Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Menulis Fiksi

Menulis saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Nyanyian Tanah Huma (Bagian 3)

26 Juni 2024   07:30 Diperbarui: 26 Juni 2024   10:38 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   

Oleh: Akhmadi Swadesa

     Sementara itu angin berdesir-desir di batang-batang padi yang baru setinggi lutut orang dewasa dan juga di pepohonan berdaun lebat di sekitar tanah huma itu. Desir angin itu seperti merangkai nyanyian melankolis di hati Sardi. Dia merasa sang kekasih akan berpaling darinya.

     "Jangan terlalu serius dengan persoalan ini, Sar. Nanti pikiran kita terganggu, dan kita tidak bisa konsentrasi ketika menghadapi soal-soal ujian akhir nanti," kata Yuli mencoba mengalihkan tema perbincangan mereka. Kebetulan, memang bulan depan baik Sardi maupun Yuli sudah akan menempuh ujian akhir di SMA masing-masing. Mereka berdua akan segera lulus. "Setelah lulus SMA kamu mau melanjutkan kuliah jurusan apa, Sar?"

     "Belum tahu sih. Nanti aja dipikir."

     "Aku ingin kuliah di kedokteran, agar bisa nyuntik orang lewat. Nzus, nzus, nzus," ucap Yuli tertawa seraya jari telunjuknya menusuk-nusuk ke pundak Sardi.

     Mau tak mau Sardi juga ikut tertawa. Tapi jari tangan Yuli yang bagus dan menggemaskan itu langsung dia tangkap dan remas. Lantas jari telunjuknya yang putih dan mungil itu Sardi gigit perlahan. Yuli pura-pura kesakitan dan menjerit.

     Yuli menarik tangannya dari genggaman Sardi dan bergegas menuruni tangga pondok yang tinggi itu. Sardi memperingatkan agar Yuli berhati-hati, jangan sampai terjatuh.

     Ketika sudah berada di bawah, Yuli mendongak menatap Sardi yang masih duduk dengan kaki menjuntai di pinggir lantai pondok itu.

     "Sudah sore, pulang yuk?" ajak Yuli.

     "Ntar dulu. Aku mau kamu jawab pertanyaanku. Siapa yang harus kamu pilih antara aku dengan teman cowokmu itu," kata Sardi tanpa mau menyebut nama Alfito.

     "Tidak, Sar. Aku tidak mau menjawab pertanyaanmu itu. Belum ada yang harus kupilih. Selama belum ada tenda biru berdiri, kamu dan Alfito masih bebas berteman denganku," cetus Yuli, tertawa. "Bukankah tadi sudah kukatakan, aku cinta dan sayang sama kamu, juga dengan Alfito," sambung gadis itu.

     "Yuli...."

     Gadis itu seketika sikapnya berubah, kali ini nampak bersungguh-sungguh. Nanap ditatapnya Sardi.

     "Ada gadis yang jauh lebih cantik dan lebih baik hatinya daripada aku, Sardi. Sebenarnya dialah yang akan menjadi jodohmu nanti," kata Yuli, tiba-tiba serius. 

"Aku sangat kagum dengan kecantikannya, juga kelembutan hatinya. Gadis itu begitu dekat denganmu."

     "Siapa yang kamu bicarakan itu, Yuli? Gadis yang mana?" Sardi mengerenyitkan jidatnya. Heran.

      Yuli kembali menatap lurus ke mata Sardi. Cowok itu segera turun dari pondok. Berdiri tegak di depan Yuli dan membalas tatapannya. Dipegangnya kedua pundak Yuli yang bagus itu.

     "Siapa? Siapa gadis yang kamu maksud itu?"

     "Dia orang yang sangat dekat denganmu."

     "Siapa?"

     "Anisah!"

     Setelah menyebut nama itu, Yuli segera membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan Sardi.

     "Anisah...! Anisah siapa, Yuli?"

      Yuli tidak menjawab. Tapi dia berhenti sebentar dan menoleh sekali lagi ke arah Sardi. Dia tersenyum manis, dilambaikannya kedua tangannya. Lalu, kembali berlari pulang, menyusuri jalan setapak di tengah huma itu. Meninggalkan Sardi yang masih berdiri kaku dengan perasaan jengkel dan penuh tanda tanya....

     Demikianlah. Sampai di situ Sardi sejenak menarik napas panjang, berhenti menceritakan peristiwa yang telah lewat beberapa tahun lalu itu. Dia tersenyum menatap Yuli, Alfito, dan Nisah atau Anisah.

     Pada saat-saat ada hari libur, biasanya memang mereka saling mengunjungi. Persahabatan itu tidak pernah putus. Meskipun Yuli telah jadi milik orang lain, yaitu Alfito.

     Kali ini, Sardi dan Nisah bersama putri mereka, Sania, yang datang berkunjung ke rumah Alfito dan Yuli, di kota kabupaten.

     "Boleh aku minum dulu, Yuli-Alfito?" tanya Sardi, seraya meraih gelas kopi dari atas meja.

     "Minumlah dulu, Sar. Ceritanya panjang juga. Tapi ini cerita nyata tentang kita berempat lho," cetus Alfito pula. "Lho, kemana perginya anak-anak kita, Fikal dan Sania?" Alfito menatap bergantian Yuli dan Nisah.

     "Itu, mereka sedang bermain di halaman," sahut Yuli.

     Di halaman rumah Alfito yang luas itu, nampak dua orang bocah kecil, laki dan perempuan, sedang bermain mengumpulkan daun-daun berwarna kuning yang berjatuhan dari pohonnya karena tertiup angin. Ramai celoteh kedua bocah itu.

     Bocah lelaki bernama Fikal, adalah putra dari suami-istri Alfito dan Yuli. Sedang bocah perempuan yang bernama Sania, adalah putri dari suami-istri Sardi dan Anisah atau Nisah.

     "Mereka berdua kalau sudah ketemu sangat kompak. Asyik benar bermainnya," timpal Nisah. Tertawa.

     "Tak terasa ya, Sah. Fikal anakku umurnya sudah hampir empat tahun. Kalau Sania?" tanya Yuli kepada Nisah.

     "Sania baru tiga tahun jalan," sahut Nisah.

     "Bagaimana, dilanjutkan nggak ceritanya, Sardi?" tanya Alfito, tertawa.

     Yang menjawab justru Nisah: "Sudah sore ini, ntar kami pulang kemalaman sampai rumah."

     "Jarak kota kabupaten ke kota kecamatan nggak jauh-jauh amat kok, hanya kurang lebih dua puluh kilo. Lagian pake mobil ini," timpal Yuli sambil menepuk paha Nisah.

     "Iya. Tapi kami memang harus pamit pulang sekarang, karena malam nanti aku ada rapat di rumah pak Camat," kata Sardi, menatap kepada istrinya, Nisah, dan mengangguk.

     "Oh, begitu. Baiklah, Sar. Padahal aku masih sangat penasaran dengan ceritamu itu. Maksudku, bagaimana akhirnya kau rela melepaskan Yuli untukku, dan akhirnya kau menikah dengan Nisah yang merupakan adikmu sendiri," ucap Alfito.

     "Adikku yang sangat kusayang lho," sahut Sardi. Dan semua tertawa.

     "Nia, ayo, kita pulang!" teriak Nisah memanggil putrinya, Sania. Kepada Fikal dia berkata: "Fikal sayang, Om dan Tante pamit pulang ya? Nanti ajak papa dan mamamu main ke rumah Nia ya? Daaah!"

     Sejurus kemudian mobil Agya warna biru yang dikemudikan Sardi, bersama Nisah dan Sania di dalamnya, meluncur meninggalkan rumah Alfito dan Yuli.

     Perkawinan Alfito dan Yuli dilaksanakan secara bersama-sama dengan perkawinan Sardi dan Nisah. Dilaksanakan di Balai Desa kota kecamatan. Dua pasang pengantin bersanding dalam waktu yang sama. Acaranya sangat meriah, dihibur oleh sebuah grup musik dari kota kabupaten.

     Tidak saja pasangan Alfito dan Yuli nampak bahagia ketika itu, tapi juga pasangan Sardi dan Nisah juga terlihat sangat berbahagia. Senyuman manis tak pernah lepas dari kedua pasangan pengantin itu, saat menyambut kedatangan para undangan yang silih berganti.

     Namun tidak sedikit para tamu undangan itu menjadi heran, menyaksikan pasangan Sardi dan Nisah. Bukankah selama ini yang kita tahu, bahwa Sardi dan Anisah atau Nisah itu kakak-beradik? tanya mereka. Bagaimana mungkin mereka berdua bisa menjadi suami-istri?

     "Perkawinan sedarah seperti itu sangat berbahaya," ucap seseorang.

     "Di sebuah desa di Inggris, pernah terjadi perkawinan semacam itu. Mereka beberapa orang saudara kandung yang tinggal dalam sebuah rumah besar, dan terjadilah perkawinan antara mereka. Tapi keturunan mereka kondisinya cacat semua," sambung yang lain.

     "Oh ya? Dari mana kau tahu?"

     "Dari google."

     "Hhuh!"

     Sangking penasarannya, salah seorang bapak tamu undangan, sengaja mendekati pak Gosai dan bu Jalimah, disela-sela kesibukan dalam pesta perkawinan itu.

     "Maaf, Pak Gosai dan Bu Jalimah. Saya dengar-dengar anak Bapak dan Ibu si Sardi dan Nisah ini adalah kakak-beradik? Benar?" tanyanya.

     "Benar sekali," sahut pak Gosai.

     "Mereka memang anak-anak kami," tambah bu Jalimah.

     "Waduh, bagaimana ini. Perkawinan sedarah itu sebenarnya gak boleh, Pak-Bu."

     "Ya, mau bagaimana lagi, mereka sudah saling cinta sih. Jadi kita sebagai orangtua ya mendukung aja," kata pak Gosai sambil tertawa.

     "Kita hanya bisa memberikan doa, semoga cinta dan rumahtangga mereka langgeng adanya sampai akhir hayat. Menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Aaamiin," lanjut bu Jalimah.

     Si bapak yang usil dan repot sendiri itu,  menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar dia tidak habis pikir dengan kenyataan itu. Apakah ini tanda-tanda dunia sudah mau kiamat, pikirnya sambil berlalu meninggalkan pak Gosai dan bu Jalimah yang masih juga tertawa-tawa.

     Pasangan Sardi dan Anisah memang sedikit menimbulkan rasa penasaran orang-orang. Kok bisa kakak-beradik jadi suami istri? Dan mengapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun