Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Pengarang

Menulis saja. 24.05.24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Hutan di Belakang Rumah

27 Juli 2024   17:03 Diperbarui: 7 Agustus 2024   08:37 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Ilustrasi sumber: pixabay.com

Oleh: Akhmadi Swadesa
   
     ORANG UTAN jantan yang wajahnya hitam dan pipinya bergelambir itu, duduk di dahan pohon manggis yang tinggi. Dia sedang asyik menikmati beberapa buah manggis, ketika dilihatnya di bawah sana, nampak istrinya, yaitu orang utan betina, setengah berlari menuju ke arahnya sambil menangis dan menutup wajahnya dengan sebelah tangan.


     "Lho, mana anak kita!?" tanya si jantan, setengah berteriak kepada istrinya.


     Orang utan betina itu dengan gesit menaiki pohon manggis yang besar itu, dan duduk di samping orang utan jantan, yaitu suaminya sendiri.


     "Aku tadi sedang memancat pohon langsat yang berada di sebelah sana bersama anak kita, ketika aku melompati dahan yang sarat buah sambil menggendong si kecil, ada ranting kecil melenting memukul tanganku. Gendonganku terlepas, anak kita jatuh ke tanah. Celakanya, di bawah pohon ada anak manusia yang sedang mencari buah-buahan di hutan ini, itu tuh anak kecil yang kepalanya gundul plontos, yang rumahnya di pinggir hutan ini. Nah, dia melihat anak kita jatuh ke tanah, dia langsung mengejar anak kita dan menangkapnya. Dia gendong anak kita di dadanya, dan segera berlari kencang menuju pulang," cerita orang utan betina itu, lantas meneruskan tangisnya, seraya memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan.

Baca juga: Jodoh yang Manis


     "Huh, kamu sih. Blo'on amat. Anak sendiri kok bisa lepas dari gendongan. Orang utan macam apa kamu? Bikin malu aja!"


     "Lantas, apa yang harus kita lakukan, Bang?"


     "Ya, harus kita rebut lagi anak kita."


     "Aku khawatir anak kita disembelih dan dimasak pakai bumbu Bali yang pedas, dan manusia-manusia itu lahap memakannya."

Baca juga: Kesal


     Orang utan jantan mendengus jengkel. Dia petik lagi sebutir buah manggis yang masak ranum, mengupasnya, lalu memakannya dengan nikmat.


     "Hari sudah mulai malam ini, besok saja kita susul anak kita, ke rumah manusia yang tinggal di pinggir hutan itu," kata si jantan, sambil memonyong-monyongkan mulutnya yang berbibir dower itu.


     "Oke deh kalau begitu. Aku juga mau istirahat. Tapi sekarang makan buah manggis dulu aaah," sahut si betina, dan tangannya yang panjang segera bergerak memetik beberapa buah manggis dari pohonnya.
     Begitulah kira-kira percakapan pasangan orang utan itu.


     ***


     Hari sudah berangsur sore.


     Burhan dan istrinya sedang duduk di beranda rumah kolong mereka yang tinggi di pinggir hutan itu. Mereka berdua sedang membicarakan tumbuhan rotan di hutan itu yang sudah mulai tua dan siap tebang-panen.


     "Beberapa hari ini aku hanya akan mencari rotan saja, karena kemarin kulihat rotan-rotan itu sudah banyak yang tua," kata Burhan, sambil tangannya mencomot sebutir singkong goreng yang masih hangat dari atas meja, yang barusan disuguhkan istrinya bersama segelas kopi panas.


     "Kudengar-dengar harga rotan sekarang naik, Pak," kata Jarodeh, istrinya.


     "Ya, memang naik, aku tahu sendiri dari Haji Gondel, saudagar rotan, yang sering membeli rotan dari kita juga."


     "Kalau cukup uangnya hasil dari jual rotan nanti, kita beli antena parabola, Pak, biar tivi kita bisa nangkap banyak siaran. Aku suka nonton sinetron Indonesia dan juga film India."


      "Boleh juga. Tapi sayang, listrik kita di sini nyalanya hanya sampai jam sepuluh malam, setelah itu padam dan kita tidak bisa lagi nonton tivi kalau sudah begitu...."


      Burhan dan Jarodeh terkejut. Terdengar suara teriakan seorang anak yang keras dari belakang rumah. Teriakan itu bernada riang-gembira.


     "Abah, Mama, aku dapat anak orang utan!" Itu suara teriakan si Nanang, anak bungsu mereka.


     Burhan langsung berdiri, berjalan ke pinggir beranda diikuti oleh istrinya, Jarodeh. Suami-istri itu menyaksikan anaknya sedang menggendong anak orang utan yang kepalanya juga gundul plontos seperti Nanang.


     "Waduh, kenapa kau ambil anak orang utan itu, Nang! Dia masih kecil sekali, masih menetek sama ibunya. Kasihan," ucap Burhan.


     "Kedua orangtuanya pasti marah, dan kau akan ditunggunya di hutan," timpal Jarodeh.


     "Aku ingin memeliharanya," kata Nanang.


     "Tidak usah. Bikin repot saja. Dulu kau juga memelihara anak monyet, tidak lama anak monyet itu mati digigit semut merah. Abah lebih senang anak orang utan itu kita kembalikan lagi ke hutan, besok, biar dia dipelihara oleh kedua orangtuanya," tukas Burhan.


     "Ya, saran abahmu itu baik kau turuti. Lagi pula orang utan itu sekarang ini merupakan binatang yang harus dilindungi. Kita bisa berurusan dengan petugas kalau ketahuan memeliharanya," tambah Jarodeh, yang memang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar di desa kecamatan itu.


     Nanang memeluk dengan sayang anak orang utan itu. Bocah lelaki itu memang penyayang binatang, binatang apa saja. Di rumah kolong mereka yang tinggi itu, Nanang memelihara beberapa ekor kuncing kampung dan kucing hutan yang manis-manis. Naluri binatang anak orang utan itu pun dapat merasakan, bahwa dia dalam keadaan aman-aman saja karena dia disayang oleh makhluk yang bernama manusia itu.
     "Malam ini biarlah anak orang utan itu menginap di sini. Beri dia tempat yang nyaman, kasih dia minum susu dan makan pisang," kata Burhan lagi. "Aku tahu dan mengenal dengan baik bapak-ibunya, mereka kerap kulihat berkeliaran dan bermain di pohonan buah-buahan di hutan belakang rumah kita ini. Besok kita antar kembali anaknya ini kepada mereka."
     Meskipun merasa amat sayang dengan anak orang utan itu, dan rasanya tak mau berpisah, tapi Nanang sadar apa yang dikatakan kedua orangtuanya memang benar. Dia harus turuti. Anak orang utan itu harus dikembalikan kepada induknya.


     Sekitar pagi pukul tujuh keesokkan harinya, keluarga pak Burhan dikejutkan oleh beberapa kali bunyi lemparan di atap seng rumah mereka. Ketika Jarodeh membuka jendela, dia menampak beberapa buah asam putar bergeletakkan di tanah.


     "Siapa yang melempari atap rumah kita dengan buah asam putar yang masih mentah itu?" tanya Jarodeh kepada Burhan, suaminya. 

     Asam putar adalah buah yang mungkin masih termasuk keluarga buah mangga, bentuknya bulat dan besarnya sebesar genggaman tangan orang dewasa. Cara memakannya lebih dulu dengan cara disayat melingkar pada bagian tengahnya, lantas kedua sisinya diputar secara berlawanan sehingga lepas dan biji buah tertinggal pada salah satu sisi, setelah itu barulah kulitnya kita kupas sebagaimana mengupas buah mangga, dan siap di makan. Jika  asam putar sudah masak, warna kulitnya hijau kekuningan atau kuning kehijauan, dan baunya harum. Isi atau dagingnya yang kuning, rasanya asam-asam manis atau manis-manis asam. Asam putar ini banyak tumbuh di hutan belantara Borneo.


     "Siapa, ayo? Kau bisa menebaknya?" tanya Burhan tertawa.


     "Siapa yang melempar, Abah?" tanya Nanang pula, yang tiba-tiba nongol.


     "Mari ikuti Abah," ajak Burhan sambil berjalan ke arah jendela di bagian belakang rumah yang menghadap ke hutan.


     Burhan segera membuka kunci selot daun jendela, dan menyibakkan daun jendela itu lebar-lebar sehingga nampaklah pepohonan di belakang rumah. Di atas pohon asam putar yang berbuah lebat namun masih muda dan kecil-kecil, nampaklah sepasang orang utan bergelayutan sambil terus mengeluarkan suara gerutuan mirip orang marah. Orang utan itu terdiri dari jantan dan betina. Binatang lucu itu memandang ke arah Burhan, Jarodeh dan Nanang, seolah bertanya: "Di mana kalian sembunyikan anak kami? Kembalikan dia kepada kami!" Mulut mereka monyong-monyongkan. Mereka-lah yang tadi melempari atap rumah itu dengan asam putar muda.


     "Nah, sudah tahu kan, siapa yang melempari atap rumah kita," ucap Burhan tertawa. "Orang utan itu tahu kau yang mengambil anaknya, dan mereka minta dikembalikan," lanjut Burhan, menatap kepada Nanang, anaknya.


     "Jadi harus kita kembalikan sekarang anak orang utan itu, Bah?" tanya Nanang.


    "Ya, sekarang. Harus sekarang."


     Burhan, Jarodeh, Nanang turun dari rumah kolong yang tinggi. Lantas menjemput anak orang utan dari kandangnya di samping rumah. Nanang menggendong anak orang utan itu sambil membekali sesisir kecil pisang moli yang masak ranum. Mereka lalu berjalan ke belakang rumah.


     Dari atas pohon asam putar terdengar suara riuh dari induk orang utan. Mereka nampak girang menyaksikan anak mereka dalam gendongan si Nanang.


     "Ayo, Nang. Segera kau lepaskan anak orang utan itu. Dia tahu, yang di atas pohon asam putar adalah bapak dan ibunya," kata Burhan, tersenyum.


     "Daaahh!" teriak Nanang dan Jarodeh, mamanya, berbarengan seraya melambaikan tangan, ketika melihat anak orang utan itu menguik pelan, lantas berlari cepat sambil mendekap sesisir kecil pisang moli ke tubuhnya.


      Nanang, beserta abah dan mamanya bertepuk tangan sambil tertawa-tawa, manakala menyaksikan anak orang utan itu sudah berada di atas dahan pohon asam putar, dan didekap dengan sayang oleh induknya. Dan sesaat kemudian, ketiga orang utan itu lenyap dari pandangan mata karena sudah kembali masuk ke dalam hutan belantara yang lebat, sunyi dan damai. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun