa merawat dengan baik, oleh sebab itu saya bersedia menyerahkan bayi lelaki itu kepada mereka berdua...Sekarang tentu dia sudah dewasa dan gagah."
"Semoga suatu saat Ibu dapat berjumpa dengan putra Ibu itu. Saya turut berdoa."
"Cukup bisa bertemu saja, dan saya dapat melihatnya. Hati saya akan puas jika pertemuan yang saya rindukan itu bisa terjadi. Setelah itu, saya rela mati," ucap ibu itu, lalu menangis sesenggukan.
Keesokkan harinya saya menemui Pak RT Gandul Sugila di rumahnya. Pertemuan saya dengan ibu di kawasan pasar itu saya ceritakan.
"Oh, Bu Siswati itu. Dia memang penyayang kucing dan kerap memberi makan kucing-kucing di sana dengan ikan afkiran dari pedagang ikan," kata Ketua RT. "Bu Siswati datang dari desa yang jauh, dan langsung ketemu saya, dan minta perlindungan. Saya suruh dia menempati pondok kecil di lahan kosong itu."
"Bu Siswati sudah cerita tentang itu kepada saya."
"Kebetulan sekali kau hadir di sini. Kau bisa bantu saya bicara nanti. Yang punya lahan itu sebentar lagi akan datang kemari. Nah, saya ingin ada perhatiannya terhadap Bu Siswati yang selama ini saya suruh menunggui lahan kosong milik orang itu. Bagaimana caranya bisa membantu dia, memberinya pekerjaan yang pantas atau apalah," kata Pak RT lagi.
Benar. Tidak berapa lama sebuah mobil Innova berhenti di halaman rumah Gandul Sugila. Seorang bapak ke luar dari dalam mobil. Berkaca mata dan rambutnya yang tipis sudah memutih. Dia memberi salam dan tersenyum kepada kami yang sedang duduk di teras.