"Tak ada yang mengharapkan ia menjadi yatim, setelah ditinggal sang ayah untuk pergi selama-lamanya, lalu kemudian sang ibu menyusul sang ayah, jadilah ia sebatangkara, berusaha menjadi manusia yang tangguh di tengah ketiadaan"
Luka itu begitu mendalam pasca ditinggal kedua orang tua yang sangat ia cintai, namun apa mau dikata, cinta dan kasih sayang Tuhan jauh lebih besar untuk mereka, sehingga mereka pun dengan sepenuh jiwa menghadap Tuhannya dengan senyum mengembang di kedua bibirnya, dan meninggalkan putra semata wayangnya yang sangat mereka cintai.
Dikala hendak remaja, satu-satunya harapan ialah menjadi seorang pengembala kambing, milik orang kaya dengan mengambil upah yang tidak seberapa, namun cukup untuk bertahan hidup di tengah keterbatasan.
Panasnya sengatan mentari, dan hembusan semilir angin menjadi teman setia suka dan duka, itulah takdir, dan alam pun mengajari semuanya.
Tetesan air mata di balik kepedihan menjadi cambuk yang menguatkan jiwa, bertaruh dengan mimpi yang masih belum nyata.
"Hei Kambing, tidakkah kau tahu bahwa hidup itu adalah sebuah pengorbanan yang harus di jalani, apakah engkau tidak tahu, suatu saat engkau pun akan menjadi korban ditengah kehidupan manusia, bisiknya dalam hati.
Kambing pun diam dalam hamparan rumput yang hijau, ia tidak peduli dengan tingkah manusia, yang ia tahu hanya makan,,makan,,dan makan untuk menjadi gemuk semata, toh suatu saat ia pun tidak tahu menahu akan di apakan oleh manusia.
Baca Juga :Â Hikayat Cinta Seorang Ibu Kepada Putranya
Hari pun beranjak siang, dan siang pun menghampiri malam, si Yatim segera menggiring kambing-kambingnya untuk beranjak pulang.
Dalam perjalanan pulang gerombolan si kambing di arahkan untuk meminum air terlebih dahulu oleh si Yatim, untuk melepas dahaganya setelah seharian sibuk memakan rumput yang hijau.