"Lha, iya. Siapa lagi yang kasih makan kucing-kucing ini kalau bukan kita," katanya. "Di pasar ini mereka makan sembarangan. Kasihan kan kalau kucing-kucing ini sampai jatuh sakit? Siapa yang mau mengurusnya?"
"Benar sekali itu, Bu. Ibu ini memang cerdas."
Saya lantas tanyakan dari bahan apa makanan yang dia bagikan untuk kucing-kucing itu. Ternyata si ibu bilang kalau makanan itu semua dari bahan ikan yang dia rebus dan beri bumbu penyedap. Tentu saja ikan adalah makanan pavorit para kucing. Apakah ikan-ikan itu dia beli di pasar ikan? Tidak. Ibu ini mendapatkan ikan-ikan yang sudah afkiran dari pedagang ikan. Di rumah ikan-ikan itu dia siangi dan bersihkan, lalu memasaknya.
"Sehari-hari Ibu ini kerjanya apa?" tanya saya lagi.
"Saya jualan di pasar ini, Mas Bro. Jual apa saja. Mblantik. Sayuran, pisang, atau apa sajalah. Saya beli barang jualannya di lantai dua pasar ini, lalu menjualnya di lantai dasar ini juga. Dagang kecil-kecilan aja, Mas Bro. Cukup-cukup untuk diri saya sendiri aja kok," jawab ibu itu, kali ini dia tersenyum.
"Asal Ibu dari mana ya?"
"Saya dari desa di sana, Mas Bro."
"Oh. Itu desa yang sangat jauh."
"Memang benar itu. Tapi saya datang ke kota ini untuk mencari anak saya. Kami sudah terpisah selama lebih dua puluh tahun."
"Apakah dia anak Ibu satu-satunya? Perempuan atau lelaki?"
"Benar, Mas Bro. Dia anak saya satu-satunya. Laki-laki."