"Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah berjalan sekitar tujuh tahun lamanya, program zonasi ini digagas oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, dan dilanjutkan oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim."
Persoalan PPDB ini masih menjadi problem yang mendasar dalam dunia pendidikan kita, meski sistem penerimaan siswa baru berdasarkan zonasi, justru memunculkan banyak masalah yang dikeluhkan oleh wali murid.
Meski sistem zonasi yang diterapkan sebagai upaya dan bentuk memutus kesenjangan, namun prakteknya tidaklah demikian, sebab proses penerimaan siswa baru di sekolah negeri favorit, masih saja menuai kontroversi.
Di mana adanya sistem zonasi dan permainan dalam penerimaan siswa baru masih menjadi persoalan yang krusial.
Secara faktual masih banyak di berbagai daerah, sistem zonasi hanya dijadikan kedok saja untuk memutus kesenjangan, namun faktanya masih cukup banyak titipan dan mengindahkan aturan mengenai sistem zonasi yang sudah diterapkan.
Tidak heran jika Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, merasa selalu mendapatkan getahnya setiap tahun, sebab PPDB yang kerap menjadi kekisruhan dan ketidakpuasan wali murid, apalagi jika putranya sampai tidak diterima di sekolah yang memang masih di dalam lingkup zonasi sekolah tersebut.
Beberapa waktu lalu studi kasus yang terjadi di daerah Jakarta, di mana karena putranya tidak bisa masuk pada sekolah yang memang favorit, dan tergantikan oleh anak orang lain, hingga orangtua tersebut mengukur jarak sekolah dengan rumahnya dengan meteran, karena sang wali murid itu kesal atas kebijakan zonasi namun faktanya tidaklah seperti yang diharapkan.
Apa kelebihan dan kekurangan sistem zonasi yang setiap tahun menuai persoalan?
Kebijakan sistem PPDB berdasarkan zonasi memang akan mengurangi kesenjangan sosial, di mana anak-anak yang lebih dekat dengan sekolah favorit harus lebih diutamakan untuk diterima.
Akan tetapi faktanya tidaklah demikian, sebab banyaknya titipan dari pejabat yang secara struktural lebih tinggi, kerap menjadikan kepala sekolah setempat menjadi tak berkutik.
Apa boleh buat, dilema pun kerap menghampiri kebijakan kepala sekolah, sehingga sistem zonasi menuai persoalan tersendiri.
Secara sederhana kelebihan sistem zonasi adalah memungkinkannya anak-anak yang berada dilingkup sekolah itu untuk mengenyam pendidikan, sementara kekurangannya, anak-anak pintar dan cerdas namun memiliki jarak tempuh yang cukup jauh, tidak memenuhi syarat ke dalam sistem zonasi.
Itulah kelebihan sekaligus kekurangan dari sistem zonasi yang sudah sekitar tujuh tahun lamanya diterapkan, namun setiap proses penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem zonasi tersebut selalu menjadi persoalan yang krusial.
Apa sebenarnya persoalan yang harus diurai dari kebijakan sistem zonasi itu yang kerap memunculkan masalah setiap tahun?
Benang kusut sistem zonasi, di mana akar masalahnya?
Bukan berarti kebijakan dari sistem zonasi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) itu memiliki unsur negatif dan mencederai keadilan.
Namun lebih dari itu, dalam kerangka mengurangi kesenjangan sosial dan memberikan ruang yang lebih luas bagi anak-anak untuk masuk sekolah negeri favorit.
Hal yang perlu di perhatikan dalam sistem zonasi yang menjadi keberlanjutan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dari kebijakan menteri sebelumnya Muhadjir Effendy, berikut hal mendasar yang menjadi pekerjaan rumah agar terselenggaranya pendidikan dan kesempatan anak didik untuk mengenyam pendidikan mampu terakomodasi dengan baik.
Pertama: soal meningkatnya data kependudukan yang setiap tahun semakin tinggi
Populasi penduduk yang semakin besar dan meningkatnya anak-anak yang terlahir, membuat kebijakan zonasi itu diberlakukan, sementara kesiapan sekolah negeri untuk menampung anak-anak untuk bersekolah juga memiliki keterbatasan baik secara SDM, sarana, dan prasarana.
Kedua: kesiapan sumber daya manusia juga menjadi perhatian oleh pemerintah dalam hal ini oleh Kemendikbudristek.
Persoalan SDM, dalam hal ini tenaga pendidik yang masih terjadi berbagai persoalan, di mana pendidik yang statusnya masih honorer masih cukup jauh gajinya dari kata layak.
Sementara ketika kebijakan dari Menpan RB hendak menghapus guru honorer, lantas mereka yang sudah mengabdi puluhan tahun lamanya, bagaimana nasibnya?
Ketiga: sistem zonasi yang diterapkan di masing-masing sekolah negeri yang menjadi favorit siswa maupun wali siswa, masih belum merata adanya.
Tidak heran jika setiap tahun, ketika PPDB itu dibuka, memunculkan berbagai persoalan yang terjadi, artinya bahwa sekolah atau lembaga pendidikan negeri yang favorit masih belum merata.
Tidak perlu jauh-jauh keluar pulau jawa, semisal Kalimantan, Sumatera, Irian jaya, Papua Nugini, yang memang sekolah yang masih jauh, dan kepadatan penduduknya berbeda dengan pulau Jawa.
Sementara di Jawa sendiri, masih cukup banyak anak-anak yang sekolahnya cukup jauh dari rumahnya, bahkan anak sekolah dasar bisa menempuh jarak sampai berkilo-kilo untuk sampai ke sekolahnya.
Artinya penerapan zonasi itu sejatinya harus berimbang dengan sekolah-sekolah yang mencukupi untuk menampung anak-anak, terutama yang kediamannya masih cukup jauh dari sekolah itu sendiri.
Ini semua menjadi pekerjaan rumah bagi Kemendikbudristek untuk terus melakukan upaya pemerataan, terutama sekolah yang memadai untuk anak-anak yang kerap menjadi korban kebijakan zonasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H