Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Pengarang

Menulis saja. 24.05.24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ziarah Senja

20 Agustus 2024   06:46 Diperbarui: 20 Agustus 2024   13:31 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Enoch111

Oleh: Akhmadi Swadesa

RUMAH sederhana namun besar yang terbuat dari kayu atau papan pilihan itu, terasa amatlah besarnya ketika yang menghuni hanya tinggal sepasang suami-istri yang telah berusia lanjut. Pak Toha, berumur enam puluh tahun lebih, dan Bu Jamilah yang kini berusia menjelang lima puluh tahun.

Ke tiga anak kandung mereka; Pritem, Sardi dan Anisah, semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di kota-kota yang jauh. Anisah malah di luar negeri, karena bersuamikan orang asing.

Yang pasti, hanya satu kali saja dalam setahun mereka bisa berkumpul, yaitu pada saat lebaran Idhul Fitri. Ketiga anak-anak Pak Toha dan Bu Jamilah pada saat itu datang memboyong anak-anak mereka, beserta istri-istri dan suami datang mengunjungi orangtua atau mertua mereka. Menjadi ramailah rumah itu, penuh canda-tawa para anak serta mantu dan cucu-cucu yang lucu-lucu dengan beragam tingkah-polahnya.

Sebelum Pritem dan Sardi berumahtangga, meskipun mereka sudah tinggal dan bekerja di kota-kota yang jauh itu, namun pada waktu-waktu tertentu, atau mereka sedang cuti, dalam beberapa bulan bergantian saja Pritem dan Sardi pulang menjenguk kedua orangtuanya. Namun, setelah mereka menikah dan memiliki anak, hal itu tidak dapat mereka lakukan lagi, kecuali pada saat hari lebaran saja setahun sekali. Berbagai kesibukan yang mereka geluti sebagai kepala keluarga, membuat mereka tidak dapat lagi sering-sering pulang kampung menemui bapak dan ibunya.

Demikian pula dengan si bungsu Anisah. Gadis itu memang, boleh dikata, yang paling lama tinggal bersama kedua orangtuanya. Ketika kedua kakaknya, Pritem dan Sardi, sudah berangkat ke kota lain untuk bekerja meraih peruntungan, Anisah dari kecil hingga menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Tinggi, lantas bekerja di perusahaan milik orang asing dan kemudian mendapatkan jodoh pula di situ --  saat itu dia masih berkumpul serumah bersama Pak Toha dan Bu Jamilah, bapak dan ibunya. Anisah baru diboyong suaminya ke luar negeri setelah mereka memiliki seorang anak lelaki berumur setahun ketika itu.

Setelah semua anak-anaknya pergi meninggalkannya, paripurnalah sudah rasa kesepian yang melingkupi Pak Toha dan Bu Jamilah. Agar hari-hari yang dilewati tidak terasa suntuk dan membosankan, pasangan yang telah beranjak senja itu, menyibukkan diri dengan bercocok tanam di halaman di sekitar rumah. Berbagai jenis tumbuhan yang berguna mereka tanam, hasilnya bisa mereka manfaatkan sendiri.

Kegiatan rutin yang lain selain berkebun, yang kerap dilakukan Pak Toha dan Bu Jamilah, adalah memberi makan kucing-kucing liar yang mereka berdua temui di mana saja, terutama di taman-taman kota atau di kawasan pasar-pasar tradisional.

Baca juga: Jodoh yang Manis

Ada kebahagian tersendiri yang dirasakan Pak Toha dan istrinya, Bu Jamilah, saat memberi makan kucing-kucing liar itu, yang nampak sangat kelaparan dan rakus, sehingga makanan yang diberikan sebentar saja habis dilahab tanpa sisa.

"Binatang juga sama seperti manusia, Pak. Kalau sedang kelaparan, makannya lahap sekali," kata Bu Jamilah beberapa waktu lalu.

"Memang. Tapi manusia bisa lebih rakus lagi dari binatang, Bu. Manusia bisa makan banyak proyek. Apa saja bisa dimakannya, seperti semen, tiang listrik, dan sebagainya," sahut Pak Toha sambil tertawa.

"Ah, si Bapak ini. Ngarang aja. Jangan sok tahu, ah!"

Namun seharian ini Pak Toha dan Bu Jamilah tidak bisa beraktivitas ke luar rumah, karena nyaris dari pagi hujan tidak berhenti-henti turun. Sekarang sudah masuk waktu sore dan malah menjelang senja, hujan masih saja turun meskipun kini hanya gerimis.

Pak Toha sedari tadi duduk saja di teras seorang diri. Pikirannya melayang terbang entah kemana, sambil memandangi rinai gerimis yang jatuh.

Bu Jamilah kemudian muncul dari dalam sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi panas dan sepiring singkong rebus yang juga masih hangat karena baru saja diangkat dari panci. Asap lembut mengepul-ngepul ke udara, mengoarkan aroma harum kopi dan singkong rebus yang empuk.

Romi dan Yuli berusia sepuh itu pun kemudian asyik bercakap-cakap tentang berbagai hal. Terutama tentang anak-anak mereka yang telah pergi jauh dan sibuk dengan keluarga masing-masing.

"Kita memang tidak bisa berharap anak-anak kita, selamanya hidup dan tinggal bersama kita. Memasuki masa remaja dan dewasa, kita harus sudah bersiap untuk mereka tinggalkan. Waktu  akan menyeretnya pada episode kehidupan yang lain. Dan kita, sebagai orangtuanya, mau tak mau, akan merasa kehilangan dan kesepian," ucap Pak Toha dengan suara lirih.

"Ya. Alangkah ramainya rumah ini ketika anak-anak masih di sini. Rasanya, jika waktu bisa diputar kembali, aku ingin mengulang lagi kebersamaan dengan anak-anak kita seperti dulu, dan itu indah sekali," timpal Bu Jamilah, kedua matanya berkaca-kaca.

"Itu tentu saja tidak mungkin terjadi, Bu. Semua ada waktunya. Waktu untuk bersama dan waktu untuk berpisah. Kehidupan meminta semua itu. Kita tidak bisa menolaknya. Hanya menerima. Semua yang telah terjadi hanya akan menjadi kenangan...Dan kesepian ini...." Pak Toha kedua matanya juga berkaca-kaca usai mengucapkan kata-kata itu.

Sekarang hari telah berangsur senja. Tapi cuaca sangat cerah. Tidak ada hujan atau gerimis. Hanya saja suasana di kawasan pemakaman umum itu alangkah sunyinya.

Pritem, Sardi dan Anisah masih berdiri mematung memandangi dua buah batu nisan di hadapan mereka. Baru saja Pritem memimpin membacakan doa-doa. Itulah kubur kedua orangtua mereka. Pak Toha dan Bu Jamilah. Pak Toha lebih dulu wafat karena sakit tiga tahun lalu, dan setahun setelah itu Bu Jamilah menyusul, juga meninggal dunia karena sakit, di samping, tentu saja, faktor usia mereka yang juga memang semakin senja.

Pritem, Sardi dan Anisah, sepakat untuk melakukan ziarah yang kesekian kalinya ke makam kedua orangtua mereka, tanpa mengikutsertakan istri-istri dan suami, juga tanpa anak-anak. Hanya mereka bertiga saudara kandung.

"Aku bisa membayangkan, bagaimana Bapak dan Ibu, sangat merasa kesepian ketika kita satu per satu meninggalkannya," kata Anisah.

"Tentu saja Bapak dan Ibu kesepian. Di rumah yang sebesar itu, hanya tinggal mereka berdua. Mereka hanya bisa mengenang saat-saat bersama dengan kita dulu. Kebersamaan yang manis antara anak-anak dan kedua orangtua," tukas Sardi.

"Kita juga nanti akan mengalaminya. Anak-anak kita tumbuh besar dan dewasa. Menikah dan berkeluarga. Lantas, mereka juga akan meninggalkan kita," sambung Pritem.

Anisah, Sardi dan Pritem sama-sama tersenyum. Getir. Terbayang di pelupuk mata mereka, rasa kesepian yang menggigit itu.

Senja semakin menua. Pritem mengajak kedua adiknya untuk segera meninggalkan kawasan perkuburan itu. Acara ziarah ke makam kedua orangtua mereka, telah selesai. Yang  tertinggal dan senantiasa menggeliat dalam ingatan, hanyalah kenangan! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun