***
   Hari sudah berangsur sore.
   Burhan dan istrinya sedang duduk di beranda rumah kolong mereka yang tinggi di pinggir hutan itu. Mereka berdua sedang membicarakan tumbuhan rotan di hutan itu yang sudah mulai tua dan siap tebang-panen.
   "Beberapa hari ini aku hanya akan mencari rotan saja, karena kemarin kulihat rotan-rotan itu sudah banyak yang tua," kata Burhan, sambil tangannya mencomot sebutir singkong goreng yang masih hangat dari atas meja, yang barusan disuguhkan istrinya bersama segelas kopi panas.
   "Kudengar-dengar harga rotan sekarang naik, Pak," kata Jarodeh, istrinya.
   "Ya, memang naik, aku tahu sendiri dari Haji Gondel, saudagar rotan, yang sering membeli rotan dari kita juga."
   "Kalau cukup uangnya hasil dari jual rotan nanti, kita beli antena parabola, Pak, biar tivi kita bisa nangkap banyak siaran. Aku suka nonton sinetron Indonesia dan juga film India."
   "Boleh juga. Tapi sayang, listrik kita di sini nyalanya hanya sampai jam sepuluh malam, setelah itu padam dan kita tidak bisa lagi nonton tivi kalau sudah begitu...."
   Burhan dan Jarodeh terkejut. Terdengar suara teriakan seorang anak yang keras dari belakang rumah. Teriakan itu bernada riang-gembira.
   "Abah, Mama, aku dapat anak orang utan!" Itu suara teriakan si Nanang, anak bungsu mereka.
   Burhan langsung berdiri, berjalan ke pinggir beranda diikuti oleh istrinya, Jarodeh. Suami-istri itu menyaksikan anaknya sedang menggendong anak orang utan yang kepalanya juga gundul plontos seperti Nanang.