Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Pengarang

Menulis saja. 24.05.24

Selanjutnya

Tutup

Horor

Tentang Dua Orang Pemulung

1 Juni 2024   07:33 Diperbarui: 7 Juli 2024   18:32 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Ilustrasi sumber: Pixabay.com

Oleh: Akhmadi Swadesa

Pemulung Pertama

TIBA-TIBA saja hujan turun. Pagi pukul delapan. Pemulung muda itu terkejut. Tanpa banyak pikir dia segera meninggalkan gundukkan sampah itu, dengan keranjang besar dipunggung dan ganco di tangan, berlari mencari perlindungan. Dia menemukakannya di bawah pohon mangga besar yang berdaun amat lebat dan rindang. Di situ hujan tak dapat menyentuhnya. Ditariknya napas penuh kelegaan.

Baca juga: RUMAH

     Keranjang bambu yang ukurannya lebih besar daripada tubuhnya itu dia turunkan dari punggung dan meletakkannya di tanah. Ganco atau besi pengait dimasukkannya ke dalam keranjang. Lalu dia duduk jongkok di sampingnya. Menatap hujan yang makin deras saja. Kesal hatinya. Perolehan belum seberapa, hujan sudah turun. Oh, nassiib!  

    Dalam minggu-minggu ini alam memang seolah tidak mengijinkan dia untuk bekerja. Cuaca selalu saja buruk. Hujan turun kalau tak pagi, siang, atau sore dan malam. Maklumlah memang musimnya. Mau bagaimana lagi? Dia tak dapat berkutik, seperti juga teman-teman seprofesinya yang lain. Kalau nekat juga mengais rejeki di tempat-tempat sampah, dalam deras hujan, bisa-bisa jatuh sakit. Sengsara jadinya. Dia pernah mengalaminya dulu. Oleh sebab itu kini dia tak mau nekat lagi. Hujan turun lebih baik istirahat saja.

     Ada juga beberapa tetes air yang jatuh mengenai tubuhnya. Dibiarkan saja. Toh pakaian yang dikenakannya sudah nyaris seminggu belum dicuci, baunya lumayan, maka basah sedikit tak apalah. Dia masih juga menatapi garis-garis hujan yang berguguran membasahi bumi. Kalau saja aku bisa merubah air hujan yang melimpah ini menjadi duit, pikirnya, alangkah menyenangkan.

     Dia kemudian ingat keluarganya di kampung. Pada adik-adiknya, dan terutama pada ibunya. Sudah dua tahun lamanya dia meninggalkan mereka dan dalam waktu itu dia belum pernah sekali pun pulang. Kadang memang timbul rasa kangen yang memuncak pada mereka, ingin pulang dan kumpul-kumpul kembali dengan mereka, tetapi dia selalu dapat menekan perasaan itu sedalam-dalamnya hingga ia mampu untuk terus bertahan menantang hidup di kota megapolitan ini, meski hanya sebagai pemulung.

Baca juga: Arwah Suruhan

     Dia malu pulang bila masih dalam keadaan gembel seperti sekarang ini. Tekadnya harus membawa sangu yang banyak jika ingin kembali ke kampung halaman. Sekarang uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit jumlahnya belum seberapa.  Celakanya, uang yang sudah terkumpul itu sering dipergunakan untuk sesuatu hal yang tak terduga, sehingga tabungan itu sukar bertambah jumlahnya.

     Pun keinginannya untuk dapat mengirimkan uang kepada keluarga di kampung tidak pernah terlaksana.

     Dan ayahnya? Dia seketika menghempaskan napasnya keras-keras. Benci dia bila ingat lelaki yang tak bertanggung jawab itu. Ayahnya pergi meninggalkan ibunya sejak lebih empat tahun yang lalu. Tega membiarkan ibunya bekerja apa saja untuk menghidupi anak-anaknya, sementara dia pergi begitu saja tanpa pernah memberi kabar. Hanya saja, sebelum berangkat, ayahnya itu bilang kalau dia pergi ke kota megapolitan itu. Untuk mencari pekerjaan . Tak ada yang dapat mencegah kepergiannya. Ibunya pasrah saja menerima nasib. Seperti juga dia pasrah ketika putranya tersebut mengutarakan niatnya untuk menyusul ayahnya ke kota ini, dua tahun silam.

"Tapi ayahmu tidak kita ketahui tempat tinggalnya di kota itu," kata beliau saat itu.

"Saya akan mencarinya sampai ketemu, Bu," jawab anak lelaki berumur muda tersebut.

"Bagaimana kamu mencarinya? Ibu pernah dengar kota itu luas sekali. Tidak mungkin kalau akan menemukan ayahmu."

"Akan saya coba, Bu. Ibu tidak perlu khawatir. Ijinkan saja saya pergi."

"Terserah kamu," kata ibunya akhirnya. "Tapi berhati-hatilah di sana nanti."

    Setibanya di sini ternyata tidaklah gampang. Tidak semudah seperti apa yang pernah ia bayangkan. Kota megapolitan ini terlalu besar dan penuh orang. Dia telah berusaha menanyakan tentang ayahnya ke sana- kemari namun hasilnya nol. Sampai kemudian uang yang dibawanya dari desa habis, dan lelaki muda itu kebingungan.

     Lantas secara kebetulan dia bertemu dengan seorang pemulung. Seorang lelaki berumur empat puluh tahunan. Dia menceritakan masalah yang dihadapinya dengan pemulung senior itu. Dan ujung-ujungnya dia pun diajak serta tinggal bersamanya di sebuah gubuk berdinding bekas drum aspal yang penuh dikitari barang-barang bekas di pinggiran kota.

     Sejak saat itulah anak muda itu jadi pemulung pula, hingga sekarang. Dia memang anak yang rajin. Pemulung berumur empat puluh tahun itu amat menyukainya, dan terus meminta dia untuk tetap tinggal di rumahnya yang antik itu.

     Hujan masih juga turun. Belum nampak mau berhenti. Kemana dia mengarahkan pandangan, maka yang nampak kabut putih semata. Sebagian pakaiannya basah karena air yang tiris dari celah-celah daun mangga yang lebat itu. Tetapi dia tak perduli. Tetap asyik dengan kediamannya. Kemudian dia menyandarkan tubuhnya di pohon mangga itu, dan sejurus setelah itu terdengarlah dengkurnya, nyaring seolah ingin mengalahkan gemuruh hujan yang deras itu. Dia tertidur dengan perut kosong.

     Dalam tidur yang nikmat itu, dia bermimpi berjumpa dengan ayahnya. Dan mereka berpelukan dengan penuh kehangatan sembari tertawa-tawa. Begitu mesra. Begitu bahagia....

     Sementara itu di sebuah rumah sederhana namun penuh kenyamanan di daerah pinggiran kota bagian selatan, ayah kandungnya itu sedang asyik pula bermesraan dengan seorang wanita yang telah sah menjadi istrinya sejak setahun lalu.

     Perempuan itu ketika pertama kali bertemu dengan ayahnya masih berstatus janda. Hidupnya cukup berada. Dan ia tak mempunyal seorang anak pun. Janda itu lalu mengajak ayahnya menikah. Tentu saja ayahnya tak menolaknya karena segala fasilitas sudah tersedia, seperti rumah, tivi, sepeda motor, dan lain sebagainya. Siapa yang mau menolak jika demikian?

     Demikianlah. Ayahnya kini hidupnya cukup enak. Ayahnya juga tak perlu bekerja terlalu membanting tulang, karena semua kebutuhan hidup isterinya yang menanggung. Betapa enaknya. Sehingga ayahnya lupa pada anak isterinya di kampung yang dia tinggakan begitu saja. Dia tak perduli lagi dengan semua itu. Tak perduli!

Pemulung Kedua

     DI pinggir sungai Ciliwung di kawasan Lenteng Agung, pemulung muda itu berhenti. Dia turunkan keranjang bambu di punggungnya dan meletakkannya di tanah, sedang besi pengait atau ganco dia letakkan di samping keranjang yang terbuat dari bambu itu. Lantas dia duduk di atas rumput dan memandangi air Ciliwung yang bening mengalir ke arah pusat kota. Pemuda itu tahu, sesampainya air sungai itu di wilayah kota, warnanya yang jernih akan berubah menjadi kotor, kehitaman. Menjijikkan. Dia menarik napas panjang. Mengambil sebatang rokok dari saku celananya yang lusuh, lalu menyulutnya. Dia tak tahu jam berapa sekarang. Yang jelas cuaca agak sedikit  mendung dan angin tak henti-hentinya bertiup dengan kencang di tepi sungai itu.

     Ingatan pemulung muda itu melayang ke kampung halamannya nun jauh di sana. Lalu terbayang wajah ayah, ibu, dan saudara-saudaranya yang lain. Mereka yang dulu melarangnya dengan keras niatnya merantau ke kota megapolitan ini, namun tak diperdulikannya. Dulu dia memang bertekad harus dapat merubah nasib di kota ini, dia ingin jadi orang yang kaya raya, agar dapat membantu ekonomi keluarganya. Dia bayangkan dirinya kerja kantoran di gedung tinggi pencakar langit di lantai sekian. Penampilannya bersih, rapi dan wangi, dan kalau perlu juga pakai dasi. Pergi-pulang kerja kantoran naik mobil sendiri. Oh, indahnya! Itu mimpinya. Tetapi setiba di kota yang penuh sesak orang ini,  ternyata hanya pahitnya melulu yang dia dapatkan. Tak pernah manisnya.

     Dan dia jadi pemulung. Pengumpul barang-barang afkiran atau bekas di tumpukan- tumpukan sampah yang baunya kadang sangat menyengat menusuk indera penciuman. Sungguh sial garis hidupnya. Tak ada yang mau menolongnya. Kesulitan atau rintangan harus dia hadapi seorang diri. Dia menangis dalam setiap ayunan langkahnya. Ingin kembali ke kampung malu, di samping tak punya ongkos. Oh, nasiiib! Rasanya ingin berhenti saja dia jadi manusia.

     Pemulung muda itu kemudian menempiskan bayangan kampung halaman dan keluarganya. Dia tidak mau mengingat itu semua karena akan membuat hatinya sedih saja. Ingatannya dia putar pada kejadian tadi malam saat dia nonton film layar tancap di kampung Srengseng Sawah. Sedang asyik-asyiknya menyaksikan adegan kemesraan antara aktris anu dengan aktor itu di layar film yang terbuat dari karung gandum itu, mendadak seorang wanita bertubuh bahenol mencoel pundaknya. Kontan saja dia terkejut. Dan dia lebih terkejut lagi ketika perempuan tersebut menariknya ke sudut dan membisikkan sesuatu.

     "Apa? Mbak ngajak saya ...begituan?"

     "Iya. Kamu mau nggak?" perempuan itu tersenyum-senyum manja.

     "Dimana?"

     "Maksudmu tempatnya?"

      Pemulung muda mengangguk.

     "Pokoknya ada aja deh. Yuk, cepetan," kata perempuan bahenol itu sudah tak sabar lagi.

     Ditariknya si pemulung menjauhi arena pertunjukan layar tancap. Si pemulung berpikir: Barangkali perempuan ini seorang janda yang sudah lama tak disentuh lelaki! Dia turuti saja kemana perempuan itu membawanya. Hingga arena layar tancap itu telah semakin jauh mereka tinggalkan. Beberapa saat kemudian mereka berdua sampai di satu tempat yang sunyi dan hening. Dan si pemulung muda terkejutnya bukan main ketika secara tiba-tiba perempuan yang mengajaknya tadi hilang tak berbekas, hanya terdengar suara tawa cekikikkan saja mengambang di udara. Menyeramkan! Lebih menyeramkan lagi manakala si pemulung sadar kalau dia sedang berdiri di tengah tanah perkuburan dikelilingi nisan-nisan. Apa maknanya semua ini? tanyanya dalam hati. Maka dengan sekuat tenaga dia ambil langkah seribu, meninggalkan tanah perkuburan itu. Sementara tawa cekikikan itu masih juga terdengar di belakangnya...! Apakah itu hantu kuburan? Dan apakah hantu memang harus tertawa cekikikkan?

     Kini, terus juga pemulung muda itu melamun di tepi sungai Ciliwung. Pikirannya melantur-lantur tak pasti. Berbagai peristiwa melintas-lintas dalam benaknya. Sampai akhirnya matanya diserang rasa kantuk yang berat, dan perlahan-lahan tubuhnya jatuh terkulai di sisi pohon besar berdaun lebat itu, dan tertidurlah dia di situ dengan pulas.

     Sementara itu seekor ular piton besar di atas pohon bambu betung yang sejak tadi mengintainya, yang sudah seminggu ini terpaksa berpuasa lantaran belum menemukan mangsa, perlahan-lahan merayap turun menghampiri si pemulung. Ular piton besar pemakan daging itu bagai tersenyum menyaksikan tubuh kurus kerempeng si pemulung. Lidahnya dia julur-julurkan keluar penuh selera. Perlahan dia lilit itu tubuh dari mulai ujung kaki, pinggang, perut, dada sampai ke leher. Mula-mula kendur, tapi detik-detik berikutnya semakin ketat dan erat. Terdengar pelan bunyi gemeretak tulang- belulang si pemulung akibat lilitan yang meremukkan dan luar biasa dari ular piton tersebut.

     Si pemulung terbangun dari tidurnya yang nyenyak, dan betapa terkejutnya dia mendapati tubuhnya dibelit ular piton besar. Saat dia ingin berteriak keras, ular sialan itu telah lebih dulu mencaplok kepalanya hingga suara si pemulung tak sempat keluar. Dengan buasnya binatang melata itu melahap tubuh korbannya. Dia telan itu si pemulung perlahan-lahan dibarengi dengan belitan erat dan kuat yang menghimpit detak jantung. Sampai akhirnya tubuh manusia malang itu tenggelam sepenuhnya ke dalam perut sang ular!

     Kemudian terdengar ular itu bagai bersendawa seperti orang yang kekenyangan. Lantas setelah itu, dia mulai menggerakkan tubuhnya yang kini tambun berisi manusia, dan detik berikutnya ular piton itu beranjak perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Dan suasana di tepi kali Ciliwung kembali seperti semula: Sunyi! Bagai tak pernah terjadi apa-apa. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun