Perempuan itu ketika pertama kali bertemu dengan ayahnya masih berstatus janda. Hidupnya cukup berada. Dan ia tak mempunyal seorang anak pun. Janda itu lalu mengajak ayahnya menikah. Tentu saja ayahnya tak menolaknya karena segala fasilitas sudah tersedia, seperti rumah, tivi, sepeda motor, dan lain sebagainya. Siapa yang mau menolak jika demikian?
   Demikianlah. Ayahnya kini hidupnya cukup enak. Ayahnya juga tak perlu bekerja terlalu membanting tulang, karena semua kebutuhan hidup isterinya yang menanggung. Betapa enaknya. Sehingga ayahnya lupa pada anak isterinya di kampung yang dia tinggakan begitu saja. Dia tak perduli lagi dengan semua itu. Tak perduli!
Pemulung Kedua
   DI pinggir sungai Ciliwung di kawasan Lenteng Agung, pemulung muda itu berhenti. Dia turunkan keranjang bambu di punggungnya dan meletakkannya di tanah, sedang besi pengait atau ganco dia letakkan di samping keranjang yang terbuat dari bambu itu. Lantas dia duduk di atas rumput dan memandangi air Ciliwung yang bening mengalir ke arah pusat kota. Pemuda itu tahu, sesampainya air sungai itu di wilayah kota, warnanya yang jernih akan berubah menjadi kotor, kehitaman. Menjijikkan. Dia menarik napas panjang. Mengambil sebatang rokok dari saku celananya yang lusuh, lalu menyulutnya. Dia tak tahu jam berapa sekarang. Yang jelas cuaca agak sedikit  mendung dan angin tak henti-hentinya bertiup dengan kencang di tepi sungai itu.
   Ingatan pemulung muda itu melayang ke kampung halamannya nun jauh di sana. Lalu terbayang wajah ayah, ibu, dan saudara-saudaranya yang lain. Mereka yang dulu melarangnya dengan keras niatnya merantau ke kota megapolitan ini, namun tak diperdulikannya. Dulu dia memang bertekad harus dapat merubah nasib di kota ini, dia ingin jadi orang yang kaya raya, agar dapat membantu ekonomi keluarganya. Dia bayangkan dirinya kerja kantoran di gedung tinggi pencakar langit di lantai sekian. Penampilannya bersih, rapi dan wangi, dan kalau perlu juga pakai dasi. Pergi-pulang kerja kantoran naik mobil sendiri. Oh, indahnya! Itu mimpinya. Tetapi setiba di kota yang penuh sesak orang ini,  ternyata hanya pahitnya melulu yang dia dapatkan. Tak pernah manisnya.
   Dan dia jadi pemulung. Pengumpul barang-barang afkiran atau bekas di tumpukan- tumpukan sampah yang baunya kadang sangat menyengat menusuk indera penciuman. Sungguh sial garis hidupnya. Tak ada yang mau menolongnya. Kesulitan atau rintangan harus dia hadapi seorang diri. Dia menangis dalam setiap ayunan langkahnya. Ingin kembali ke kampung malu, di samping tak punya ongkos. Oh, nasiiib! Rasanya ingin berhenti saja dia jadi manusia.
   Pemulung muda itu kemudian menempiskan bayangan kampung halaman dan keluarganya. Dia tidak mau mengingat itu semua karena akan membuat hatinya sedih saja. Ingatannya dia putar pada kejadian tadi malam saat dia nonton film layar tancap di kampung Srengseng Sawah. Sedang asyik-asyiknya menyaksikan adegan kemesraan antara aktris anu dengan aktor itu di layar film yang terbuat dari karung gandum itu, mendadak seorang wanita bertubuh bahenol mencoel pundaknya. Kontan saja dia terkejut. Dan dia lebih terkejut lagi ketika perempuan tersebut menariknya ke sudut dan membisikkan sesuatu.
   "Apa? Mbak ngajak saya ...begituan?"
   "Iya. Kamu mau nggak?" perempuan itu tersenyum-senyum manja.
   "Dimana?"
   "Maksudmu tempatnya?"