Â
Oleh: Akhmadi Swadesa
   Perumahan Pemda Bogor itu sebagian sudah ada yang selesai, dan ditempati oleh pemiliknya. Namun sebagian lagi banyak yang masih kosong meski secara fisik bangunannya sudah selesai dan siap dihuni. Karena aku senang berjalan-jalan di sekitar perumahan itu, kalau sedang tidak bekerja jadi kuli bangunan, maka banyak penghuni di situ mengenalku. Termasuk pakde Broto dan bude Sulis yang menempati sebuah rumah tipe 36 bersama anak dan mantunya.
   Pakde Broto, umurnya sudah enam puluh tahun, yang pensiunan tentara itu, senang berkebun apa saja. Kalau ada rumah yang belum berpenghuni, biasanya pakde Broto membersihkan halaman rumah tersebut, baik diketahui pemiliknya atau tidak, kemudian menanaminya dengan cabe, terong, tomat, pepaya dan singkong. Hasil dari tanaman itu bisa dimanfaatkan sendiri.
   Pemilik rumah yang kebetulan datang menengok rumahnya, entah seminggu atau sebulan sekali bahkan hingga tahunan, sangat senang lingkungan rumahnya yang kosong tak berpenghuni itu, dibersihkan dan ditanami oleh pakde Broto.
   Pakde Broto juga sudah mengenalku dan kerap aku diundang ke rumahnya untuk ngobrol-ngobrol.
   "Kamu ini sepertinya lain sendiri, Di. Nggak sama dengan kuli-kuli bangunan yang lain," kata pakde Broto suatu hari.
   "Huh. Lain bagaimana, Pakde?" tanyaku.
   "Lha iya. Penampilanmu itu lho, bersih, dan wajahmu ganteng begitu."
   "Pakde ini. Emang nggak ada kuli bangunan yang bersih dan ganteng? Kalau lagi nggak kerja nguli, tentu saja saya kelihatan bersih, Pakde."