"Ah, si Bapak ini. Ngarang aja. Jangan sok tahu, ah!"
Namun seharian ini Pak Toha dan Bu Jamilah tidak bisa beraktivitas ke luar rumah, karena nyaris dari pagi hujan tidak berhenti-henti turun. Sekarang sudah masuk waktu sore dan malah menjelang senja, hujan masih saja turun meskipun kini hanya gerimis.
Pak Toha sedari tadi duduk saja di teras seorang diri. Pikirannya melayang terbang entah kemana, sambil memandangi rinai gerimis yang jatuh.
Bu Jamilah kemudian muncul dari dalam sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi panas dan sepiring singkong rebus yang juga masih hangat karena baru saja diangkat dari panci. Asap lembut mengepul-ngepul ke udara, mengoarkan aroma harum kopi dan singkong rebus yang empuk.
Romi dan Yuli berusia sepuh itu pun kemudian asyik bercakap-cakap tentang berbagai hal. Terutama tentang anak-anak mereka yang telah pergi jauh dan sibuk dengan keluarga masing-masing.
"Kita memang tidak bisa berharap anak-anak kita, selamanya hidup dan tinggal bersama kita. Memasuki masa remaja dan dewasa, kita harus sudah bersiap untuk mereka tinggalkan. Waktu  akan menyeretnya pada episode kehidupan yang lain. Dan kita, sebagai orangtuanya, mau tak mau, akan merasa kehilangan dan kesepian," ucap Pak Toha dengan suara lirih.
"Ya. Alangkah ramainya rumah ini ketika anak-anak masih di sini. Rasanya, jika waktu bisa diputar kembali, aku ingin mengulang lagi kebersamaan dengan anak-anak kita seperti dulu, dan itu indah sekali," timpal Bu Jamilah, kedua matanya berkaca-kaca.
"Itu tentu saja tidak mungkin terjadi, Bu. Semua ada waktunya. Waktu untuk bersama dan waktu untuk berpisah. Kehidupan meminta semua itu. Kita tidak bisa menolaknya. Hanya menerima. Semua yang telah terjadi hanya akan menjadi kenangan...Dan kesepian ini...." Pak Toha kedua matanya juga berkaca-kaca usai mengucapkan kata-kata itu.
Sekarang hari telah berangsur senja. Tapi cuaca sangat cerah. Tidak ada hujan atau gerimis. Hanya saja suasana di kawasan pemakaman umum itu alangkah sunyinya.
Pritem, Sardi dan Anisah masih berdiri mematung memandangi dua buah batu nisan di hadapan mereka. Baru saja Pritem memimpin membacakan doa-doa. Itulah kubur kedua orangtua mereka. Pak Toha dan Bu Jamilah. Pak Toha lebih dulu wafat karena sakit tiga tahun lalu, dan setahun setelah itu Bu Jamilah menyusul, juga meninggal dunia karena sakit, di samping, tentu saja, faktor usia mereka yang juga memang semakin senja.
Pritem, Sardi dan Anisah, sepakat untuk melakukan ziarah yang kesekian kalinya ke makam kedua orangtua mereka, tanpa mengikutsertakan istri-istri dan suami, juga tanpa anak-anak. Hanya mereka bertiga saudara kandung.