Malam pun tiba, setelah sang tuan memberinya makan, si Yatim pulang kegubuk tua peninggalan bapak-ibunya.
Si Yatim tinggal bersama sang kakek, dan kakeknyalah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, sehingga ia menjadi anak yang taat menjalankan perintah agamanya, meski di siang hari ia melaksanakan sholat di perkebunan sambil menjaga kambing-kambing Gembalaannya.
Baginya bumi ini adalah tempat ibadah untuk menundukkan jiwa-jiwa sombong dan dengki, karena demban memohon pada Tuhan yang maha kuasa, semuanya bisa tercapai dengan indahnya.
Menjalani takdirnya dengan ikhlas dan sabarÂ
Dikala panas menyengat ia harus berteduh di bawah pohon yang rindang, dan di saat hujan turun, daun pisang pun menjadi payung seadanya.
Meski air mata menetes di tengah guyuran hujan, tetapi tidak menyurutkan semangat juangnya.
Mengembala kambing adalah salah satu cara bertahan hidup di tengah himpitan kemiskinan, terpenting semuanya di lakukan dengan rasa sabar dan ikhlas.
Waktu pun terus berputar, roda kehidupan terus berjalan, si yatim pengembala kambing mulai beranjak remaja dan dewasa, wajahnya begitu teduh nan rupawan, hingga membuat sang juragan jatuh hati kepadanya.
Dibawah asuhan sang kakek ia tumbuh menjadi pemuda yang jujur dan amanah, sehingga kejujurannya itulah membuat hati sang juragan terpikat dan jatuh hati padanya.
Tuhan mendidik si Yatim untuk menjadi manusia paripurna di muka bumi ini, penderitaannya yang begitu besar telah mendidik jiwanya menjadi manusia yang tangguh dan menjadi pemimpin dunia.
Menjadi pemuda yang tampan, taat dan jujur