Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Pengarang

Menulis saja. 24.05.24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan yang Dirindukan

23 Agustus 2024   08:49 Diperbarui: 24 Agustus 2024   11:00 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Ilustrasi dokpri.


Oleh: Akhmadi Swadesa

SUDAH nyaris satu jam duduk menghadap komputer, namun belum satu kata pun dapat saya tuliskan. Mau mengarang tentang apa? Pikiran ini benar-benar buntu. Akhirnya, setelah menyeruput kopi sedikit, dan makan kue gemblong sebiji, saya langsung berdiri dari duduk dan berjalan ke luar meninggalkan kamar. Komputer di meja kerja tetap saya biarkan hidup dan layarnya mempertontonkan pemandangan pegunungan bersalju yang indah. Dia akan mati sendiri nanti, sesuai dengan settingan waktu yang sudah saya buat.

"Hendak ke mana, Bang?" tanya istri saya dari ruang tengah. Dia sedang membuat sulaman untuk hiasan dinding.

Baca juga: Ziarah Senja

"Pikiranku lagi buntu nih, Yang. Nggak tahu apa yang harus dikarang. Jadi mau jalan-jalan dulu ke luar. Siapa tahu setelahnya dapat inspirasi lagi," sahut saya, dan berjalan ke arah gudang di samping rumah.

Sepeda ontel yang antik saya keluarkan dari dalam gudang itu. Ini lagi malas aja pakai motor. Sejurus kemudian, saya sudah mengayuhnya di jalan raya yang lengang ke arah selatan. Saya bermaksud ke kawasan pasar tradisional untuk sekadar melihat-lihat. Kebetulan letaknya tidak terlampau jauh dari sini.

Sesampainya di kawasan pasar itu, saya lihat suasananya sudah sepi, maklum sekarang sudah pukul empat sore. Kios-kios sudah banyak yang tutup.
 
Saya memarkir sepeda ontel saya di halaman parkir kantor perwakilan Dinas Pasar yang pintu dan jendelanya juga sudah tertutup, yang artinya semua pegawainya entah pergi kemana. Ada pohon kecil di pojokkan. Ban belakang sepeda segera saya pasangi rantai besi yang berkait melingkar ke pohon itu, lalu ujung rantai bertaut dan saya gembok. Aman sudah. Maling berpikir dua kali untuk mengambilnya, karena butuh waktu untuk melepaskan gembok dan rantai itu. Ya, meskipun hanya sepeda ontel tua dan antik pula, tapi saya sangat sayang dengan barang milik saya itu.

Saya lantas berjalan santai memasuki kawasan pasar tradisional itu. Di salah satu sudut saya melihat seorang ibu tengah memberi makan sepuluhan ekor kucing liar yang berdiam di lingkungan pasar. Kira-kira umur ibu itu lima puluh atau mungkin lebih. Tapi masih terlihat kuat dan bugar. Dia menenteng sebuah panci ukuran sedang dengan sebuah centong plastik. Dengan centong itu dia menyendok makanan di dalam panci, dan membaginya setumpuk-setumpuk kecil di pojok-pojok dinding bangunan pasar. Para kucing menyerbu tumpukan makanan itu.

"Sedang apa, Ibu?" tanya saya berbasa-basi, dan sengaja berlagak tolol.

"Nanya kok sedang apa? Dasar bego! Masa situ nggak lihat apa yang saya kerjakan?" Ibu itu balik bertanya dengan ketus.

"Oh, Ibu sedang memberi makan kucing-kucing ini ya?" Saya tertawa, lagak tolol saya berhasil.

"Lha, iya. Siapa lagi yang kasih makan kucing-kucing ini kalau bukan kita," katanya. "Di pasar ini mereka makan sembarangan. Kasihan kan kalau kucing-kucing ini sampai jatuh sakit? Siapa yang mau mengurusnya?"

"Benar sekali itu, Bu. Ibu ini memang cerdas."

Saya lantas tanyakan dari bahan apa makanan yang dia bagikan untuk kucing-kucing itu. Ternyata si ibu bilang kalau makanan itu semua dari bahan ikan yang dia rebus dan beri bumbu penyedap. Tentu saja ikan adalah makanan pavorit para kucing. Apakah ikan-ikan itu dia beli di pasar ikan? Tidak. Ibu ini mendapatkan ikan-ikan yang sudah afkiran dari pedagang ikan. Di rumah ikan-ikan itu dia siangi dan bersihkan, lalu memasaknya.

"Sehari-hari Ibu ini kerjanya apa?" tanya saya lagi.

"Saya jualan di pasar ini, Mas Bro. Jual apa saja. Mblantik. Sayuran, pisang, atau apa sajalah. Saya beli barang jualannya di lantai dua pasar ini, lalu menjualnya di lantai dasar ini juga. Dagang kecil-kecilan aja, Mas Bro. Cukup-cukup untuk diri saya sendiri aja kok," jawab ibu itu, kali ini dia tersenyum.

"Asal Ibu dari mana ya?"

"Saya dari desa di sana, Mas Bro."

"Oh. Itu desa yang sangat jauh."

"Memang benar itu. Tapi saya datang ke kota ini untuk mencari anak saya. Kami sudah terpisah selama lebih dua puluh tahun."

"Apakah dia anak Ibu satu-satunya? Perempuan atau lelaki?"

"Benar, Mas Bro. Dia anak saya satu-satunya. Laki-laki."

"Bagaimana ceritanya, Bu, kok sampai terpisah?"

"Panjang ceritanya...Tapi kalau saya boleh tahu, kerjaan Mas Bro ini apa ya?"

"Saya pengarang, Bu."

"Oh, pengarang. Bagus itu. Bolehkah Mas Bro bikinkan cerita tentang saya? Sangat bagus jalan hidup saya kalau dibuat cerita. Saya sangat rindu sama anak saya itu. Pertemuan dengannya sangat saya rindukan. Oh, Tuhan, kapankah itu bisa terjadi."

Kedua mata ibu itu nampak berkilat-kilat oleh airmata yang ingin ke luar dari kelopaknya. Rasa sedih dan haru tidak dapat dia sembunyikan.

"Di kota ini, di mana Ibu tinggal?" usik saya lagi.

"Atas ijin Pak RT, Pak Gandul Sugila, saya dibolehkan menempati pondok kecil di tanah kosong itu. Di situlah selama dua tahun ini saya numpang tinggal," jawabnya.

Saya mengangguk-angguk. Ternyata ibu ini tinggal satu RT dengan saya. Tapi selama ini saya tidak pernah memperhatikan lahan kosong yang ibu ini sebutkan itu, karena letaknya memang jauh dari tempat tinggal saya. Adapun Pak RT Gandul Sugila, saya sangat mengenalnya, dan boleh dikata dia termasuk teman lama saya.

"Jadi begini cerita singkatnya, Mas Bro. Di desa itu hidup saya bersama suami sangat miskin. Suami saya kerjanya serabutan," ibu itu mulai membuka cerita masa lalunya, dan inilah yang memang saya tunggu-tunggu. Dia melanjutkan: "Saya sedang hamil tua ketika penyakit itu mewabah di mana-mana, termasuk di desa kami. Eh, suami saya justru yang terkena serangan virus yang berbahaya itu. Tiga hari dirawat di rumah sakit, tak bisa ditolong, dia mati. Saya sedih sekali, dan keadaan kami yang sangat miskin. Saya kemudian melahirkan di rumah sakit atas pertolongan Pak Rahim dan istrinya, Bu Tati. Merekalah yang menanggung semuanya. Dan karena mereka suami-istri yang tidak punya keturunan meskipun sudah lama berumahtangga, bayi saya diadopsi oleh   mereka. Keadaan saya yang tanpa suami dan sangat kekurangan, membuat saya tidak bisa punya pilihan lain, kecuali setuju dan menyerahkan bayi saya kepada mereka...Oh, kini sudah dua puluh tahun lebih...." Ibu itu menghapus airmatanya dengan sapu tangan.

"Kapan terakhir Ibu melihat atau bertemu dengan anak Ibu itu?"

"Ketika dia sudah berumur lima atau enam tahun. Waktu itu Pak Rahim dan Bu Tati menemui saya untuk pamitan. Karena tuntutan pekerjaan, mereka akan pindah ke kota ini...."

"Setelah itu Ibu tidak pernah bertemu lagi? Tidak? Hmm!"

"Mungkin Pak Rahim dan Bu Tati begitu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak sempat lagi mengunjungiku di desa itu."

"Tapi anak Ibu sudah menjadi anak mereka, karena Ibu telah rela memberikannya."

"Anak itu tetap darah-daging saya. Saya yang melahirkannya. Saya memberikannya kepada Pak Rahim dan Bu Tati, karena saya ketika itu begitu melaratnya, sementara suami sudah tak ada. Saya tak yakin bisa merawat dengan baik, oleh sebab itu saya bersedia menyerahkan bayi lelaki itu kepada mereka berdua...Sekarang tentu dia sudah dewasa dan gagah."

"Semoga suatu saat Ibu dapat berjumpa dengan putra Ibu itu. Saya turut berdoa."

"Cukup bisa bertemu saja, dan saya dapat melihatnya. Hati saya akan puas jika pertemuan yang saya rindukan itu bisa terjadi. Setelah itu, saya rela mati," ucap ibu itu, lalu menangis sesenggukan.

Keesokkan harinya saya menemui Pak RT Gandul Sugila di rumahnya. Pertemuan saya dengan ibu di kawasan pasar itu saya ceritakan.

"Oh, Bu Siswati itu. Dia memang penyayang kucing dan kerap memberi makan kucing-kucing di sana dengan ikan afkiran dari pedagang ikan," kata Ketua RT. "Bu Siswati datang dari desa yang jauh, dan langsung ketemu saya, dan minta perlindungan. Saya suruh dia menempati pondok kecil di lahan kosong itu."

"Bu Siswati sudah cerita tentang itu kepada saya."

"Kebetulan sekali kau hadir di sini. Kau bisa bantu saya bicara nanti. Yang punya lahan itu sebentar lagi akan datang kemari. Nah, saya ingin ada perhatiannya terhadap Bu Siswati yang selama ini saya suruh menunggui lahan kosong milik orang itu. Bagaimana caranya bisa membantu dia, memberinya pekerjaan yang pantas atau apalah," kata Pak RT lagi.

Benar. Tidak berapa lama sebuah mobil Innova berhenti di halaman rumah Gandul Sugila. Seorang bapak ke luar dari dalam mobil. Berkaca mata dan rambutnya yang tipis sudah memutih. Dia memberi salam dan tersenyum kepada kami yang sedang duduk di teras.

"Sendirian aja, Pak?" tanya Pak RT sambil berdiri menyambut tamunya.

"Ya. Hanya bersama sopir. Tapi istri saya sebentar lagi menyusul," jawab si bapak. "Sudah lama juga kami tidak kemari ya, Pak RT?"

Ternyata si bapak mengutarakan niatnya untuk menjual lahan kosong itu, dan dia minta kepada Gandul Sugila untuk turut juga mencarikan pembeli. Dia lantas mengajak kami untuk melihat-lihat tanah kosong miliknya itu. Kami segera diajak naik ke mobilnya, dan menuju tempat yang dimaksud.

Pak RT lalu menceritakan tentang Bu Siswati yang menunggu lahan kosong itu, dan berharap kehidupannya bisa dibantu. Si bapak mendengarkan dengan serius, mengangguk dan mengatakan siap membantu Bu Siswati.

Ketika kami sampai di tempat yang kami tuju, nampak Bu Siswati duduk di pintu pondok dengan pakaian rapi, menunggu. Dia memang sudah diberi tahu Pak RT bahwa hari ini si pemilik tanah kosong itu akan datang kemari untuk memeriksa tanahnya.
Bu Siswati segera berdiri melihat kedatangan kami.

"Bagaimana kabarnya, Bu Siswati? Baik. Ini perkenalkan, Bapak ini yang punya lahan kosong ini," kata Pak RT.

"Oh iya. Terima kasih, terima kasih saya sudah diperbolehkan tinggal di sini, Pak...."

"Bu Siswati? Bu Siswati ini, sepertinya...Dari desa sana kan?" Bapak itu menebak-nebak dan jidatnya berkerenyit. "Oh ya, saya tidak akan lupa!" Dia menghampiri Bu Siswati dengan cepat dan langsung menyalaminya dengan hangat. Dan sebelah tangannya menepuk-nepuk pundak Bu Siswati.

Saya dan Pak RT terkesima melihatnya. Dan bersamaan dengan itu sebuah mobil sedan warna merah hati berhenti di tepi jalan. Seorang wanita paruh baya yang juga berkaca mata turun dari mobil diikuti seorang lelaki mudah yang gagah.

"Nah, itu istri dan anak saya sudah datang," kata bapak itu. Lalu kembali kepada Bu Siswati yang sekarang sudah menangis sesenggukan.

"Oh, Pak Rahim dan Bu Tati...," bisik Bu Siswati lirih.

"Itu dia anakmu, Bu Siswati. Gagah kan? Kami sudah ceritakan tentang siapa dia sebenarnya, dan dia mau menerima semua yang telah terjadi. Jadi sudah cukup lama dia mengetahuinya. Bahkan, setahun lalu kami ke desa sana untuk menemuimu, tapi ternyata kamu sudah tidak ada lagi jejaknya. Orang-orang kampung yang kami tanyai, semua menjawab tidak tahu keberadaanmu," ucap Pak Rahim. "Arya, anakku, ini ibu kandungmu yang sebenarnya...."

Kejadian selanjutnya sangatlah mengharukan. Anak muda yang gagah itu, yang bernama Arya, memeluk ibu kandungnya dengan erat dan penuh rasa sayang. Bu Siswati terus menitikkan airmata sedih campur bahagia. Inilah pertemuan yang sangat dia rindukan.

Arya sambil terus memeluk Bu Siswati, ibu kandungnya, berkata kepada Pak Rahim dan Bu Tati.

"Papa dan Mama, tanah ini tidak usah dijual. Aku ingin buatkan rumah minimalis untuk Ibuku di sini," kata Arya kepada Pak Rahim dan Bu Tati.

"Terserahmu deh, Arya. Papa dan Mama rasa, itu memang lebih baik," ucap Bu Tati, tersenyum.

Pak Rahim mengangguk. Setuju. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun